Ketika kita berbicara tentang wihdatul wujud, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai Tauhidul wujud - manunggaling kawula Ian gusti - kita tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan dua tokoh terkenal: Husain bin Mansyur al Hallaj dan Syech Siti Jenar. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penganut faham bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Al Hallaj hidup pada abad ke 10 di Bagdad, sedangkan Syech Siti Jenar abad ke 16 di Pulau Jawa.
Sampai akhir hayatnya dihukum oleh 'penguasa' pada zaman itu kedua tokoh tersebut tetap Istiqamah berpendapat bahwa Allah dan makhluk adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Lepas dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kontroversi yang terjadi baik oleh para muridnya maupun periwayat konsep 'Bersatunya Tuhan & Makhluk' ini sangat menarik untuk dikaji.
Benarkah Al Qur'an mengajarkan tentang 'bersatunya Tuhan dengan makhluk 'ataukah tidak. Sebagai konsep Tauhid, tidak bisa tidak, kita harus mendiskusikannya agar memperoleh kefahaman yang holistik alias menyeluruh. Kefahaman Tauhid yang baik akan memberikan dasar yang kuat bagi seluruh proses beragama kita.
Saya mengenal untuk pertama kalinya tentang Tauhidul wujud dari ayah saya. Waktu itu, saya masih sekolah SD, entah usia berapa. Ayah bertanya kepada saya, saat kami masih di meja makan usai makan malam: "tahu nggak kamu, Tuhan ada dimana?"
Ayah memang biasa mengajak diskusi anak-anaknya. Atau kadang sekadar bercerita agama. Tidak ada waktu khusus. Beliau bisa bercerita atau mengajak diskusi kapan saja beliau mau. Kebanyakan, beliau mengajarkan ilmu tauhid kepada kami.
Namun, diskusi di meja makan itu, agaknya telah menjadi 'provokasi' yang sangat mengesankan dalam pemahaman saya terhadap agama, yang kemudian teringat sampai kini. Provokasi itu telah menjelma menjadi inspirasi tiada henti dalam kehidupan saya.Yang kemudian, mengalir di tulisan-tulisan saya: Terus 'mencari' Allah lewat pendekatan empirik.
Waktu itu, saya menjawab pertanyaan ayah sekenanya sebagai anak kecil. Saya katakan, Tuhan ada di Surga! Ayah saya bukan membenarkan atau menyalahkan, tapi malah bertanya lagi. ‘Kalau Tuhan di Surga, apakah di luar Surga tidak ada Tuhan?"
Wah, sulit juga bagi anak kecil untuk menjawab pertanyaan itu! Secara spontan saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mencari jawaban lain. Saya katakan, 'kalau begitu, Tuhan pasti ada di langit'
Bayangan saya, langit begitu besarnya. Mungkin lebih besar dari surga. Dan saya sering melihat orang-orang berdoa menengadah ke langit. Pasti inilah jawaban yang benar, pikir saya.
Tapi, lagi-lagi, ayah saya tidak membenarkan atau menyalahkan, melainkan menyodori pertanyaan berikutnya. "Kalau Tuhan berada di langit, apakah DIA tidak berada di Bumi bersama kita? Jauh sekall Tuhan dari kita?"
Saya tidak mau menyerah begitu saja, meskipun saya menangkap nuansa bahwa jawaban saya tersebut dianggap ayah tidak tepat. Maka, saya lantas 'menebak' sekali lagi. "Kalau gitu, Tuhan bersama kita semua" sahut saya! Ayah saya tersenyum, tapi sambil bertanya terus: 'Kalau Tuhan bersama setiap manusia, apakah DIA itu banyak? Bukankah DIA cuma SATU?" Sampai di sini, buntulah akal saya. Menyerah. “Jadi, Tuhan ada di mana?” Sergah saya setengah putus asa.
Ayah lantas mengambil gelas yang berisi air teh di meja makan. Bukan menjawab, tapi masih terus bertanya. "Kamu lihat air teh yang berwarna kecoklatan ini. Dari mana warna tersebut?" Tentu saja saya jawab: "dari daun teh yang dicelupkan ke dalam air"
Beliau lantas bertanya lagi:"apakah kamu bisa membedakan antara warna air dengan warna teh di dalam air teh ini?" Saya menggelengkan kepala. Karena, tentu saja, saya tidak bisa membedakan warna air dengan warna tehnya. Keduanya telah menyatu dalam 'air teh' yang berwarna kecoklat-coklatan.
Begitulah keberadaan Tuhan terhadap makhluk-Nya. Tuhan ibarat air putih, sedangkan makhluk ibarat daun teh yang dicelupkan. Keduanya kini menjadi satu. Warna teh sudah larut ke dalam air putih, menjadi air teh yang berwarna kecoklat-coklatan."
Saya manggut-manggut. Meskipun, sebenarnya tidak cukup mengerti dengan perumpamaan tersebut. Saya hanya menangkap kesan, bahwa ayah saya sedang ingin mengajarkan: Tuhan itu bersatu dengan makhlukNya tanpa dapat dipisahkan, bagaikan warna air putih dengan warna teh, yang telah menyatu ke dalam segelas air teh...
Ketidakpahaman saya itu terus memprovokasi pikiran saya sampai dewasa. Dan baru menemukan bentuknya setelah saya cukup dewasa dalam berpikir, bertahun-tahun kemudian. Apalagi setelah saya membaca beberapa diskusi tentang konsep wihdatul wujud dan Tauhidul wujud yang diturunkan dari Al Hallaj dan Siti Jenar. Ketiganya memiliki kemiripan dalam mempersepsi kebersatuan antara Tuhan dengan makhlukNya.
Konsep ini memang tidak mudah untuk dipahami. bahkan boleh dikata cukup rumit. Karena itu, tidak semua orang bisa memahami dengan tepat. Apalagi jika tidak pas dalam membuat perumpamaannya. Maka, saya lantas bisa mengerti kenapa banyak murid kedua tokoh itu, atau periwayat sejarah dan ajaran mereka, cenderung 'meleset' dalam memahami kebersatuannya dengan Allah.
Saya pun baru menyadarinya belum lama ini. Setelah lebih banyak melakukan eksplorasi ayat-ayat tauhid dari dalam Al Qur’an.
Kesalahan yang paling mendasar dari kefahaman tauhidul wujud selama ini, agaknya terletak pada ‘menyamakan derajat’ antara makhluk dengan Allah. Barangkali, ini dikarenakan sulitnya menjelaskan konsep manunggaling kawula lan gusti itu. Tidak ada perumpamaan yang bisa menjelaskan dengan persis, konsep tersebut.
Ayah saya mengatakan, semakin paham kita tentang konsep tauhid, sebenarnya kita semakin tidak mampu untuk menjelaskan secara tepat. Bahasa manusia sudah tidak mencukupi lagi untuk menceritakan Eksistensi Allah.
Namun, tidak bisa tidak, kita harus menceritakan sebagai pembelajaran. Agar kita memperoleh kepahaman. Disinilah problem utamanya.
Ketika ayah saya mengambil air teh sebagai perumpamaan bersatunya makhluk dengan Allah, saya akui saya terjebak pada kesan bahwa Allah dan makhluk memiliki derajat yang sama. Ya, bagaikan warna air yang telah menyatu dengan warna teh.
Saya terjebak pada kesan bahwa air memiliki volume yang sama persis dengan volume teh yang telah larut di dalam air. Yaitu, sama-sama 1 gelas! Keterjebakan ini dialami juga oleh para murid Siti Jenar atau bahkan mungkin oleh Siti Jenar sendiri ketika mengatakan ‘dirinya adalah Allah’, karena sudah bersatu denganNya. Padahal, bukan begitu maksud perumpamaan di atas. Ada juga yang mengumpamakan api dan kayu bakar, sama-sama terbakar.
Sebenarnya, ayah saya ingin menegaskan bahwa warna teh telah larut ke dalam warna air. Atau dengan kata lain, eksistensi makhluk telah larut ke dalam eksistensi Allah, Tapi, tetap saja, warna teh bukanlah warna air, yang telah melarutkannya. Atau, to the point, makhluk bukanlah Allah. Dan Allah bukanlah makhluk!
Dan yang kedua, dengan perumpamaan itu, beliau ingin mengatakan bahwa warna teh yang telah larut ke dalam warna air itu tidak bisa lagi dibedakan dari warna airnya. Kedua-duanya telah bersatu padu...
Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa perumpamaan itu memang memiliki beberapa kelemahan dalam mewadahi konsep Tauhidul wujud. Karena bisa mengundang persepsi yang keliru. Bukan karena kesengajaan. Tetapi, sekadar karena kekurang tepatan dalam mengambil perumpamaan.
Disinilah saya merasa perlu untuk melengkapi beberapa bagian yang saya anggap kurang pas. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, saya melakukan berbagai eksplorasi terhadap konsep tauhid ini, dan ternyata saya tidak beranjak jauh dari apa yang diajarkan ayah saya sejak kecil.
Bahwa makhluk memang tak mungkin berada di luar Allah. Tidak bisa tidak, makhluk mesti berasal dari Allah. Berada di dalam Nya & Bersatu denganNya.
Tapi, barangkali sedikit berbeda dalam menguraikan masalah dan mengambil perumpamaannya. Karena, saya lebih banyak menjelaskan dari sudut pandang ilmu-ilmu empirik yang bertumpu pada rasio dan logika yang memang menjadi bahasa komunikasi masyarakat modern.
Tentu saja, dengan satu harapan: jangan sampai pembaca menganggap dirinya sederajat dengan Allah, karena sudah merasa bersatu denganNya. Apalagi, lantas meninggalkan syariat ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw!
Semoga bermanfaat. Selamat berdiskusi...
Sampai akhir hayatnya dihukum oleh 'penguasa' pada zaman itu kedua tokoh tersebut tetap Istiqamah berpendapat bahwa Allah dan makhluk adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Lepas dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kontroversi yang terjadi baik oleh para muridnya maupun periwayat konsep 'Bersatunya Tuhan & Makhluk' ini sangat menarik untuk dikaji.
Benarkah Al Qur'an mengajarkan tentang 'bersatunya Tuhan dengan makhluk 'ataukah tidak. Sebagai konsep Tauhid, tidak bisa tidak, kita harus mendiskusikannya agar memperoleh kefahaman yang holistik alias menyeluruh. Kefahaman Tauhid yang baik akan memberikan dasar yang kuat bagi seluruh proses beragama kita.
Saya mengenal untuk pertama kalinya tentang Tauhidul wujud dari ayah saya. Waktu itu, saya masih sekolah SD, entah usia berapa. Ayah bertanya kepada saya, saat kami masih di meja makan usai makan malam: "tahu nggak kamu, Tuhan ada dimana?"
Ayah memang biasa mengajak diskusi anak-anaknya. Atau kadang sekadar bercerita agama. Tidak ada waktu khusus. Beliau bisa bercerita atau mengajak diskusi kapan saja beliau mau. Kebanyakan, beliau mengajarkan ilmu tauhid kepada kami.
Namun, diskusi di meja makan itu, agaknya telah menjadi 'provokasi' yang sangat mengesankan dalam pemahaman saya terhadap agama, yang kemudian teringat sampai kini. Provokasi itu telah menjelma menjadi inspirasi tiada henti dalam kehidupan saya.Yang kemudian, mengalir di tulisan-tulisan saya: Terus 'mencari' Allah lewat pendekatan empirik.
Waktu itu, saya menjawab pertanyaan ayah sekenanya sebagai anak kecil. Saya katakan, Tuhan ada di Surga! Ayah saya bukan membenarkan atau menyalahkan, tapi malah bertanya lagi. ‘Kalau Tuhan di Surga, apakah di luar Surga tidak ada Tuhan?"
Wah, sulit juga bagi anak kecil untuk menjawab pertanyaan itu! Secara spontan saya menjawab pertanyaan tersebut dengan mencari jawaban lain. Saya katakan, 'kalau begitu, Tuhan pasti ada di langit'
Bayangan saya, langit begitu besarnya. Mungkin lebih besar dari surga. Dan saya sering melihat orang-orang berdoa menengadah ke langit. Pasti inilah jawaban yang benar, pikir saya.
Tapi, lagi-lagi, ayah saya tidak membenarkan atau menyalahkan, melainkan menyodori pertanyaan berikutnya. "Kalau Tuhan berada di langit, apakah DIA tidak berada di Bumi bersama kita? Jauh sekall Tuhan dari kita?"
Saya tidak mau menyerah begitu saja, meskipun saya menangkap nuansa bahwa jawaban saya tersebut dianggap ayah tidak tepat. Maka, saya lantas 'menebak' sekali lagi. "Kalau gitu, Tuhan bersama kita semua" sahut saya! Ayah saya tersenyum, tapi sambil bertanya terus: 'Kalau Tuhan bersama setiap manusia, apakah DIA itu banyak? Bukankah DIA cuma SATU?" Sampai di sini, buntulah akal saya. Menyerah. “Jadi, Tuhan ada di mana?” Sergah saya setengah putus asa.
Ayah lantas mengambil gelas yang berisi air teh di meja makan. Bukan menjawab, tapi masih terus bertanya. "Kamu lihat air teh yang berwarna kecoklatan ini. Dari mana warna tersebut?" Tentu saja saya jawab: "dari daun teh yang dicelupkan ke dalam air"
Beliau lantas bertanya lagi:"apakah kamu bisa membedakan antara warna air dengan warna teh di dalam air teh ini?" Saya menggelengkan kepala. Karena, tentu saja, saya tidak bisa membedakan warna air dengan warna tehnya. Keduanya telah menyatu dalam 'air teh' yang berwarna kecoklat-coklatan.
Begitulah keberadaan Tuhan terhadap makhluk-Nya. Tuhan ibarat air putih, sedangkan makhluk ibarat daun teh yang dicelupkan. Keduanya kini menjadi satu. Warna teh sudah larut ke dalam air putih, menjadi air teh yang berwarna kecoklat-coklatan."
Saya manggut-manggut. Meskipun, sebenarnya tidak cukup mengerti dengan perumpamaan tersebut. Saya hanya menangkap kesan, bahwa ayah saya sedang ingin mengajarkan: Tuhan itu bersatu dengan makhlukNya tanpa dapat dipisahkan, bagaikan warna air putih dengan warna teh, yang telah menyatu ke dalam segelas air teh...
Ketidakpahaman saya itu terus memprovokasi pikiran saya sampai dewasa. Dan baru menemukan bentuknya setelah saya cukup dewasa dalam berpikir, bertahun-tahun kemudian. Apalagi setelah saya membaca beberapa diskusi tentang konsep wihdatul wujud dan Tauhidul wujud yang diturunkan dari Al Hallaj dan Siti Jenar. Ketiganya memiliki kemiripan dalam mempersepsi kebersatuan antara Tuhan dengan makhlukNya.
Konsep ini memang tidak mudah untuk dipahami. bahkan boleh dikata cukup rumit. Karena itu, tidak semua orang bisa memahami dengan tepat. Apalagi jika tidak pas dalam membuat perumpamaannya. Maka, saya lantas bisa mengerti kenapa banyak murid kedua tokoh itu, atau periwayat sejarah dan ajaran mereka, cenderung 'meleset' dalam memahami kebersatuannya dengan Allah.
Saya pun baru menyadarinya belum lama ini. Setelah lebih banyak melakukan eksplorasi ayat-ayat tauhid dari dalam Al Qur’an.
Kesalahan yang paling mendasar dari kefahaman tauhidul wujud selama ini, agaknya terletak pada ‘menyamakan derajat’ antara makhluk dengan Allah. Barangkali, ini dikarenakan sulitnya menjelaskan konsep manunggaling kawula lan gusti itu. Tidak ada perumpamaan yang bisa menjelaskan dengan persis, konsep tersebut.
Ayah saya mengatakan, semakin paham kita tentang konsep tauhid, sebenarnya kita semakin tidak mampu untuk menjelaskan secara tepat. Bahasa manusia sudah tidak mencukupi lagi untuk menceritakan Eksistensi Allah.
Namun, tidak bisa tidak, kita harus menceritakan sebagai pembelajaran. Agar kita memperoleh kepahaman. Disinilah problem utamanya.
Ketika ayah saya mengambil air teh sebagai perumpamaan bersatunya makhluk dengan Allah, saya akui saya terjebak pada kesan bahwa Allah dan makhluk memiliki derajat yang sama. Ya, bagaikan warna air yang telah menyatu dengan warna teh.
Saya terjebak pada kesan bahwa air memiliki volume yang sama persis dengan volume teh yang telah larut di dalam air. Yaitu, sama-sama 1 gelas! Keterjebakan ini dialami juga oleh para murid Siti Jenar atau bahkan mungkin oleh Siti Jenar sendiri ketika mengatakan ‘dirinya adalah Allah’, karena sudah bersatu denganNya. Padahal, bukan begitu maksud perumpamaan di atas. Ada juga yang mengumpamakan api dan kayu bakar, sama-sama terbakar.
Sebenarnya, ayah saya ingin menegaskan bahwa warna teh telah larut ke dalam warna air. Atau dengan kata lain, eksistensi makhluk telah larut ke dalam eksistensi Allah, Tapi, tetap saja, warna teh bukanlah warna air, yang telah melarutkannya. Atau, to the point, makhluk bukanlah Allah. Dan Allah bukanlah makhluk!
Dan yang kedua, dengan perumpamaan itu, beliau ingin mengatakan bahwa warna teh yang telah larut ke dalam warna air itu tidak bisa lagi dibedakan dari warna airnya. Kedua-duanya telah bersatu padu...
Setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa perumpamaan itu memang memiliki beberapa kelemahan dalam mewadahi konsep Tauhidul wujud. Karena bisa mengundang persepsi yang keliru. Bukan karena kesengajaan. Tetapi, sekadar karena kekurang tepatan dalam mengambil perumpamaan.
Disinilah saya merasa perlu untuk melengkapi beberapa bagian yang saya anggap kurang pas. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, saya melakukan berbagai eksplorasi terhadap konsep tauhid ini, dan ternyata saya tidak beranjak jauh dari apa yang diajarkan ayah saya sejak kecil.
Bahwa makhluk memang tak mungkin berada di luar Allah. Tidak bisa tidak, makhluk mesti berasal dari Allah. Berada di dalam Nya & Bersatu denganNya.
Tapi, barangkali sedikit berbeda dalam menguraikan masalah dan mengambil perumpamaannya. Karena, saya lebih banyak menjelaskan dari sudut pandang ilmu-ilmu empirik yang bertumpu pada rasio dan logika yang memang menjadi bahasa komunikasi masyarakat modern.
Tentu saja, dengan satu harapan: jangan sampai pembaca menganggap dirinya sederajat dengan Allah, karena sudah merasa bersatu denganNya. Apalagi, lantas meninggalkan syariat ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw!
Semoga bermanfaat. Selamat berdiskusi...
0 comments:
Post a Comment