Pada suatu malam, ketika Zulaikha sedang bersama Wazir, ia menumpahkan segala kesusahan rahasianya,
"Aku telah kehilangan nama baikku, dan telah jatuh dalam kehinaan karena anak muda itu. Mereka semua, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Aku telah menjadi sasaran bagi anak panahnya, bergelimangan dalam debu dan darah. Mereka mengatakan bahwa hatiku tertoreh oleh panah yang dibidikkan kepadaku, dan bahwa ujung-ujungnya sampai saling bersentuhan. Mereka mengatakan bahwa aku telah benar-benar terpikat olehnya.
Sekarang aku berpikir untuk menyingkirkan kecurigaan tersebut, maka pemuda itu harus dikirim ke penjara, dan kita harus membuat pengumuman demi menghilangkan kehormatan pemuda itu. Bilamana mereka melihat kebenaran amarahku, rakyat pun akan segera meninggalkan kecurigaan mereka."
Wazir berpikir bahwa ini gagasan yang hebat,
"Aku telah lama merenungkan masalah ini, dan aku tak dapat memikirkan penyelesaian yang lebih baik daripada itu. Aku serahkan dia di tanganmu, untuk engkau perlakukan sesukamu, engkau bebas untuk membersihkan jalan kita dari debu!"
Bersenjatakan wewenang yang diberikan Wazir, Zulaikha sekarang mengarahkan kendali pengkhianatan ke arah Yusuf. Ia pergi kepadanya seraya berkata,
"Wahai hasrat hatiku, idola jiwaku satu-satunya, Wazir telah memberiku hak atas dirimu. Apabila mau, aku dapat menyuruhmu dikunci dalam penjara, dan juga dapat mengangkat derajatmu.
Menyerahlah padaku, apa gunanya menolak dengan berkepala batu? Menyerahlah kepadaku dengan anggun dan baik. Berapa lama engkau dapat terus menolak? Selaraskan kehendakmu dengan kehendakku, dan selamatkan aku dari penderitaan dan dirimu sendiri dan kehinaan. Apabila engkau penuhi hasratku, aku akan memenuhi hasratmu, dan mengangkat namamu ke puncak kebesaran. Apabila tidak, maka penjara akan menunggumu dengan seratus penghinaan. Sesungguhnya jauh lebih baik untuk bermain denganku di sini daripada bersedih hati di penjara?"
Yusuf pun tetap menolaknya. Mendengar penolakan tersebut, Zulaikha serentak memberikan perintah kepada pengawal bersenjatanya yang keji untuk melucuti mahkota emas Yusuf dan memakaikan kepadanya pakaian sehari-hari, dengan belenggu di kaki. Dengan kerah besi penyerahan pada tengkuknya, ia di dudukkan pada punggung keledai dan diarak keliling kota.
Seorang bentara berjalan di depan sambil menyerukan,
"Setiap budak yang memberontak dan malas, yang melangkah dengan niat yang hina pada permadani tuannya, patut dilemparkan dengan hina ke dalam penjara, layaknya penjahat diperlakukan."
Namun, kerumunan orang yang berkumpul di setiap sisi jalan berseru,
"Semoga dijauhkan Tuhan bahwa seorang makhluk seindah itu akan mampu melakukan tindakan keji seperti yang ditujukan, atau bahwa penawan hati itu harus selalu menyebabkan sakit pada orang lain! Sungguh dia adalah malaikat, yang dibentuk dari hakikat kesucian. Bagaimana mungkin pekerjaan iblis dilakukan oleh seorang malaikat? Orang yang bagus wajah dan pikirannya akan menjauhkan dirinya dari segala kejahatan!" Kata mereka.
Yusuf pun digiring ke penjara, dan diserahkan kepada para algojo keji. Ketika pemuda itu masuk, dengan hatinya yang penuh daya hidup, para terpenjara yang lain merasa seakan-akan mereka menjadi hidup lagi. Dan tempat penderitaan itu dipenuhi dengan semangat hidup. Semua tawanan berseru dengan semangat ketika si Raja keindahan itu mendekat. Mereka bersenandung gembira, dan tidak lagi merasakan beban dari belenggu mereka. Kesedihan mereka berubah menjadi keceriaan, dan bukit-bukit kesedihan tidak lagi memberati mereka melebihi sekerat jerami. Karena bilamana saja watak malaikat mendapatkan jalannya, neraka sendiri pun menjadi surga, dan api yang bernyala-nyala menjadi taman bunga.
Ketika ketenangan telah didapatkan, Zulaikha mengirim perintah kepada para petugas penjara agar Yusuf jangan lagi disakiti. Belenggu-belenggunya disingkirkan, dan pakaiannya yang kasar agar diganti dengan jubah bersulam. Ia ditempatkan di suatu gedung terpisah, bagian yang berpenerangan baik dan berpermadani.
Segera setelah ia sendiri di kamarnya, Yusuf menggelar permadani pengabdian dan sebagaimana kebiasaannya, ia menuju sajadahnya dengan selalu bersyukur bahwa ia telah luput dan godaan para wanita itu.
Tak ada penderitaan di dunia ini yang tidak mendapat wewangian karunia Tuhan, dan keharumannya akan membawa kelegaan serta kebahagiaan.
***
Manusia menurut fitrahnya sangat tak peduli dan tak mampu bersyukur. Ia dapat hidup sepanjang usia menikmati berbagai keuntungan, dan tidak menghargai nilainya sampai ia kehilangan hal-hal tersebut. Berapa banyak pecinta yang dengan berani merenungkan perpisahan, dengan gembira membayangkan bahwa mereka telah puas dengan si tercinta! Namun, segera setelah langit menyalakan api perpisahan, maka bagaikan tubuh si pecinta meleleh ketika jiwanya terbakar.
Bagi para terpidana, kehadiran Yusuf telah menjadikan penjara laksana taman bunga, sementara Zulaikha mendapatkan kediamannya lebih gelap dari kamar penjara. Ketidakhadiran Yusuf menambah kesusahan Zulaikha ratusan kali lipat.
Adakah sesuatu yang lebih menyakitkan bagi seorang pecinta yang bersedih daripada melihat tempat si kekasih menjadi kosong? Kesenangan apa yang akan ada di taman, ketika mawarnya menghilang dan hanya durinya yang tertinggal untuk menyiksa si punguk? Melihat taman yang bunga terbaiknya direnggut, Zulaikha menyobek bajunya laksana sebuah kuncup mekar menjadi bunga. Bilamana suatu jiwa yang bersedih dan pedih siap untuk melarikan diri, ada persoalan apakah dengan baju yang sobek?
Ia membenamkan kuku di pipinya dan menjambak rambut hitamnya yang semerbak harum. Jantungnya berdebar dengan keras dalam dadanya, bagai bunyi genderang perintah mundur, mengisyaratkan kekalahan dari ratu kecantikan itu. Ia lemparkan bergenggam-genggam debu di atas kepalanya, mencampurnya dengan air matanya, membentuk lempung, seakan demi melawan pelanggaran isi hatinya yang terkucil. Ia menggigit bibirnya yang merah hingga berdarah, dan memukuli pipinya yang merah mawar, sehingga menjadi biru lebam.
"Siapakah yang pernah bertindak seperti yang telah aku lakukan?" ia mengeluh. "Siapakah yang pernah meminum racun seperti ini? Dengan jariku sendiri aku telah mencongkel mataku, dan dalam kebutaan ini, ke mana aku harus melemparkan diri? Hatiku berdarah memikirkan kehidupan yang kejam yang telah kutimpakan pada makhluk indah itu. Tingkah nasib menjungkir-kan kebahagiaanku, sehingga dengan sia-sia aku melalaikannya. Hatiku sedang dalam kebingungan yang amat sangat, dan aku tidak mengetahui apa yang dapat aku lakukan untuk menyembuhkan penyakitku ini."
Segala sesuatu yang dahulu milik Yusuf sekarang menyobek keluhan dari kedalaman hatinya. Berulang-ulang ia memungut baju yang dahulu telah dikenakan tubuh orang yang dicintainya. Ia menghibur demamnya dengan menarik nafas wewangian manis. Dengan seribu keluhan ia mencium dan membelai kerahnya, atau menyisipkan tangannya ke dalam lengan baju Yusuf.
Demikianlah, ia ungkapkan kesusahannya. Ketika melihat sepatunya yang tergeletak, hatinya dipenuhi hasrat untuk mengenakannya. Ketiadaan pasangannya menjadi tak tertanggungkan. Demikianlah kesedihannya diperbaruinya setiap saat. Setiap barang yang dilihat semakin menenggelamkannya ke dalam samudera kesedihan.
Menyadari betapa besar beruntungnya dapat memandang sang kekasih, membuatnya lebih larut lagi dalam api pengasingan. Betapa ia dapat menanggung, direbut pandangannya dari keindahan seperti itu? Betapa ia dapat melemparkan cintanya? Perpisahan dari yang tercinta adalah suatu pukulan manghancurkan bagi si pecinta, terutama sesudah keakraban. Sekadar keterkucilan sudah cukup menyakitkan. Tetapi perpisahan setelah persahabatan, adalah suatu siksaan tanpa berkesudahan.
Zulaikha menjadi jenuh atas dirinya sendiri, dan berusaha untuk membebaskan diri darinya. Karena kejujuran tak membuahkan hasil, maka ia memutuskan untuk mengambil jalan yang sangat keliru: ia akan memukulkan kepalanya ke dinding atau pintu, atau membenamkan belati kejam ke dalam dadanya. Ia akan naik sampai ke atap supaya dapat menjatuhkan diri ke bumi. Ia akan memilin rambutnya yang hitam kelam menjadi tali, lalu menggantungkan diri dengannya.
Tetapi inangnya menghujaninya dengan ciuman, dan mendoakannya dengan sepenuh hatinya seraya berkata,
"Tuhan memperkenankan bahwa mulutmu akan merasa-kan ciuman kekasihmu! Semoga mangkukmu diisi hingga sepenuh-penuhnya! Semoga engkau dibebaskan dari siksaan ini, supaya engkau bahkan tidak mengingatnya! Tetapi sadarlah sejenak, berapa lama kegilaan ini akan berlangsung? Oh, engkau membuat hatimu yang malang berdarah, siapakah yang pernah melihat perilaku seperti itu?
Dengarkan aku, karena aku berpengalaman dalam hal-hal seperti itu, kesabaran adalah satu-satunya kebijakan. Ketidaksabaran telah melemparkanmu kepada api yang membakar. Sekarang, engkau harus memadamkan nyala api itu dengan air dari awan hujan kesabaran. Ketika badai kesedihan bertiup, engkau tak boleh membiarkan dirimu dibawa bagai sekerat jerami. Mundurlah ke dalam dirimu sendiri, dan jadilah kokoh tak bergerak laksana bukit. Kesabaran adalah bahan yang darinya kemuliaan dan keberhasilan dibuat.
Kesabaran akan memenuhi semua harapan dan membawamu kepada buah keabadian. Ialah yang membentuk mutiara pada si kerang, membuat intan permata terbentuk di pertambangan. Ialah yang membuat tetesan kecil dalam rahim yang membentuk diri selama sembilan bulan menjadi sebuah purnama yang bercahaya di langit!"
Kata-kata ini cukup membawa sekadar ketenangan pada hati Zulaikha yang kacau. Ia memaksa diri untuk bersabar, tetapi kesabaran orang yang sedang jatuh cinta hampir tidak bertahan lebih lama daripada kata-kata orang yang menasihatinya. Segera setelah si penasihat berdiam diri, si pecinta melupakan apa yang telah dikatakannya.
***
Ketika Yusuf telah menghilang ke dalam penjara, laksana matahari tenggelam, air mata Zulaikha menjadi sebanyak bilangan bintang di langit. Di waktu malamlah kesedihan si pecinta menyala dengan terangnya. Saat-saat siangnya telah digelapkan oleh ketidakhadiran, apalagi ketika bayangan malam menarik masuk: kehitaman di atas kehitaman!
Bagi para pecinta, malam yang mengandung kecemasan, akan melahirkan keturunan yang tidak mengisap susu, melainkan darah hati manusia. Kesenangan apa yang dapat diharapkan dari seorang ibu ketika bayi di perutnya begitu haus darah!
Termakan habis oleh ketidaksabaran, Zulaikha melewati malam sambil meminum darahnya sendiri. Karena kekasihnya direnggut darinya, malamnya tidak bercahaya, bukankah seratus obor tidak cukup untuk menyalakan kediaman yang tidak memiliki wajah bercahaya dari si sahabat.
Kesedihan dan tanpa tidur menarik air mata dari matanya, ketika ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Aku berharap kiranya aku tahu bagaimana keadaan Yusuf malam ini, dan siapa yang ada di sana untuk melayaninya. Apakah udara yang dihirup cukup melegakannya atau tidak? Sudahkah ia dijinakkan bagai burung di sangkar atau belum? Apakah mawarnya masih bebunga ataukah telah layu? Apakah hatinya dikerutkan oleh kecemasan, bagai kuncup mawar, atau mengembang dengan gembira, seperti bunga yang berkembang?"
Dengan cara demikian ia membusanai pikiran-pikiran sedihnya dalam bentuk yang sangat beragam sepanjang malam. Kemudian arus kesabarannya mengering, dengan hatinya yang menyala-nyala dan air mata mengalir dari matanya, ia membangunkan inangnya seraya mengatakan,
"Marilah kita ke penjara untuk sejenak, dan dengan rahasia kita masuk ke rumah kediaman penderitaan itu. Dengan bergerombol di pojok, kita dapat duduk dan melihat terpidana yang indah itu. Di samping itu, tak ada penjara yang menaungi mawar seperti itu, melainkan taman di musim semi."
Dengan berkata demikian ia pergi dengan cepat dan anggun, sementara inangnya yang tua lari tergopoh-gopoh mengejarnya bagai bayang-bayang yang setia. Ketika mereka sampai ke tujuan, Zulaikha secara rahasia meminta untuk menemui kepala penjara, ia perintahkan untuk mengantarnya ke mana ia dapat melihat bulan cemerlang itu dari jauh. Di sana Yusuf berdiri di atas sajadahnya, tenggelam dalam cahaya. Pada suatu saat ia berdiri tegak bagai dan menerangi para terpidana dengan kecerlangan wajahnya. Pada saat berikutnya ia membungkuk setinggi pinggang laksana bulan sabit, dan sinar wajahnya membanjiri permadani.
Kemudian ia sujud dengan dahi menyentuh tanah, dalam doa memohon ampun, bagai ranting mawar yang halus, tunduk dalam badai sore hari. Terkadang ia duduk di lantai, menggantungkan kepalanya dalam sikap perenungan merendah.
Zulaikha duduk di suatu sudut gelap, jauh dari dirinya sendiri, tetapi sungguh dekat dengan Yusuf. Dengan penuh air mata, dengan berkabung, ia mencurahkan isi hatinya,
"Engkau adalah mata dan cahaya keindahan, hati dari yang sengsara! Cinta kepadamu telah menyalakan api dalam hatiku yang sepenuhnya memakanku, dan engkau tak pernah memadamkan apinya dengan air persatuan. Engkau telah menyobek hatiku dengan pedang kejam, namun tampaknya engkau seperti sama sekali tak peduli oleh kekejamanmu sendiri. Setiap saat engkau membawa kesedihan baru kepadaku, namun engkau tak menunjukkan belas kasihan kepadaku. Oh, betapa aku berhasrat dengan nama langit, agar ibuku tak pernah melahirkan aku, atau, setelah lahir, kiranya saja susu yang aku teguk diberi racun oleh pengasuhku!"
Demikianlah kata hati Zulaikha, tetapi Yusuf sedang demikian khusyuk dalam renungan, sehingga ia sama sekali tidak memberikan perhatian, atau sekurang-kurangnya ia tidak memberikan tanda akan hal itu. Ketika malam berlalu dan ayam jantan fajar merentangkan lehernya untuk memberikan seruannya yang keras dan kasar, Zulaikha membenahi jubahnya, mencium bumi gerbang penjara dengan merendah, lalu kembali ke rumah.
Ini menjadi perjalanannya yang teratur, selama Yusuf tinggal terkurung dalam penjara. Ia merasa mendapatkan santapan jiwa dalam perbuatan itu, dan tak mau berbuat lain. Tak ada orang yang pernah mendapat kesenangan yang lebih besar dalam suatu taman yang semerbak harum ketimbang yang didapatkan hati si wanita yang sakit cinta dalam mengunjungi penjara itu. Di mana pula orang akan mendapatkan lipuran, yang cintanya berada dalam penjara?
***
Malam adalah tirai yang ditarik di atas rahasia-rahasia si pecinta. Ia membawa kelegaan kepada semua yang telah kehilangan hatinya. Banyak hal yang dilakukan di tengah malam, yang di siang hari tak terpikirkan.
Baru saja Zulaikha mengungkapkan kesedihan dan kesusahan malam, siang datang dengan musuh dan siksa yang tak terkira banyaknya. Ia tak berani menunjukkan wajahnya di penjara, tetapi ia juga tidak mempunyai kesabaran untuk menjauhkan penjara itu dan pikirannya.
Berulang kali ia mengutus seorang gadis pelayan yang terpercaya kepada Yusuf, dimuati berbagai makanan lezat, supaya pelayannya dapat melihat wajah Yusuf sebagai ganti dirinya. Bilamana pelayan itu kembali, Zulaikha akan melimpahinya dengan belaian kasih sayang, karena bukankah itu mata yang telah melihat wajah Yusuf dan kaki yang telah berjalan kepadanya? Kemudian ia akan melemparkan pertanyaannya tentang keadaan Yusuf. Keindahan dan kesehatannya, masihkah tiada bertara? Adakah ia menyentuh makanan yang dikirimkan kepadanya? Apakah ia pernah mengingat Zulaikha yang telah memberikan hatinya kepadanya?
Setelah bertanya banyak lagi pertanyaan semacam itu, ia pergi dengan penuh air mata ke atas atap istana. Ia mempunyai ruangan kecil di sana, di mana ia dapat melihat atap penjara. Di sana ia biasa mengunci diri, sendirian, dan dengan mutiara air mata bagai rangkaian manik-manik di pelupuk matanya, ia akan mengeluh,
"Karena aku tak pantas melihatnya dalam penjara, aku harus puas melihat bubungan yang menaunginya. Bahkan pandangan tentang pintu dan dinding penjara membuatku bahagia, karena di mana saja bulanku dirumahkan di sanalah terdapat surga abadi!
Betapa diberkati atap itu, yang melayani sebagai naungan bagi matahari dunia! Betapa aku merasa iri atas tembok beruntung di mana ia bersandar, dan lantai yang mampu mencium kaki makhluk yang demikian menawan itu! Wahai, sekiranya saja pedang cintanya mau menetakku menjadi sekecil anai di sinar matahari, maka aku dapat datang terbang melalui jendelanya dan menari dalam cahayanya yang bersinar!"
Demikianlah, ia lewati seluruh hari yang panjang itu, dan ketika tiba waktu malam ia merasa siap untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir. Lalu ia berusaha untuk mengulangi pengalaman dan malam sebelumnya. Ini berlangsung terus selama Yusuf berada dalam tawanan. Setiap malam ia biasa pergi mencari lipuran di penjara, dan setiap hari ia biasa memandang penjara itu dari kamar di atas atap istana. Ia selalu melihat ke suatu dinding atau suatu wajah. Jiwanya begitu dipenuhi dengan pikiran tentang Yusuf, sehingga ia menjadi sama sekali asing pada jiwanya sendiri dan dunia luar.
Ia demikian terserap pada Yusuf, sehingga ia sama sekali kehilangan dirinya, dan cakrawala pikirannya dihapus bersih dari segala pengertian tentang baik dan buruk. Bagaimanapun usahanya, para gadis pelayannya tak dapat membawanya kembali kepada kesadaran. Berkali-kali ia akan mengatakan kepada mereka,
"Aku tak pernah sadar akan diriku, maka janganlah mengharapkan aku untuk menyadarimu sekalian. Apabila kalian hendak berkata kepadaku, ingatlah untuk menggoyangku sebelumnya, dengan demikian aku akan menjadi aku sendiri lagi dan mendengarkanmu. Hatiku dipenuhi dengan terpidana yang aku cintai, itulah sebabnya aku sangat tak sadar. Bagaimana mungkin pikiran yang dipenuhi keindahan seperti itu dapat menyadari apa pun lainnya?"
Berbahagialah orang yang mampu melepaskan diri dari hawa nafsu, dan merasakan angin lembut persahabatan. Hatinya begitu dipenuhi oleh yang dicintainya, sehingga tak ada lagi tempat bagi sipa pun selainnya. Si kekasihlah yang mengalir di setiap nadi dan sarafnya bagaikan hidupnya sendiri. Tak ada sebutir zarah di tubuhnya yang tidak diisi oleh si sahabat.
Pecinta yang sesunggunya tak dapat lagi menyadari bau atau warna dari dirinya sendiri. Ia tidak mempunyai perhatian, baik secara bersahabat ataupun memusuhi, pada siapa pun selain si kekasih. Hatinya tidak terpaut pada tahta atau mahkota. Semua keserakahan dan hawa nafsu telah membenahi kopor-kopornya dan meninggalkan jalannya. Apabila ia bicara, itu adalah kepada si sahabat. Apabila ia mencari, maka ia hanya mencari sahabatnya.
Tak pernah lagi ia perhitungkan dirinya. Ia hanya hidup untuk cinta. Ia tinggalkan yang mentah dan berpaling kepada yang matang, dengan sama sekali meninggalkan kediaman diri.
Engkau juga wahai Jami: Datanglah! Keluarlah dari dirimu sendiri dan masuklah ke dalam kediaman kesenangan abadi! Engkau mengetahui jalan menuju ke sana, maka apakah kelambanan yang mengerikan ini? Tinggalkanlah dunia khayali dari jiwa lembu, dan masukilah wilayah gaib. Dahulu Engkau tidak ada, hingga tak ada kesulitan apa pun yang menimpamu karenanya. Demikian pula, sekarang dalam berhenti menjadi, adalah terletak segala keuntunganmu. Janganlah mencari kesejahteranmu dalam rasa mementingkan diri, karena Engkau tak akan pernah mendapatkan laba dalam jenis perdagangan itu.
***
Barangsiapa lahir dengan disukai keberuntungan, maka akan menyerahkan bayang-bayang dengan kecerlangan kebahagiaannya. Apabila ia berjalan melalui rerumputan berduri, niscaya rerumputan itu akan menjadi taman mawar, dan lempungnya berubah menjadi kesturi dari Tartar. Apabila ia lewat bagai awan hujan di atas padang gersang, maka serentak padang itu menjadi surga yang nikmat. Biarlah ia membawa kesungguhannya yang ceria, bahkan ke dalam penjara, maka para penghuninya akan terbebas dari kesusahan mereka.
Demikianlah, kedatangan Yusuf ke penjara membawa kegembiraan bagi para terpidana. Apabila seseorang di antara mereka jatuh sakit, Yusuf akan mengabdikan dirinya untuk merawat serta melegakan kesengsaraan dan kecemasannya. Apabila seorang laindikuasai kekecewaan, Yusuf akan melakukan segala kemampuannya untuk membantu mengatasi permasalahan-nya dan melepaskannya dari tekanan batin. Apabila seseorang, dalam mimpi buruk, telah terjun ke dalam badai khayalan, Yusuf dapat menakwilkannya, dan meyakinkannya untuk kembali ke dunia nyata.
Alkisah, dalam penjara ada dua orang yang telah jatuh dari kenikmatan, dan ikut menanggung kesedihan terpenjara bersama Yusuf. Mereka sering mempercayakan rahasia mereka. Pada suatu hari masing-masing dari mereka bermimpi aneh yang sangat mencemaskan, lalu meminta takwilnya pada Yusuf. Akhirnya, sebagaimana telah diramalkan mimpi itu, seorang di antara mereka akan mati di tiang gantungan, sedang yang lainnya akan kembali dipulihkan menjadi kesukaan raja. Yusuf meminta kepada orang yang selamat itu untuk menyebutkan namanya ke hadapan raja,
"Bilamana raja memberi kesempatan kepadamu untuk menghadapinya, dan engkau mendapatkan kesempatan untuk berkata kepadanya, katakanlah kepadanya bahwa di dalam penjara ada seorang asing malang yang tidak mendapatkan keadilan dari Paduka. Mohonkanlah kepadanya untuk tidak membiarkan seorang lelaki tak bersalah menderita kelaliman."
Tetapi segera setelah orang yang beruntung itu memegang lagi jabatannya yang tinggi, dan telah meminum anggur dari piala keakraban dengan raja, pesan Yusuf tergelincir sama sekali dari pikirannya, dan ia tak pernah lagi memikirkannya selama bertahun-tahun. Cabang dari janjinya tertinggal gersang, sementara pemenjaraan Yusuf yang mengerikan diperpanjang.
Segera setelah Tuhan memilih suatu makhluk, dan mengangkatnya ke tempat kehormatan dalam cinta-Nya, Ia menutup baginya segala jalan pertolongan, dan tidak akan mengizinkannya untuk bergantung pada siapa pun selain-Nya. Ia menarik perhatiannya secara khusus kepada diri-Nya sendiri, dan memutuskan semua ketertautan lainnya. Ia tidak menghendaki orang lain ikut serta dalam urusan-Nya, atau bahwa si terpilih harus memerlukan seseorang lain selain-Nya. Ia tidak menghendaki dia terlibat dengan orang lain mana pun. Tawanan yang tertangkap dalam jaring-Nya adalah milik-Nya.
0 comments:
Post a Comment