Thursday, March 1, 2007

Empat Tingkatan Kualitas Beragama



Bagaimana cara memperoleh keikhlasan? Karena, seperti kita. ketahui, bahwa keikhlasan tidak bisa dipaksa-paksakan. Memang keikhlasan harus diperoleh dengan cara yang benar. Ada beberapa tingkatan atau fase untuk memperoleh keikhlasan. Yang pertama, adalah kornitmen. Yang kedua, memperoleh keyakinan lewat pembelajaran keilmuan. Yang ketiga, mesti diamalkan dan dilatih. Barulah, kemudian kita akan memperoleh keikhlasan yang mantap dalam menjalankan agama kita.

Dalam firman di bawah ini Allah menginformasikan tingkatan tingkatan dalam menjalani agama. Yaitu, tingkatan Iman, naik menjadi tingkatan Takwa dan akhirnya mencapai tingkatan tertinggi, yaitu Islam. Sebenarnya ada tingkatan yang paling dasar yang tidak disebutkan dalam firman itu, yaitu Islam komitmen. Adalah orang yang sudah berkomitmen untuk memeluk agama islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Tingkatan kedua barulah ‘Iman’ atau ‘Yakin’ Tingkatan ketiga Takwa, alias ‘amalan’ Dan tingkatan keempat adalah Islam atau keikhlasan dan kepasrahan.

QS. Ali Imran (3): 102
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian dengan sebenar benarnya takwa, dan jangan mati kecuali dalam keadaan Islam”

Apakah yang dimaksud dengan Islam komitmen? Seseorang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat bisa dikatakan bahwa dia sudah Islam. Tetapi baru Islam komitmen. Artinya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kepada manusia di seluruh dunia, dan juga kepada Allah, bahwa dia akan menjalani seluruh ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Bahwa dia hanya akan berTuhan kepada Allah dan berguru kepada nabi Muhammad saw saja. Tidak kepada yang lainnya. Tetapi dia belum menjalani proses peribadatan yang diajarkan dalam Islam.

Tentu berIslam secara demikian ini tidaklah cukup. Dan bukan menjadi tujuan Rasulullah mengajarkan Islam. Tujuan utama kita beragama Islam adalah untuk menundukkan hawa nafsu kita, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah, bahwa ‘belum Islam seseorang sampai dia bisa menundukkan hawa nafsunya’. Karena itu, seseorang yang sudah melakukan komitmen ini harus mengikutinya dengan tingkatan berikutnya.

Tingkatan yang kedua adalah Iman. Pada tingkat yang kedua ini, dia harus mempelajari seluruh ajaran islam secara mendetil. Mulai dari tatacara peribadatannya sampai pada makna ibadah itu sendiri. Dia harus tahu bagaimana cara shalat yang betul, puasa yang baik, dzikir yang bermanfaat, sarnpai melaksanakan ibadah haji. Tetapi tidak hanya berhenti di situ, dia juga harus memahami apa tujuan dari berbagai aktivitas ibadah itu. Jangan sampai ada seorang Islam yang tidak paham tentang apa yang dia lakukan. Allah telah mengingatkan kita dalam ayat berikut ini. QS. Israa(17): 36
“Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak memiliki i1munya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Jadi, dalam menjalankan agama ini kita memang harus benar benar memahaminya. Tidak boleh ikutt-ikutan. Pada zaman nabi Muhammad kita bisa menyandarkan pemahaman kita kepada beliau. Kita contoh dan ikuti saja beliau, sudah pasti benar. Tetapi di jaman kita kini, siapakah yang bisa kita percaya sepenuhnya bahwa apa yang diajarkan oleh seseorang itu adalah benar 100 persen? Meskipun dia orang tua kita, meskipun juga dia adalah guru kita.

Bukannya kita su'udlon, tetapi memang demikianlah seharusnya sikap kita agar pemahaman terhadap Islam ini tidak mutlak-mutlakan. Melainkan dinamis sesuai dengan fakta dan akal sehat kita semua. Tentu, ada kaidah-kaidah yang harus dikuti, tetapi semua itu memiliki kebenaran relatif karena keterbatasan manusia.

Apakah tujuan utama dari tingkatan kedua iman ini? Utamanya adalah untuk memperoleh ‘keteguhan keyakinan’. Diharapkan, orang yang telah lulus dari fase ini akan menjadi orang yang sangat yakin terhadap ajaran islam, karena ia telah betul-betul memahami tentang Islam secara detil dan menyeluruh.

Memang di dalam proses mencapai keyakinan itu ada tingkatannya juga, yaitu : ‘ilmul yaqin, ainul yaqin, dan Haqqul yaqin. Ilmul yaqin adalah keyakinan yang diperoleh seseorang berdasarkan informasi dari orang lain, sebutlah dari seorang guru. Misalnya, kita diajari oleh guru kita bahwa Allah itu Maha Besar. Kita percaya kepada guru kita itu, bahwa Allah memang Maha Besar. Kita melakukan diskusi panjang dengan sang guru untuk meyakinkan pemikiran kita lewat logika dan proses keilmuan yang berlaku. Jika akhirnya kita percaya dan yakin dengan informasi itu, maka kita telah memperoleh keyakinan secara keilmuan, atau disebut sebagai ilmul yaqin.

Selanjutnya adalah Ainul yaqin. Pada tingkatan ini keyakinan yang kita peroleh bukan lagi sekadar mendengar dari orang lain, atau diyakinkan oleh orang lain. Melainkan kita meyakininya karena kita sudah 'melihat' sendiri. 'Melihat' dalam hal ini tidak selalu dengan mata kepala tetapi juga dengan 'mata batin' dan pikiran kita.

Bedanya dengan keyakinan tingkat pertama adalah, kalau 'ilmul yaqin, keyakinan kita itu lebih didasarkan pada kajian-kajian semata. Namun, pada tingkatan ainul yaqin kita sudah mengalaminya sendiri, meskipun belum sepenuhnya berinteraksi. Sedangkan pada tingkatan Haqqul yaqin, keyakinan kita benar-benar sudah sangat mantap. Tidak mungkin lagi tergoyahkan, karena kita sudah ‘berinteraksi’ sendiri dengan hal yang kita yakini tersebut.

Katakanlah, kita yakin atau iman kepada eksistensi Allah. Untuk bisa meyakini bahwa Allah itu ada dengan segala sifat KebesaranNya, maka kita tidak bisa mendapatkan dengan tiba-tiba. Ada sebuah proses mulai dari berusaha mencari informasi tentang Allah itu siapa, kemudian kita kaji sehingga kita memperoleh kesimpulan yang kuat bahwa Allah itu memang eksis, sampai kemudian kita berusaha untuk berinteraksi denganNya lewat dzikir-dzikir, lewat shalat, lewat puasa, lewat berhaji, lewat zakat, dan lewat berbagai aktivitas keseharian kita yang meng Esakan Allah.

Disitulah kita lantas akan bertemu dengan Allah. Mungkin butuh waktu sepuluh tahun. Mungkin juga 25 tahun. Atau bahkan sepanjang kehidupan kita. Sebagaimana yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, dan para nabi lainnya.

Ketiga tingkatan keyakinan itu tergabung dalam fase lman. Sebuah fase kedua setelah Islam komitmen. Maka, tingkatan berikutnya adalah Takwa. Apakah esensi dari Takwa? Jika esensi iman adalah proses keilmuan untuk mendapatkan keyakinan, maka Takwa adalah proses amalan atau membiasakan diri dengan perbuatan perbuatan baik, dan mensucikan diri kita dengan cara menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh kemampuan mengontrol atau mengendalikan diri sendiri.

Jadi kalau ditelusuri : Komitmen kita dalam beragama ini diperlukan untuk memberikan motivasi dalam mempelajari Islam sampai kita memperoleh keyakinan atau Iman tentang yang kita pelajari. Keyakinan tersebut akan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengamalkan dan membiasakan diri dalam proses Takwa, yang menghasilkan karakter dan sebuah kekuatan besar di alam Bawah Sadar kita.

Lantas, apakah hasil akhir dari ketiga proses itu ? Kalau seseorang sudah mencapai tingkatan Takwa, maka seluruh aktivitas kehidupannya dan gerak gerik hatinya selalu terkontrol dengan baik. Dan lebih dari itu, secara otomatis ia telah mengikuti tatacara kehidupan yang diajarkan oleh Allah lewat rasulNya.

Tidak ada lagi keterpaksaan dalam menjalankan agama Islam. Ia sangat memahami tentang visi dan misi serta manfaat agama ini bagi kehidupan manusia secara kolektif maupun perseorangan. Sikapnya menjadi tawadlu', rendah hati, sumeleh, rendah egonya, mendahulukan kepentingan umum, serta penuh kasih sayang kepada sesama dan alam sekitamya. Inilah tingkatan tertinggi di dalam agama Islam. Dan ini pula yang dikatakan Allah kepada Rasulullah dalam firman berikut ini.

QS Al Anbiyaa' (21) : 107
“Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam.”

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila