Alkisah ada dua pemuda yang tengah duduk santai di tepi pantai menikmati indahnya lautan diterpa oleh cahaya matahari sore. Tak habis-habisnya dua pemuda tadi memuji warna lautan yang yang amat luas dan biru berkilauan, serta sangat kaya dengan mutiaranya yang amat termasyhur yang selalu dicari-cari manusia, bahkan juga menjadi kebanggaan permaisuri raja.
Rupanya kekaguman dan pujian dua pemuda tentang lautan tadi didengar oleh dua ekor ikan yang lagi berenang ke tepian. “Wah kalau manusia saja jauh-jauh datang ke sini untuk menikmati indahnya lautan, mengapa kita tidak turut melihat seperti apa indahnya lautan itu?” kata seekor ikan kepada temannya. “Ya’ kata manusia tadi lautan juga memiliki mutiara yang sangat indah dan mahal harganya, bahkan jadi kebanggaan permaisuri raja”, sambungnya. Maka dua ekor ikan tadi sepakat untuk meneruskan perjalanan ingin menemukan dan menikmati indahhnya dan luasnya lautan.
Demikianlah dua ekor ikan tadi terus berenang bermil-mil untuk menemukan lautan yang telah dipuji-puji manusia. Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan, bahkan tahunan sampai dua ekor ikan tadi akhirnya mati namun keduanya merasa belum berhasil menemukan lautan.
Mungkinkah nasib kita seperti ikan tadi? Mereka sesungguhnya sudah berada di dalam pelukan lautan yang begitu luas, indah dan nyaman namun keduanya tidak mampu merasakan dan melihatnya. Begitu luas dan lapangnya lautan sehingga dia tidak pernah menolak aliran sungai dari manapun datangnya, entah bersih ataupun kotor airnya. Permukaan airnya ditawarkan pada matahari untuk memproses terjadinya penguapan sehingga tidak lagi asin rasanya, lalu dikirm ke darat melalui angin untuk menyuburkan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia.
Begitu luas, indah dan dermawannya lautan, namun ikan tidak mampu melihatnya karena tidak mampu menciptakan jarak imajiner. Ikan-ikan itu sudah dalam pelukan lautan, tetapi sekali lagi mereka tidak memiliki kapasitas intelektual dan hati untuk melihat (syuhud), karena mereka memang bukan manusia yang di dalamnya ditiupkan ruh Illahi serta nalar.
Sebagaimana ikan dan lautan, manusia hidup dalam jagad raya yang demikian luas dan penuh pesona serta selalu menyediakan apa yang kita butuhkan. Masihkan kita bertanya adakah dan dimanakah Tuhan sebagaimana ikan akhirnya mati tanpa menemukan lautan?
Tuhan adalah Sang Pelukis Agung, alam semesta adalah kanvas dan hasil lukisan-Nya. Tuhan adalah Sang Penari Agung, gerak alam raya yang demikian akbar adalah bayangan tarian-Nya. Tuhan maha pengasih, semesta yang begitu mempesona adalah belaian kasih-Nya pada manusia.
Atau mungkin saja manusia bagaikan kelelawar yang tidak bisa terbang siang karena matanya tidak mampu menatap gemerlap cahaya matahari? Atau mungkin matahati kita yang tertutup?. Ketika kita memulai pekerjaan dengan membaca bismillahirrahmanirrahim, pada tahap awal bisa jadi kita maksudkan untuk memohon bimbingan dan ridho-Nya agar yang kita lakukan mendatangkan keberhasilan dan keberkatan. Tetapi jika kita hayati terus lebih mendalam lagi, bisa jadi kita akan sampai pada kesadaran bahwa apa yang kita perbuat atas nama Tuhan, sehingga harus dipertanggungjawabkan pada-Nya. Dan kalau kita masuk dan pasrah lebih dalam lagi pada Allah, kita sadar bahwa kita sesungguhnya tidak memiliki daya dan upaya, bahkan kita tidak memiliki diri sendiri sehingga sesungguhnya kita berbuat dan hidup ini sudah di dalam genggaman dan kekuasaan Allah. Tetapi mungkin sekali kita bagaikan ikan yang selamanya dalam pelukan lautan, tetapi tidak pernah menyadari. Bukankah salah satu sifat Allah adalah Al-Muhit, yang maha melingkupi? Bisakah kita keluar dari pelukan kasih-Nya? Allah berfirman: kemanapun kau pergi dan memalingkan muka, tak ada yang kamu tatap kecuali wajah Allah.
Rupanya kekaguman dan pujian dua pemuda tentang lautan tadi didengar oleh dua ekor ikan yang lagi berenang ke tepian. “Wah kalau manusia saja jauh-jauh datang ke sini untuk menikmati indahnya lautan, mengapa kita tidak turut melihat seperti apa indahnya lautan itu?” kata seekor ikan kepada temannya. “Ya’ kata manusia tadi lautan juga memiliki mutiara yang sangat indah dan mahal harganya, bahkan jadi kebanggaan permaisuri raja”, sambungnya. Maka dua ekor ikan tadi sepakat untuk meneruskan perjalanan ingin menemukan dan menikmati indahhnya dan luasnya lautan.
Demikianlah dua ekor ikan tadi terus berenang bermil-mil untuk menemukan lautan yang telah dipuji-puji manusia. Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan, bahkan tahunan sampai dua ekor ikan tadi akhirnya mati namun keduanya merasa belum berhasil menemukan lautan.
Mungkinkah nasib kita seperti ikan tadi? Mereka sesungguhnya sudah berada di dalam pelukan lautan yang begitu luas, indah dan nyaman namun keduanya tidak mampu merasakan dan melihatnya. Begitu luas dan lapangnya lautan sehingga dia tidak pernah menolak aliran sungai dari manapun datangnya, entah bersih ataupun kotor airnya. Permukaan airnya ditawarkan pada matahari untuk memproses terjadinya penguapan sehingga tidak lagi asin rasanya, lalu dikirm ke darat melalui angin untuk menyuburkan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia.
Begitu luas, indah dan dermawannya lautan, namun ikan tidak mampu melihatnya karena tidak mampu menciptakan jarak imajiner. Ikan-ikan itu sudah dalam pelukan lautan, tetapi sekali lagi mereka tidak memiliki kapasitas intelektual dan hati untuk melihat (syuhud), karena mereka memang bukan manusia yang di dalamnya ditiupkan ruh Illahi serta nalar.
Sebagaimana ikan dan lautan, manusia hidup dalam jagad raya yang demikian luas dan penuh pesona serta selalu menyediakan apa yang kita butuhkan. Masihkan kita bertanya adakah dan dimanakah Tuhan sebagaimana ikan akhirnya mati tanpa menemukan lautan?
Tuhan adalah Sang Pelukis Agung, alam semesta adalah kanvas dan hasil lukisan-Nya. Tuhan adalah Sang Penari Agung, gerak alam raya yang demikian akbar adalah bayangan tarian-Nya. Tuhan maha pengasih, semesta yang begitu mempesona adalah belaian kasih-Nya pada manusia.
Atau mungkin saja manusia bagaikan kelelawar yang tidak bisa terbang siang karena matanya tidak mampu menatap gemerlap cahaya matahari? Atau mungkin matahati kita yang tertutup?. Ketika kita memulai pekerjaan dengan membaca bismillahirrahmanirrahim, pada tahap awal bisa jadi kita maksudkan untuk memohon bimbingan dan ridho-Nya agar yang kita lakukan mendatangkan keberhasilan dan keberkatan. Tetapi jika kita hayati terus lebih mendalam lagi, bisa jadi kita akan sampai pada kesadaran bahwa apa yang kita perbuat atas nama Tuhan, sehingga harus dipertanggungjawabkan pada-Nya. Dan kalau kita masuk dan pasrah lebih dalam lagi pada Allah, kita sadar bahwa kita sesungguhnya tidak memiliki daya dan upaya, bahkan kita tidak memiliki diri sendiri sehingga sesungguhnya kita berbuat dan hidup ini sudah di dalam genggaman dan kekuasaan Allah. Tetapi mungkin sekali kita bagaikan ikan yang selamanya dalam pelukan lautan, tetapi tidak pernah menyadari. Bukankah salah satu sifat Allah adalah Al-Muhit, yang maha melingkupi? Bisakah kita keluar dari pelukan kasih-Nya? Allah berfirman: kemanapun kau pergi dan memalingkan muka, tak ada yang kamu tatap kecuali wajah Allah.
0 comments:
Post a Comment