Kegembiraan apakah yang lebih besar bagi seorang pecinta daripada ketika si tercinta akhirnya menyambut cintanya dengan gembira, dan pada akhirnya ia diizinkan masuk ke dalam keakrabannya? Di sana ia dapat duduk dengan si tercinta dan melepaskan beban hatinya, serta dapat membuka rahasianya yang paling dalam dan mengingatkan masa silam.
Ketika Yusuf telah kembali dari keramaian jalan kepada kedamaian dan ketenangan kediamannya, ajudannya mengingatkannya tentang si wanita tua di tepi jalan, yang atas perintah Yusuf, telah mereka bawa pulang bersama mereka.
"Berikan kepadanya apa saja yang diperlukan, dan apabila ia dalam kesusahan, carilah obatnya," kata Yusuf.
"Ia terlalu segan untuk mengatakan kepadaku secara terbuka tentang apa keperluannya."
"Baiklah," kata Yusuf, "Biarkan dia masuk dan mengatakannya sendiri kepadaku."
Zulaikha masuk ke ruangan Yusuf dengan sama gembiranya bagai kuncup mawar memekar menjadi bunga, dan menghormati Yusuf dengan senyuman bahagia. Yusuf sangat terkejut atas sikapnya yang ceria, lalu bertanya kepadanya siapa nama dan dari mana asalnya.
"Akulah yang sejak awal telah melihat wajahmu, memilihmu di atas segala yang lainnya di dunia ini. Untuk mendapatkanmu aku hamburkan semua hartaku dan mengabdikan hati dan jiwaku untuk mencintaimu. Dalam menderita untukmu, masa muda telah aku lemparkan kepada angin, dan dengan demikian aku jatuh ke dalam keadaan rapuh sebagaimana sekarang ini. Tetapi sekarang, karena engkau telah memeluk kekasih lain itu, kekuasaan raja, maka engkau telah melupakan aku sama sekali."
Ketika Yusuf menyadari siapa dia sebenarnya, ia tecekam oleh belas kasihan kepadanya lalu menangis.
"Wahai Zulaikha!" Teriaknya, "Bagaimana engkau jatuh ke dalam keadaan yang begini celaka?"
Demikianlah kesenangan Zulaikha ketika mendengar suara Yusuf menyebut namanya, sehingga ia jatuh pingsan dalam kemabukan. Ketika ia sadar kembali, Yusuf meneruskan pertanyaannya.
"Apa yang telah terjadi pada kemudaan dan kecantikan-mu?"
"Dengan tidak mendapatkanmu, aku kehilangan mereka pula."
"Dan mengapa tubuhmu yang demikian bagus menjadi begitu bungkuk?"
"Beban perpisahan denganmu telah menghancurkan jiwa!"
"Dan mengapakah matamu tidak bercahaya?"
"Karena tertolak untuk melihatmu, kedua mataku tenggelam dalam air mata darah."
"Dan apa yang terjadi dengan semua harta, mahkota dan tahtamu?"
"Diboroskan kepada siapa saja yang menyanyikan pujian untukmu. Sekarang tak ada lagi yang tertinggal kecuali hatiku, perbendaharaan cintaku."
Demikianlah kesenangan Zulaikha ketika mendengar suara Yusuf menyebut namanya, sehingga ia jatuh pingsan dalam kemabukan. Ketika ia sadar kembali, Yusuf meneruskan pertanyaannya.
"Apa yang telah terjadi pada kemudaan dan kecantikan-mu?"
"Dengan tidak mendapatkanmu, aku kehilangan mereka pula."
"Dan mengapa tubuhmu yang demikian bagus menjadi begitu bungkuk?"
"Beban perpisahan denganmu telah menghancurkan jiwa!"
"Dan mengapakah matamu tidak bercahaya?"
"Karena tertolak untuk melihatmu, kedua mataku tenggelam dalam air mata darah."
"Dan apa yang terjadi dengan semua harta, mahkota dan tahtamu?"
"Diboroskan kepada siapa saja yang menyanyikan pujian untukmu. Sekarang tak ada lagi yang tertinggal kecuali hatiku, perbendaharaan cintaku."
"Apakah keperluanmu sekarang? Apakah ada seseorang menyediakannya?"
"Engkaulah satu-satunya yang mencemaskan keperluanku, dan aku tak akan ingin berpaling kepada siapa pun selain engkau. Apabila engkau mau bersumpah untuk menjamin keperluanku, aku akan mengungkapkan kepadamu apakah keperluanku itu, apabila tidak, aku akan mengundurkan diri dan diam-diam menuju kepada penderitaan."
Yusuf menjawab,
"Aku bersumpah demi Ibrahim, si tambang kemurahan hati dan tonggak dari bangunan kenabian, yang baginya tungku yang ganas berubah menjadi taman bunga dan semak harum. Apabila berada dalam kemampuanku, aku akan memenuhi keinginanmu hari ini juga."
"Keinginanku yang pertama," katanya, "Ialah untuk mendapatkan kembali kemudaan dan kecantikanku, sebagaimana keadaannya ketika engkau mengetahui aku dahulu. Keinginanku yang kedua adalah supaya mataku dapat melihat lagi wajahmu, dan memetik mawar dari taman wajahmu."
Bibir Yusuf bergerak dalam berdoa, dan kata-katanya mengalir bagaikan air dari kehidupan abadi. Ia memulihkan kecantikan yang hilang itu, memberi air kepada sungai yang kering, sehingga membuat taman mawar kemudaannya kembali berbunga. Melenyapkan semua yang putih dari rambut hitamnya. Menebarkan cahaya dari kegelapan matanya. Tubuhnya yang ramping menjadi tegap kembali laksana cemara. Segala kerutan hilang dari kulit peraknya. Kemudian menghapus ketuaannya: empat puluh menjadi delapan belas. Segala kecantikan yang baru didapatkan Zulaikha itu bahkan mencapai ketinggian yang lebih sempurna dari sebelumnya.
"Wahai wanita yang tulus," kata Yusuf pada akhirnya, "Apabila engkau masih mempunyai keinginan lainnya, katakanlah!"
Zulaikha menjawab,
"Satu-satunya keinginan lain yang ada padaku ialah hidup bersamamu dalam persatuan mesra, menatap wajahmu di waktu siang, di malam hari wajahku menekan tapak kakimu, agar dinaungi oleh tubuhmu yang setegap cemara, dan mengumpulkan madu pada bibirmu yang tersenyum manis. Kemudian, ketika aku melihat hasratku terpenuhi, hatiku yang luka akhirnya akan sembuh. Wahai, biarlah sumber yang melimpah dari cintamu mengairi lahanku yang layu dan gersang!"
Yusuf tetap berdiam diri, dengan kepalanya menunduk. Ia sedang menanti dengan cemas jawaban dari dunia gaib, karena ia sedang disobek-sobek antara hasratnya yang saling berbenturan. Pada akhirnya bunyi kepak sayap Jibril mencapai telinganya, dan malaikat itu berkata kepadanya,
"Wahai Raja yang mulia, aku membawa salam dan pesan dari Tuhan yang suci. Kami telah melihat ketidakberdayaan Zulaikha dan telah mendengar permohonannya kepadamu. Samudera belas kasihan Kami telah tergoncang keras oleh gelombang ombak usahanya yang tak berdaya. Bukalah keinginan Kami untuk mengiris hatinya dengan sembilu keputus-asaan, oleh karena itu Kami mempersatukannya denganmu pada tahta Ilahi. Maka ikatkanlah dirimu kepadanya dengan tali yang kekal, dan dengan demikian mengoyak ikatan kesulitannya. Engkau sedang diawasi dengan mata kemurahan, dan dari persatuan kalian berdua akan datang mutiana-mutiara yang amat berharga."
***
Setelah menerima perintah dari Tuhan untuk mempersatukan dirinya dengan Zulaikha dalam perkawinan, Yusuf pun mempersiapkan suatu pesta besar, di mana ia mengundang Raja dan seluruh orang terkemuka di Mesir. Kemudian, sesuai dengan hukum agama Ibrahim dan Yaqub, dan melaksanakan setiap adat kebiasaan yang baik dan bagus, Yusuf dan Zulaikha dinikahkan. Semua orang mencurahkan perbendahanaannya kepada pasangan itu. Raja serta pasukannya menyampaikan ucapan selamatnya.
Sebagaimana biasanya pada peristiwa semacam itu, Yusuf akhirnya mengajukan permohonan matanya kepada para tamu yang berkumpul, dan berpaling kepada Zulaikha untuk mengajukan suatu permintaan, sebuah permintaan yang memenuhi hati Zulaikha dengan kegembiraan. Demi menyambut itu, Zulaikha pergi ke ruang pengantin, dengan para gadis pelayannya berlarian maju. Di sana mereka membusanainya dengan pakaian brokat emas, diiringi rasa takjub dan berdecak kagum atas kecantikannya yang menyihir.
Pada akhirnya kegemparan pesta kawin itu mulai mereda, dan para tamu pun beranjak pulang. Berkerudung laksana pengantin, bulan menarik tirai berbintang emas ke arah bumi. Bintang-bintang bersinar dengan sepenuh kemuliaannya dan lengkungan lazuardi. Langit memakai peniti Pleiades di dadanya. Pada senja itu, matahari yang sedang terbenam telah meninggalkan permata merah delima dan mutiara gemerlap. Pada akhirnya jalinan gelap malam itu menjadi tirai rahasia bagi dunia, serta tersembunyi sedemikian rupa, hingga para penghuninya dapat melakukan perburuan rahasianya. Berduaan dalam kesendirian, para pecinta menarik tirai untuk melindungi mereka dari kecemburuan mata yang mengintip.
Di balik tirainya, Zulaikha tidak sabar menanti dengan berdebar-debar. "Pada akhirnya," ia mengeluh, "Setelah menanggung haus sekian lama, aku dapat merasakan air di bibirku. Tuhan, apakah aku berjalan atau bermimpi?" Sesaat matanya dibanjiri air mata kegembiraan. Di saat berikutnya hatinya berdarah dengan ketakutan akan kekecewaan. "Aku tak dapat mempercayai bahwa nasib telah memberiku kepada yang lebih baik," katanya. "Lagi pula kebiasaan si sahabat adalah baik dengan semua, oleh karena itu adalah suatu dosa untuk berputus asa terhadapnya."
Demikianlah, ia ditarik ke sana ke mari oleh perubahan-perubahan rasa senang dan suram, sampai ketika tiba-tiba ia melihat tirai ditarik, dan di sana berada si bulan yang tak bertirai, mengisi ruangan dengan kecerlangannya. Ia tak dapat melepaskan matanya dari wajah Yusuf. Pandangan akan keelokannya yang bersinar membawanya kepada kebahagiaan.
Terharu oleh pemujaan dalam kemabukan itu, Yusuf mengangkatnya dengan lembut ke pelaminan kecemasan, di mana ia membuai kepala Zulaikha di atas pangkuannya. Keharumannya membawa Zulaikha kembali kepada kesadaran. Sekaranglah akhirnya Yusuf melihat ke wajah yang hingga saat itu hatinya selalu berpaling darinya karena malu. Ia melihat pada wajah itu kecantikan dan daya tarik semisal bidadari.
Ketika ia telah membiarkan matanya berpesta sepuas hati, ia menariknya dalam pelukan. Yusuf, si tamu beruntung di meja cinta, mendapatkan sari demi membasahi seleranya.
Terbangun dari tidur di malam itu oleh kehausan yang berulang, ia menyelamkan diri ke dalam kolam perak. Kuncup mawar itu sekarang tenggelam dari penglihatan ke dalam bunga yang sedang berkembang. Bayangkan, dua mawar yang ditiup bersama-sama oleh bayu pagi.
Yusuf bertanya kepada Zulaikha, "Mengapakah maka mutiara itu belum pernah dipecahkan? Mengapa maka mawar itu tak pernah terbuka di bayu pagi?"
"Karena," jawab Zulaikha, "Walaupun Wazir itu satu-satunya laki-laki yang telah melihat tamanku, ia tak pernah memetik kuncup mawar di sana. Meskipun ia cukup bergairah untuk jalan hawa nafsu itu, ketika saatnya tiba, ia tak berdaya untuk memuaskan hawa nafsunya. Bagiku, sejak kanak-kanak, ketika aku melihatmu dalam impian dan mengetahui siapa engkau, dan engkau menaruh belas kasihan kepadaku serta mengamanatkan karunia besar ini untuk aku jaga, aku telah melindunginya dengan cemburu dari setiap orang lain. Tak seorang pun pernah menyentuh mutiara itu, dan aku bersyukur kepada Tuhan bahwa adanya segala kengerian yang aku alami, pada akhirnya aku mampu menyerahkannya dengan aman kepadamu."
Ketika ia mendengar kata-kata itu, kasih sayang Yusuf kepadanya berlipat ganda. Lalu ia berkata kepada Zulaikha,
"Katakan kepadaku, wahai engkau yang bahkan lebih cantik dari bidadari, tidakkah engkau berpikir ini lebih baik daripada apa yang engkau kehendaki?"
"Ya!" Jawab Zulaikha. "Maafkan aku, kepedihan cinta itulah yang menurunkan aku kepada keadaan itu. Hatiku dahulu berada dalam belenggu nafsu yang tanpa batas. Jiwaku disiksa oleh sakit yang tak ada obatnya. Rupamu begitu elok sehingga setiap saat melemparkan perasaan ke dalam gejolak yang bahkan lebih besar. Hal itu lebih besar daripada yang dapat aku tanggung. Maka aku memohon kepadamu untuk menarik tirai ampun atas kejahatanku. Bagaimana mungkin si tercinta menghina si pecinta demi kata-kata yang timbul dari cinta yang mutlak?"
***
Si pecinta yang dengan tulus mengikuti jalan cinta pada akhirnya akan mencapai si tercinta.
Zulaikha adalah si pecinta tulus seperti itu, yang seluruh hidupnya, dari awal hingga akhir, dikorbankan kepada cinta. Bahkan sebagai kanak-kanak, ketika menjadi ibu bagi boneka-bonekanya, ia telah dipenuhi dengan cinta kepada mereka. Satu-satunya permainan yang menarik perhatiannya adalah permainan cinta. Demikianlah ketika ia tiba pada usia yang dapat membedakan antara kanan dan kiri serta belajar sopan santun, ia beruntung melihat Yusuf dalam mimpi, dan terjerat dalam jaring cinta kepadanya. Dengan membuang dari hatinya cinta kepada kampung halamannya.
Ia pergi ke Mesir, tertarik bukan oleh tempat itu sendiri melainkan oleh kehadiran Yusuf. Ia lewati sepanjang usia mudanya dengan memikirkannya, dan hidup dalam harapan akan bersatu dengan Yusuf. Bahkan di usia tua, ketika kebutaan menguasainya dan ia tak dapat lagi melihat wajahnya, masih saja ia terpikat dalam hasrat itu. Ketika pada akhirnya kemudaan dan penglihatan dipulihkan kepadanya, ia terus mencintai jiwa dunia itu. Dan dengan demikian sepanjang hidupnya ia hidup dalam pengabdian dan ketulusan setia sepenuh-penuhnya kepada Yusuf.
Kesetiaan tanpa batas semacam itu akhirnya tersalur kepada Yusuf, dan sesungguhnya dengan semangat sedemikian rupa sehingga sekarang adalah giliran Zulaikha untuk dipeluk olehnya. Si wanita pemikat itu sekarang memegang hati Yusuf dengan demikian kuatnya, sehingga Yusuf tak melewatkan sesaat pun tanpa dirinya. Yusuf terus berusaha menyenangkannya demi mendapatkan kesukaannya, menempatkan pipinya ke pipi Zulaikha, bibirnya ke bibir Zulaikha. Dengan demikian secara berlimpah ia mengairi taman hijau kegembiraan itu, sehingga terkadang bahkan ia sendiri yang kekurangan air.
Namun, berkat dialah maka tirai di hadapan mata Zulaikha akhirnya sobek dan jatuh. Seberkas dari cahaya Kebenaran mengenainya dengan sinar yang berlimpah, sehingga Yusuf hilang di dalamnya bagai anai-anai di sinar mentari. Karena, setelah halangan-halangan sepanjang tahun larut dalam ujian cinta duniawi, ketika matahari kebenaran terbit, tak sekerat halangan pun tertinggal. Hakikat sekarang begitu menarik perhatiannya, sehingga ia serahkan segala sesuatu yang sebelumnya dianggapnya amat perlu.
Pada suatu malam, dalam usaha untuk melepaskan din dari pegangan Yusuf, ia lari tunggang langgang dan Yusuf dalam kebingungan. Yusuf berhasil memegang ujung bajunya, dan menyobeknya di bagian belakang.
"Engkau lihat!" Teriak Zulaikha, "Di suatu masa aku menyobek bajumu, dan sekarang giliranmu. Sekarang kita mitra dalam kejahatan, dan aku tidak lagi merasa yang menang. Ketika sampai pada menyobek baju, kita berdua berada pada landasan yang sama!"
Ketika Yusuf melihat pengabdian takwa semacam itu dalam diri Zulaikha, ia menyuruh membuatkan suatu bangunan bersepuh dibangun atas namanya. Suatu ruang berlapis biru langit, lantainya dihiasi dengan halus laksana surga sungguhan dan dinding-dindingnya diliput dari puncak ke dasar dengan gambar-gambar yang untuk itu si seniman mesti mengabdikan seluruh wawasan dan kecakapannya. Cahaya kebahagiaan tercurah melalui jendela-jendelanya. Pintu-pintunya terbuka kepada utusan kegembiraan. Di dalamnya mahligai mulia telah didirikan, terbuat dari emas murni dan batu mirah delima, dan dihiasi ratusan miniatur yang menyesakkan nafas.
Dengan halus Yusuf memegang tangan Zulaikha dan menyilahkannya duduk di sisinya. Kemudian ia berkata kepadanya,
"Semua kesukaan yang berlipat ganda yang telah engkau anugerahkan kepadaku akan membuatku menjadi malu sampai di hari pengadilan. Ketika aku bukan apa-apa selain seorang budak yang nestapa, engkau menyuruh membangunkan sebuah bangunan seperti ini atas namaku. Sekarang, pada giliranku, dalam mengakui semua kebaikanmu, aku telah menyuruh membangunkan gedung ini untukmu. Di sini engkau boleh bersyukur kepada Tuhan, yang telah menunjukkan kepadamu nikmat sebanyak rambut di kepalamu. Ialah yang memulihkan kekayaan kepadamu setelah kemiskinan, memulihkan kecantikan setelah menjadi tua dan lemah, memberikan cahaya ketika matamu telah dilanda kebutaan. Demikianlah ia membuat gerbang kasih sayang kepadamu, dan setelah membuatmu merasakan racun kesedihan sepanjang hidupmu, Ia menyelamatkanmu dengan penawar persatuan."
Dan Zulaikha, sambil duduk di tahta kekuasan, hidup dengan bahagia dalam kesadaran akan cinta Yusuf dan rahmat Tuhan.
0 comments:
Post a Comment