Ketika Wazir Agung mendengar kabar baik itu, ia merasa sebagai penguasa dunia. Ia memerintahkan seluruh tentara Mesir berparade, berjubah kebesaran dan bertutup dan kepala sampai ke kaki dengan emas dan permata. Seratus ribu pemuda dan gadis, pelayan-pelayan yang berdiri tegak bagai pohon kurma yang ramping. Gadis-gadis cantik berwajah rembulan, menyembunyikan tandu mereka di balik tirai brokat emas.
Ada pemusik bersuara merdu menyanyikan lagu-lagu perkawinan, menggesek harpa dengan lagu-lagu gembira, memetik kecapi hingga menyala dengan tali-temalinya yang menggugah jiwa. Membangkitkan dalam jiwa, rasa pendahuluan yang lezat dari persatuan. Alunan yang lembut menentramkan gejolak jiwa, biola meninggikan daya tariknya, dan yang mendominasi semuanya adalah gemuruhnya genderang.
Demikianlah mereka, semua seakan bebas untuk bersenang-senang, hingga pada akhirnya mereka sampai pada matahari di antara yang cantik-cantik. Di sana, di pusat perkemahan, berdiri tenda Zulaikha dikelilingi oleh pasukan makhluk indah. Ketika melihat semua ini, sang Wazir pun tersenyum bagaikan sinar mentari pagi. Ia turun dari kudanya lalu berjalan ke arah kemah Zulaikha. Dengan senyum meliputi wajah-wajah mereka laksana taman mawar yang sedang berkembang, para pelayannya berlari menghormatinya, dan mencium tanah di kakinya. Dengan anggun ia membalas penghormatan mereka dan bertanya bagaimana pengantinnya menghadapi kesulitan perjalanan. Kemudian ia mengeluarkan hadiah-hadiah yang dianggapnya paling pantas, pelayan-pelayan yang tersenyum manis dengan ikat pinggang dan manik-manik dari emas, kuda-kuda yang berhiasan mewah, bertutupkan intan permata dan kepala sampai ke kaki, bulu-bulu mewah, sutra mahal, permata langka, manisan Mesir, dan minuman lezat.
Semua ini diaturnya di hadapan mereka, dengan ucapan ramah dan permohonan maaf karena tidak memberikan lebih dari itu. Sesudah itu, ia menetapkan keberangkatan ke kota pada hari berikutnya, lalu masuk ke dalam tenda.
***
Nasib adalah perayu tua yang licik, ahli dalam tipu daya untuk menyiksa manusia yang malang. Mula-mula ia menawan dada si pecinta dengan jalan harapan, tetapi akhirnya ia mengikatnya dalam belenggu keputus-asaan. Dan jauh ia menunjukkannya sebagai buah dan hasratnya, kemudian ia menjatuhkannya dengan kenyataan yang lebih pahit.
Baru saja Wazir melempar bayangannya di tenda Zulaikha dan inangnya, putri itu merasakan keinginan yang tak terkendalikan untuk melihat wajahnya. "Saudara tua yang baik," katanya kepada inangnya, "Aturlah supaya aku dapat melihatnya sejenak, karena aku tak tahan lagi untuk menanti."
Hasrat nafsu tak pernah lebih besar daripada ketika si kekasih berada dekat. Bilamana orang hendak mati kehausan, setetes air hanya akan membakar bibirnya, kecuali ia dapat membasahi mulut dengannya. Melihat kecemasan Zulaikha, inang itu keluar ke sekitar tenda sang Wazir. Akhirnya ia berhasil membuka lobang kecil di tenda itu.
Maka Zulaikha memasukkan matanya ke lobang itu. Alangkah terkejutnya Zulaikha! Seakan keluhan seluruh dunianya sedang jatuh menimpanya.
"Ia bukanlah yang aku lihat dalam mimpiku, bukan laki-laki yang aku cari, dan bukan penyebab kesengsaraanku yang amat besar. Bukan pula laki-laki yang telah merampok segala pikiran nalarku dan menyerahkan kendali hatiku kepada kegilaan! Ia bukan laki-laki yang mengatakan rahasianya kepadaku dan yang telah menyembuhkanku.
Sayang! Aku dilahirkan di bawah bintang jahat. Aku menanam kurma, tetapi hanya menghasilkan duri, aku menabur benih cinta, dan ia tidak memberikan hasil selain penderitaan, aku menderita kesulitan luar biasa untuk mendapatkan sesuatu kekayaan, dan berakhir dengan menghadapi seekor naga.
Aku bagai musafir haus di gurun pasir, berkelana ke sana ke mari mencari air, lidahnya yang terbakar melekat pada bibirnya yang merekah dan berdarah. Sampai akhirnya ia berpikir melihat sumur air di kejauhan sana. Dengan terseok-seok dan jatuh bangun ia berusaha pergi ke sana, tetapi sesampainya di sana, ia tidak mendapatkan air melainkan hanya butiran garam yang berkilauan di bawah cahaya matahari.
Aku bagaikan seekor binatang pengangkut di gunung, yang tertindih oleh lapar, kaki tersobek-sobek oleh batu tajam, tak memiliki daya untuk melanjutkan perjalanan, juga tak dapat berhenti di mana aku berada. Kemudian tiba-tiba aku membayangkan dapat menemukan sahabatku yang hilang, aku perpanjang langkahku dengan semangat baru, tetapi, itulah nasibku ..... hanya seekor singa yang sedang lapar!
Aku adalah pelaut dari kapal yang karam, duduk telanjang mengangkangi selembar papan yang terombang-ambingkan oleh ombak, dan tiba-tiba tampak sebuah kapal, sehingga membangkitkan semangatku dan membuatku berpikir bahwa sang penyelamat sedang dalam perjalanannya, dengan segera ia datang untukku ..... dan ternyata raksasa mengerikan yang bertekad menghancurkanku.
Adakah, di mana pun di dunia ini seseorang yang celaka dan sedih seperti diriku? Aku telah kehilangan hatiku dan sekarang aku tak berhati dan tak berbuah hati. Sekarang aku hanya mempunyai sebongkah batu di dadaku.
Langit yang penuh belas kasihan, dengan nama Tuhan, selamatkanlah kiranya diriku! Bukankah di depanku satu pintu menuju kepada cinta, sekalipun bukan kehendakmu untuk membiarkanku menyentuh ujung jubah sang kekasih, setidak-tidaknya janganlah menyerahkan aku kepada orang lain. Janganlah menyobek jubah kehormatanku, janganlah menyentuh tanah, kendatipun hanya ujungnya. Aku telah bersumpah menurut hasrat hatiku untuk menjaga dengan cemburu kekayaanku. Jangan biarkan naga itu menyentuhnya!"
Demikianlah ia berkeluh kesah hingga jatuh malam, dengan air mata mutiara di pelupuk matanya. Dengan mengaduh dan patah hati, ia menggosokkan debu ke wajahnya. Hingga akhirnya burung belas kasih Ilahi menumbuhkan sayapnya, malaikat kerahasiaan berkata kepadanya,
"Bangkitlah, wahai gadis malang! Petakamu akan berlalu. Wazir itu mungkin bukan hasrat hatimu, tetapi tanpa si Wazir itu, engkau tak akan pernah mencapainya. Karena Wazir itulah engkau akan mencapai tujuanmu, dan akhirnya menatap keindahan sahabatmu itu. Janganlah engkau lari dari lingkungan si Wazir, ia akan membiarkan rambut perakmu tanpa disentuh, karena kuncinya terbuat dari lilin yang paling lembut. Janganlah takut! Dari lengan baju yang kosong tak akan muncul tangan yang mengacungkan belati."
Ketika mendengar kabar baik dan dunia gaib itu, Zulaikha mengakhiri keluh kesahnya, walaupun kesedihannya terus menyala dalam dirinya. Tanpa mengeluh, diam-diam ia menderita. Matanya terpusat pada harapan jalan masa depannya, sambil bertanya kapankah kesengsaraannya akan berakhir.
***
Ketika fajar dengan sebongkah emasnya telah memberikan isyarat kepada malam untuk berkemah, Wazir tiba di tengah upacara besar, dan mengundang pengantinnya untuk meninggalakan kemah serta mengambil tempat di tandunya. Kemudian ia memerintahkan iring-iringan untuk bersiap di depan, di belakang, dan di kedua sisinya.
Payung-payung bersepuh, bagai pohon-pohon emas, melindungi semua makhluk yang beruntung dalam naungannya. Di bawahnya orang-orang kesukaan nasib mujur, duduk bertahta di atas pelana yang bersulam emas. Semua pohon, padang rumput, pelana, makhluk-makhluk yang dimanja oleh nasib, semuanya maju dalam pawai. Para pemusik menyenandungkan lagu-lagunya. Para pengiring unta bernyanyi, dan semua bunyi yang bercampur itu mengisi mangkuk angkasa yang terbalik. Tanah ditutupi dengan cetakan tapak kuda dan unta, seperti sekian banyak bulan purnama dan bulan sabit. Bagi kijang-kijang yang senang itu, yang duduk di atas pelananya, ringkikan kuda-kuda yang berkaki cepat adalah laksana gema piano; dan bagi yang cantik-cantik yang bersandar di tandunya bunyi unta adalah laksana terompet.
Para gadis pelayan Zulaikha sangat gembira melihat putri cantik itu telah selamat dari perpisahan yang menyiksa, dan Wazir serta rombongannya tidak kurang gembiranya mendapatkan gadis secantik itu sebagai buah hati.
Tetapi tersembunyi di balik tandunya, Zulaikha masih meratapi nasibnya yang kejam,
"Wahai, langit, mengapa engkau memperlakukan aku seperti ini? Apa yang telah aku lakukan kepadamu sehingga engkau membenamkan diriku dalam kesedihan dan kepedihan? Mula-mula kau curi hatiku dalam mimpi. Kemudian dalam kehidupan engkau timpakan beribu kesedihan. Karena engkaulah penyebab keruntuhanku, kepadamulah aku berpaling dalam harapan tertipu untuk mendapatkan obat. Bagaimana aku akan mengetahui bahwa obatmu adalah dengan membuangku dari kampung halaman? Tidakkah cukup merebut cintaku? Untuk itu engkau harus menambahkan kesengsaraan pengasingan! Apabila ini pertolonganmu untuk menyelesaikan seluruh persoalan hidupku, maka Tuhan melindungiku dari permusuhanmu!
Aku mohon kepadamu, jangan ada lagi jerat tipuan di jalanku, jangan goresi piala minuman kesabaran. Engkau telah berjanji bahwa sesudah ini hasratku akan dipenuhi hingga akan mendapatkan kediaman dalam hasrat hati. Aku amat gembira dengan janji seperti itu, tetapi apabila ini dikira sebagai kebahagiaan, maka apakah yang akan aku pikirkan?"
Demikianlah ia bercakap dengan langit, sampai ia tiba-tiba dipotong oleh teriakan para pengawal, yang mengumumkan bahwa mereka telah tiba di ibu kota dan tanggul-tanggul Sungai Nil, di mana ribuan orang berseru gembira, yang berada di atas kuda, unta maupun yang berdiri di atas kaki sendiri, sedang menanti untuk menghormati mereka.
Wazir pun melaksanakan kebiasaan tradisional. Para pelayan pilihan menghujani tandu pengantin dengan emas, perak, dan intan permata, demikian banyaknya sehingga hampir menghilang di bawah longsoran kekayaan. Kuda-kuda tidak lagi menginjak tanah, dan kukunya yang bertempa besi memercikan cahaya dari bebatuan merah delima. Orang banyak pun, yang berbaris di tanggul sungai, menghujani emas dan perak kepada si pengantin.
Sekarang mereka semua maju dalam kemewahan raja-raja ke kediaman bahagia, istana, suatu surga di bumi, dengan lantainya yang di sapu silih berganti oleh matahari dan bulan. Di tengahnya berdiri mahligai yang menakjubkan, seniman yang menciptakan karya utama itu telah menggunakan emas dan ratusan butir permata. Di sana mereka mendudukkan Zulaikha bak mutiara yang dipasang dalam emas. Namun, kesedihan yang tak kunjung habis menyala dalam hatinya, hingga membuat tahta emasnya sebagai tungku, dan mahkotanya yang bertahtakan mutiara membebaninya laksana batu, sementara permata yang telah ditaburkan padanya adalah sebagai hujan siksaan.
Dalam pertempuran ini, di mana demikian banyak kepala bersedih, siapakah yang menginginkan mahkota di kepalanya? Ketika mata dipenuhi air mata kekecewaan, bagaimana mereka akan dapat melihat mutiara?
***
Bilamana sebuah hati mendapatkan tempat di sisi sang kekasih, bagaimana ia akan menghasratkan untuk bersatu dengan orang lain? Pernahkah engkau melihat seekor laron terbang ke matahari, sedang seluruh harapannya terletak pada nyala lilin? Adalah sia-sia menyebarkan seratus rangkaian semak harum di hadapan si punguk, sementara ia hanya menginginkan nafas mawar yang sejuk segar. Sekali teratai disapu oleh kehangatan manisnya mentari, pernahkah ia mau menunjukkan suatu perhatian pada bulan? Apabila jiwa haus akan air jernih, apakah perlu manisnya gula?
Dalam rumah tangga yang makmur itu, Zulaikha menikmati segala kekuasaan dan kekayaan. Wazir itu adalah budaknya dan ia tak kekurangan apa-apa, para pelayannya terus bersiap-siap dan hampir tidak beristirahat dalam keinginan mereka untuk melayaninya. Ia mempunyai gadis-gadis pelayan yang berpakaian linen halus, ramping dan manis bagai batang tebu. Ia mempunyai budak-budak hitam, yang terbuat dan gading, suci laksana sucinya bidadari dari segala hasrat dosa, pelayan-pelayan yang bergairah dan amanat dari Harem. Para wanita bangsawan yang sebaya dengannya, memikat dan anggun, sangat bergembira karena dapat menemaninya.
Pada ruang tamunya yang besar, yang terbuka kepada para teman maupun orang asing, telah ia bentangkan permadani kegembiraan. Dengan senyum di bibirnya, menyembunyikan kesedihannya, selalu kelihatan seolah sepenuhnya ia asyik dalam percakapan. Tetapi hatinya berada di tempat lain. Bibirnya berbicara dengan para tamunya, sedang hati dan jiwanya ada bersama si sahabat, satu-satunya orang yang sesungguhnya ikut serta dalam kesenangan dan penderitaannya, ia tak mempunyai ikatan yang kuat dengan seorang pun yang hadir itu.
Dari pagi hingga sore, demikianlah ia berperilaku di antara teman-temannya. Tetapi segera setelah malam membentangkan tirai gelapnya, Zulaikha menarik diri ke dalam kesendirian di balik tirainya, dan di mata pikirannya ia terbaring dengan sang kekasih dalam keakraban rahasia di atas pelaminan yang beralas bulu halus itu. Sembari berlutut di hadapannya, ia mengatakan tentang kesedihannya. sambil memetik kecapi penderitaan, ia hanyut ke dalam keluhan cemas:
"Wahai hasrat hati, engkau katakan kepadaku bahwa Mesir adalah negerimu, dan Wazir Agung gelarmu. Ini aku di Mesir, terbuang dan terasing, ditolak oleh nasib baik dari masyarakatmu, bertanya-tanya dalam hati berapa lama aku harus terbakar dalam nyala api penderitaan.
Datanglah kepadaku! Jadilah kemuliaan dari taman hatiku, penawar sakit bagi jiwaku yang luka! Ketika aku putus asa akan mendapatkan cinta, malaikat utusan dari dunia gaib memulihkan harapanku, satu-satunya yang membuatku tetap hidup, dan menggoyangkan debu keraguan dari jubahku. Cemerlangnya keindahanmu, yang bercahaya dalam hatiku, memberikan kepastian untuk melihatmu lagi. Walaupun mataku yang merindu terbenam dalam air mata, keduanya terus melihat ke setiap arah demi menyambut kedatanganmu. Betapa bahagia saatnya nanti, ketika engkau datang ke dalam penglihatan, bagaikan bulan yang sedang menampakkan diri!
Pada saat melihat dirimu, aku sendiri akan menjadi tidak ada, dan akan kehilangan semua jejak rasa dari mementingkan diri sendiri. Sepenuh diriku akan terserap ke dalam kegairahan. Itu bukan lagi diriku sendiri yang engkau lihat menempati tubuhku, roh yang menjiwai tubuh itu adalah rohmu. Semua gagasan tentang kepribadian akan disisihkan, dan ketika kucari diriku sendiri, engkaulah yang akan kudapati. Engkau adalah satu-satunya hasrat hatiku di dunia ini dan di hari kemudian, bila telah kudapati dirimu, maka mengapakah aku harus mencari diriku?"
Dengan demikian secara perlahan-lahan ia mengubah malam menjadi fajar, tanpa memutuskan pembicaraannya sendiri. Dan ketika akhirnya datang siang, ia mengucapkan kata-kata ini kepada angin fajar:
"Wahai angin tercinta! Engkau telah bangun di waktu fajar dan meyebarkan semerbak kesturi ke dada melati, dan menyebabkan untaian rambut lembab pohon cemara mengelus daun bunga mawar. Engkau yang menggoyangkan daun-daun kecil berbentuk lonceng yang bergantung pada cabang-cabang, dan membuat pohon-pohon berayun dengan kaki yang berakar di bumi. Engkau yang membawa pesan-pesan antara sang pecinta dan kekasih, telah mengelus hati mereka yang terguncang kepedihan!
Di seluruh dunia tak ada satu pun yang lebih sedih dan pedih daripada diriku. Hiburlah kiranya hatiku yang menderita, dan bantulah dalam menanggung kesedihanku ini! Di mana-mana tak ada di dunia ini yang tak dapat engkau lalui, bahkan pintu besi pun tak dapat mengusirmu keluar, dan selain itu, sekalipun terkunci dengan ketat, dengan mudah engkau masuk melalui jendela.
Kasihanilah aku karena telah kehilangan jalan. Lakukanlah pencarian, masukilah istana-istana para raja, tanyakan di setiap kota tentang raja indah impianku. Laluilah setiap taman yang berbunga, berjalanlah di tepi setiap sungai, hingga akhirnya kebetulan engkau lihat si cemara yang menawan itu!"
Demikianlah setiap hari ia berkata kepada bayu di pagi hari. Kemudian, ketika matahari meninggi, Zulaikha bersinar bak mentari, tersenyum kepada para kawan yang berkumpul, dan memperlakukan para dayang berhati suci itu sebagaimana yang dilakukan kemarin.
Selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hari dan malamnya berlalu seperti itu. Apabila ia bosan tinggal di kamar, ia pun keluar berjalan-jalan, dadanya terbakar dengan keluh-kesah, ia berkata kepada bunga-bunga tentang rahasia cinta dan kesedihan yang membakar hatinya. Terkadang ia lari laksana air sungai yang menggelora ke sungai Nil demi menumpahkan kesedihannya, atau ia tiba-tiba berhenti, dengan matanya yang tertuju ke jalan pengharapan di hadapannya, sambil bertanya-tanya dalam hati dari arah cakrawala mana sahabatnya akan muncul sebagai matahari terbit atau bulan purnama.
Jami, sekarang marilah kita ke Kanaan, dan membawa dari sana si bulan dari Kanaan. Bagi Zulaikha, hatinya penuh harapan dan matanya yang berharap terpusat pada jalan raya Raja. Penderitaannya di atas segala batas, tetapi kita akan membawakan kepadanya penyatuan dengan si kekasih, dan perjumpaan akan menjadi jauh lebih manis karena telah dinanti sekian lama.
0 comments:
Post a Comment