Sudah lama saya mengidam-idamkan punya alat yang bisa mengukur kualitas ibadah. Wah, apa iya, ibadah bisa diukur dengan peralatan?
ltulah mimpi saya sejak lama. Kenapa? Karena, selama ini, kita hanya mengukur kualitas ibadah secara kualitatif. Dan kemudian, subyektif. Sehingga setiap orang bisa mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang kualitas ibadahnya.
Misalnya, tentang shalat. Kita seringkali kesulitan untuk mengukur apakah ibadah shalat kita sudah khusyuk, ataukah belum. Tidak ada ukuran yang bersifat obyektif. Yang ada, bersifat subyektif. Berbeda-beda pada setiap orang.
Meskipun kita sudah ikut pelatihan shalat khusyuk misalnya, kita tetap saja tidak tahu apakah setelah pelatihan itu shalat kita menjadi khusyuk. Kenapa? Karena kita tidak mempunyai alat ukur.
Bahkan, kita juga masih punya pendapat sendiri-sendiri tentang yang disebut 'khusyuk' itu. Ada yang mengatakan, bahwa yang disebut khusyuk adalah ketika pikiran kita fokus kepada shalat yang sedang kita lakukan. Bacaannya, maupun gerakan-gerakannya.
Ada juga yang mengatakan bahwa yang disebut khusyuk adalah ketika kita bisa merelaksasi pikiran dan jiwa kita seperti saat bermeditasi. Sehingga memperoleh kondisi jiwa yang tenang.
Ada yang berpendapat berbeda lagi, dengan mengatakan bahwa khusyuk adalah suatu kondisi dimana kita tidak bisa melihat Allah, tetapi merasa ditihat oleh Allah.
Tetapi masalahnya, bagaimanakah mengaplikasikan konsep-konsep itu ke dalam praktek? Dan kemudian, bagaimana tanda-tanda seseorang yang telah mencapai kekhusyukan shalatnya? Apa ukuran yang terlihat?
Ini penting, karena kalau kita tidak bisa mengukur kekhusyukan shalat kita, maka menjadi sulit untuk berlatih menjadi khusyuk. Bagaimanakah seharusnya sikap hati? Bagaimana sikap pikiran? Bagaimana pula badan harus kita kondisikan? Semuanya menjadi tidak jelas...
Demikian pula dengan dzikir. Bagaimanakah dzikir yang baik itu? Al Qur’an hanya mengatakan bahwa orang yang berdzikir dengan baik akan menjadi tenteram hatinya. Alaa bi dzikrillahi tathma'inul qulub. Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah, hati akan menjadi tenang.
Tetapi, bukankah ini adalah pedoman yang bersifat kualitatif? Tidak semua orang bisa merasakan hatinya menjadi tenang. Meskipun banyak di antara kita telah merasakan bahwa dengan berdzikir yang baik itu, hati kita memang menjadi lebih tenang.
Sehingga saya kepikiran, seandainya ada alat yang bisa digunakan untuk mengukur 'ketenangan hati' tentu akan sangat membantu memahami efek dzikir maupun shalat kita. Dan kemudian kita akan bisa berlatih dengan lebih terarah.
Nah, ternyata Allah memberikan jalan. Alat yang sudah lama saya idam-idamkan itu akhirnya saya dapatkan juga. Yaitu, Kamera Aura.
Inilah alat yang bisa digunakan untuk mengetahui dan merekam kondisi jiwa seseorang. Apakah dia sedang marah dan emosi, ataukah dia sedang sabar dan ikhlas. Apakah dia sedang kalut pikiran, ataukah sedang tenang dan damai. Dia sedang berbohong ataukah sedang berlaku jujur. Dia sedang gelisah dan khawatir ataukah sedang berserah diri. Intinya, alat ini mampu mengetahui dan merekam, apakah hati kita sedang bergejolak ataukah sedang fokus, tenang, dan khusyuk.
Karena itu, alat ini bisa digunakan untuk mengukur kualitas jiwa seseorang saat berdzikir. Dan, ternyata hasilnya memang luar biasa. Berpuluh kali saya melakukan pengamatan dengan menggunakan alat berharga ratusan juta itu, ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Terbukti, bahwa alat ini memang bisa digunakan untuk mengukur kualitas dzikir.
Wah, saya seperti memperoleh durian runtuh. Alat yang selama ini saya idam-idamkan ternyata telah saya dapatkan. Saya kini melakukan banyak pengamatan untuk mengukur efek ibadah dengan menggunakan kamera aura.
Apalagi peralatan ini 1 tingkat lebih maju dibandingkan dengan peralatan sejenis lainnya yang ada di Indonesia. Selain memiliki akurasi yang jauh lebih baik - bisa membedakan 1.500 jenis warna aura - peralatan ini bisa merekam secara video.
Dengan video ini, kita bisa mengikuti perubahan yang terjadi pada seseorang yang sedang melakukan dzikir. Bagaimana auranya sebelum berdzikir, selama berdzikir, dan sesudahnya. Tentu saja ini, luar biasa!
Kita menjadi bisa mengikuti suasana hati dan jiwa orang yang sedang berdzikir. Benarkah hati orang yang berdzikir itu menjadi lebih tenang ataukah tidak. Apakah kualitas auranya meningkat, tetap sama, ataukah malah menurun.
Dari data-data yang saya dapatkan selama pengamatan, hasilnya ternyata sangat positif. Bahwa orang yang berdzikir dengan baik, ternyata auranya meningkat terus sampai mencapai warna putih. Dengan kata lain, seseorang yang bisa berdzikir dengan khusyuk, getaran jiwanya akan melembut dan kemudian menghasilkan warna aura dengan energi sangat tinggi.
Ini persis seperti yang difirmankan Allah di dalam Al Qur’an al Karim. Bahwa orang-orang yang beriman, hatinya akan bergetar melembut ketika berdzikir kepada Allah. Dan kemudian, memperoleh ketenteraman dan kedamaian. Maka, kini kita bisa mengukur tingkat kekhusyukan seseorang dari melihat perubahan auranya pada saat beribadah.
Karena itu, saya terdorong memanfaatkan peralatan ini untuk membantu kawan-kawan yang ingin meningkatkan dan mengembangkan potensinya secara lebih terukur. Kami telah menyiapkan sebuah tim pelatihan yang kami wadahi dalam Program Pelatihan Pengembangan Diri 'PADMA AURA'.
Ada beberapa program yang direncanakan. Di antaranya, kami membuka: Klinik Aura, Program Dzikir, Program Pengembangan Potensi, Pelatihan dan Rekruitmen SDM, Serta Program Keluarga Sakinah.
Diskusi yang sedang anda baca ini adalah sebagian dari materi yang disampaikan dalam program pengembangan tersebut. Khususnya yang berkait dengan dzikir.
Selamat membaca, dan mengukur kualitas ibadah anda...
0 comments:
Post a Comment