Bagian ini adalah suatu tahapan dimana kita mencoba menguji cara berpikir kita, benarkah Allah adalah Dzat yang layak kita jadikan Tuhan.
Maka, cara yang paling tegas adalah dengan 'menghadapkan' Allah kepada eksistensi lain yang dianggap sebagai Tuhan. Benarkah tuhan lain itu TUHAN. Atau sekadar TUHAN-TUHANAN. Sebaliknya, benarkah Allah yang memperkenalkan DIRI sebagai Tuhan itu adalah TUHAN, yang pantas kita jadikan Tuhan.
Jika ada dua 'Tuhan' berhadap-hadapan untuk 'dipertandingkan' maka akan ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi. Yang pertama, salah satunya akan kalah, dan yang lainnya menang. Yang kedua, sama-sama kuat. Yang ketiga sama-sama kalah.
Kemungkinan kedua dan ketiga, bisa kita sebut sebagai hasil seri alias draw. Ini berarti, mereka berdua tidak ada yang bisa saling mengalahkan. Dan karena itu, menunjukkan 'kelemahan' sebagai Tuhan. TUHAN yang sesungguhnya mestilah memiliki kekuatan dan kekuasaan yang tidak ada batasnya. Sehingga, tidak ada sesuatu pun yang bisa menandingiNya.
Jadi, kemungkinannya tinggal satu saja, yaitu kemungkinan pertama. Bahwa salah satu tuhan itu pasti kalah dan yang lainnya menang. Yang menang pastilah Lebih Berkuasa dan Lebih Perkasa. Sedangkan yang kalah, pastilah dia bukan Tuhan yang sesungguhnya, alias sekadar TUHAN-TUHANAN.
Begitulah cara Allah menggiring pemikiran dan logika kita dalam mencari Allah. DIA berfirman dalam Al Qur’an, dalam jumlah yang cukup banyak untuk membimbing kita menemukan Tuhan yang sesungguhnya.
Langkah pertama, kita disuruh untuk berpikir dan bermain logika: Benarkah di alam semesta ini cuma ada satu Tuhan. Apa nggak mungkin lebih dari satu? Apa ya jadinya kalau di alam semesta ini ada Tuhan lebih dari satu.
Pastilah mereka akan 'bertengkar'. Masing-masing tidak mau berada di bawah yang lain. Masing-masing pasti ingin menjadi yang ter'Maha'. Maka tidak ada jalan lain, mereka akan bersaing dan kemudian saling mengalahkan.
Kecuali, kalau kita menganggap bahwa Tuhan bukanlah Dzat Paling Sempurna. Dzat lemah yang butuh pertolongan satu sama lain??! Ayat berikut ini menantang kita untuk bermain logika.
QS. Al Anbilyaa (21) : 22
Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.
QS. Al Mukminuun (23) : 91
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta Nya, kalau ada tuhan beserta Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,
QS. Al Israa (17) : 42
Katakanlah: "Jikalau ada tuhan-tuhan di Samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy".
Dengan sempurnanya Allah memancing kita untuk berlogika, bahwa tidak bisa tidak, yang namanya Tuhan itu ya hanya satu saja. Masa iya, Tuhan ada ada beberapa?!! Kalau ada beberapa, maka tidak bisa tidak, tuhan-tuhan itu akan memberikan pengakuan kepada Tuhan yang paling kuat. Yang menguasai dan menciptakan seluruh alam semesta. Itulah Tuhan yang memiliki Arsy 'kerajaan' yang mengontrol berlangsungnya seluruh peristiwa yang ada di seluruh penjuru alam.
Jadi, kenapa kita mesti bertuhan kepada tuhan-tuhan yang lemah itu. Kenapa tidak kepada yang Paling Kuat saja?! Begitulah mestinya kita berpikir dan mengambil keputusan dalam bertuhan.
Sehingga, Allah menggambarkan, suatu ketika nanti, orang-orang itu akan menyesal karena telah bertuhan secara keliru. Yang bukan Tuhan dianggapnya Tuhan. Atau, setidak-tidaknya menyamakan yang bukan Tuhan seperti Tuhan.
QS. Asy Syu'araa' (26) : 97-98
Demi Allah; sungguh kita dahulu dalam kesesatan yang nyata. Karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam".
Dan selanjutnya, Allah membangun logika kembali dengan pertanyaan: menurut kita, sebenarnya lebih baik mana, bertuhan kepada Allah ataukah kepada yang selain Allah. Sebuah pertanyaan yang sangat eksplisit.
QS. An Naml (27 ): 59
Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?"
Tentu, kita menjadi ragu-ragu karenanya. Dan kemudian berusaha menimbang-nimbang : iya, baik mana ya bertuhan kepada Allah ataukah kepada selain Dia?! Belum sempat kita beranjak jauh, Allah sudah 'memberondong' kita dengan ayat-ayat berikutnya. Agar kita mantap mengambil keputusan lewat logika yang jelas dan gamblang. Bukan sekadar ikut-ikutan.
Dengan frontal, Allah langsung membandingkan Dirinya dengan 'kekuasaan lain' yang dipersaingkan denganNya itu. 'Coba pikirkan siapa yang lebih layak disebut Tuhan' kira-kira begitulah Allah menantang kita untuk berlogika.
QS. An Naml (27) : 60
Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran)
Logika pertama, kita 'ditabrakkan' kepada proses penciptaan alam semesta. Coba pikirkan siapa yang menciptakan alam semesta yang demikian raksasa, dengan bertriliun-triliun benda langit dalam keseimbangan sempurna itu. Apakah ada kekuasaan selain Allah yang bisa menciptakannya?!
Para pakar Astrofisika kini merasa ngeri dengan kenyataan makrokosmos tersebut. Karena tidak bisa tidak, alam semesta ini telah diciptakan oleh 'Suatu Kecerdasan yang Tidak Terbatas' dalam skala besarnya maupun ketelitiannya. Itulah Allah, Tuhan yang sesungguhnya.
Logika kedua, kita 'ditabrakkan' pada kenyataan sirkulasi air di bumi yang telah memegang peranan kunci dalam kehidupan kita. Tidak kurang dari 400 miliar ton air per tahun disirkulasi dengan ketelitian yang menakjubkan, agar terjadi kehidupan di muka bumi. Dalam berbagai ayat yang lain, Allah menggambarkan betapa DIA telah mengatur sirkulasi air dengan kadar yang terukur. Hal ini telah saya bahas pada diskusi-diskusi sebelumnya.
Dengan air itu Allah menumbuhkan berbagai tanaman dan pepohonan, sehingga menjadikan bumi ini subur dan indah. Perhatikan kalimat berikutnya dalam ayat tersebut: ".. yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohon itu.
Maka, Allah lantas 'menyergap' logika kita dengan kalimat berikutnya: "Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?" Kalau kita berpendapat iya, maka kata Allah, kita termasuk orang-orang yang tidak bisa berpikir dengan baik dan lurus. Kita telah berpikir menyimpang.
Berikutnya, Allah memancing lagi dengan logika bersambung. Siapakah yang menjadikan bumi sebagai tempat berdiam? Ya, pernahkah kita berpikir kenapa kehidupan manusia hanya ada di muka bumi. kenapa tidak di planet lain, semisal Mars, Yupiter atau planet-planet di tatasurya dan galaksi lain.
Sampai detik ini para pakar Astronomi belum bisa menemukan adanya kehidupan di planet lain, selain bumi. Mereka juga tidak faham, kenapa kehidupan mesti muncul di bumi saja? Siapakah yang menyengaja ini?!!
Tiba-tiba muncul kengerian atas adanya 'Kekuasaan dan Kehendak tak Terbatas'. Yang tidak bisa dihalangi oleh apa pun dan oleh siapa pun yang dengan kehendakNya itu, DIA memilih Bumi sebagai tempat berdiam manusia dan segala fasilitas yang menyertainya, (QS. 7: 25, QS. 2: 29). Termasuk sungai, gunung, dan lautan.
QS. An Naml (27) : 61
Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.
Dan kembali, lewat ayat di atas, Allah mempertanyakan: apakah ada Tuhan lain selain Allah yang mampu menciptakan dengan kesempurnaan seperti itu. Jika kita masih juga tidak mampu mengambil kesimpulan yang baik, sungguh patut disayangkan. Sebab, ternyata kita tidak bisa berpikir jernih. Sebagaimana kebanyakan mereka, yang tidak mengetahui.
Allah terus memprovokasi logika kita dengan mengambil contoh-contoh dalam kehidupan kita. Betapa seringnya kita mengalami problematika kehidupan. Dan kemudian Allah mengambilnya sebagai contoh kasus untuk berlogika terhadap keberadaan Dzat yang Maha Penolong.
Siapakah yang menolong kita waktu kita menghadapi berbagai masalah? Menghindarkan kita dari kesusahan yang menghimpit? Bahkan kemudian memberikan jalan kekuasaan kepada orang-orang yang berjuang memperolehnya? Itulah Tuhan yang sebenarnya, tempat kita meminta pertolongan di kala membutuhkannya. Meskipun kebanyakan manusia tidak ingat dan tidak bersyukur atas pertolongan Tuhannya.
QS. An Naml (27) : 62
Atau siapakah yanq memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).
Dan seterusnya, Allah memberondong kita dengan pertanyaan-pertanyaan retorika yang memaksa kita harus memainkan logika lebih baik, agar kita bisa memiliki kesadaran tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan yang sebenarnya. Bukan yang sekadar Tuhan-Tuhanan.
QS. An Naml (27) : 63
Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)
QS. An Naml (27) : 64
Atau siapakah yang menciptakan, kemudian mengulanginya, dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".
QS. An Naml (27) : 65
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah" dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan,
QS. An Nami (27) : 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai, malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta dari padanya.
Dalam ayat-ayat berikutnya itu, bahkan Allah langsung menantang orang-orang yang masih belum bisa berpikir jernih. Kata Allah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
Dan akhirnya, Allah menegaskan kepada kita bahwa orang yang demikian itu sebenarnya adalah orang yang tidak mau mengembangkan wacana berpikir secara terbuka. Atau, bisa jadi karena pengetahuan mereka memang tidak sampai. Mereka ragu-ragu. Sehingga Dampaknya, 'membutakan' mata hati mereka sendiri. Naudzu billahi min dzalik..
Suatu ketika saya hadir sebagai pembicara dalam acara diskusi. Di antaranya, kami berdiskusi tentang hal ghaib. Salah seorang pembahas diskusi mengatakan bahwa di dalam Al Qur’an sudah ditegaskan, kita tidak bisa memahami tentang yang ghaib. Di antaranya adalah tentang Dzat Allah. Menurutnya, Allah adalah Dzat yang Ghaib yang tidak mungkin bisa kita pahami. Harus diterima begitu saja!
Saya adalah orang yang kurang bisa menerima pendapat itu. Ada dua alasan yang menjadi dasar. Pertama, saya tidak pernah menemukan penjelasan di dalam Al Qur’an bahwa Allah adalah Dzat yang Ghaib. Pendapat tersebut, menurut saya, hanyalah kesimpulan penafsir. Bukan pernyataan Al Qur’an secara tekstual.
Dan yang kedua, Allah berulangkali justru memperkenalkan Sifat-Sifat-Nya termasuk DzatNya, lewat Al Qur’an. Sehingga, karenanya, saya justru melakukan eksplorasi terhadap eksistensi Allah itu dari dalam Al Qur’an, agar saya lebih mengenalNya.
Sungguh, saya tidak menemukan satu ayat pun yang menceritakan bahwa Allah itu ghaib. Yang ada justru sebaliknya. Bahwa Allah adalah Dzat yang Nyata. Di ayat yang lain bahkan DIA berfirman bahwa Allah adalah Dzat yang Zhahir dan Bathin. Alias, bersifat Lahiriah Dan Batiniah. 'Tampak' dan 'Tidak Tampak' sekaligus!
Anda tentu terkejut dengan kesimpulan saya ini. Apalagi kesimpulan ini bukan sekadar tafsir buta, melainkan langsung mengutip ayat Qur'an secara tekstual. Ya, ternyata Allah itu tidak ghaib, melainkan NYATA, LAHIRIAH dan BATINIAH sekaligus.
Pernyataan itu bisa kita jumpai dari ayat-ayat yang saya kutip berikut ini. Coba cermati kata-kata yang ditebalkan dalam terjemahannya. Juga perhatikan kata-kata dalam teks aslinya,
‘al Mubiin’
Kata alMubiin itu banyak digunakan dalam ayat-ayat yang lain dengan makna yang sama, yaitu ‘nyata’ dan 'menjelaskan'.
QS. An Nur (24) : 25
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah Al Haq (Yang Maha Benar), lagi Al Mubiin (Yang Maha Nyata dan Maha Menjelaskan).
QS. An Naml (27) : 16
Dan sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata (fadhlu al mubiin)".
QS. An Naml (27) : 75
Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (kitaabin mubiin).
QS. An Naml (27) : 79
Sebab itu bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata ('ala al haqqi al mubiin).
QS. Al Qashash (28) : 2
Ini adalah ayat-ayat Kitab yang nyata (al kitaabi al mubiin).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menggunakan kata al mubiin dengan makna 'nyata'. Ayat-ayat di atas sengaja saya kutipkan untuk menegaskan makna bahwa Allah yang al mubiin adalah Dzat yang Maha Nyata. Pembahasan lebih jauh akan kita diskusikan di bagian berikutnya, dalam diskusi ini.
Selain Maha Nyata, Allah juga bersifat Zhahir dan Bathin. Kata Zhahir seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata 'lahir' (Lahiriah, fisikal). Sedangkan kata Bathin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan 'batin' (batiniah, sesuatu yang tersembunyi).
Maka, ketika Allah memproklamirkan DiriNya sebagai Dzat yang al zhaahiru wal baathinu, maka kita bisa menerjemahkannya sebagai 'lahir dan batin', alias bersifat lahiriah dan batiniah sebagaimana kefahaman kita pada umumnya.
Tentu ini agak merancukan kefahaman kita selama ini, bahwa Allah adalah Dzat yang ghaib. Kita sudah terlanjur yakin bahwa Allah memang tidak bisa kita observasi dengan panca indera, sehingga kita menyimpulkan sebagai Dzat yang Ghaib. Namun, Cobalah mencermati ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Hadid (57) : 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
QS. Ar Ruum (30) : 7
Mereka hanya mengetahui yang zhahir (Zahiriah saja) dari kehidupan dunia; sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin (zhaahiratan wa baathinatan). Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petuniuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Makna zhaahir benar-benar menunjuk kepada suatu makna Yang bersifat lahiriah! Jadi, apakah kita harus memahami bahwa Allah adalah Dzat Yang bersifat lahiriah?! Tentu saja jangan mengambil kefahaman sempit dengan hanya mengambil satu ayat sebagai pijakan untuk menyimpulkan. Ayat-ayat tentang Allah jumlahnya ratusan. Kita harus mengambi kesimpulan secara holistik dari keseluruhannya.
Sebagai contoh, ketika Allah mengatakan ‘Dia Maha melihat’. bukan berarti Allah punya mata. Atau ketika Dia menyebut 'Maha Mendengar', lantas kita membayangkan Allah punya telinga. Atau, ketika Allah mengatakan memiliki Kursi, lantas kita bayangkan bahwa Allah duduk di atas Singgasana-Nya. Tentu, kita tidak bisa mengambil pemahaman secara terpotong-potong begitu. Sekali lagi pernahamannya
harus bersifat holistik menyeluruh.
Meskipun Allah 'Nyata' dan 'Zhahir’ . tidak berarti kita lantas bisa melihatNya. Tidak selalu kita bisa melihat 'sesuatu', meskipun 'sesuatu' itu nyata dan zhahir.
Sebagai contoh, seekor gajah. Apakah seekor gajah bersifat nyata? Pastilah Anda menjawab ya. pertanyaan berikutnya, apakah gajah bersifat zhahir? Jawabnya pun pasti ya. Kemudian Anda bertanya kepada saya, apakah saya bisa melihat gajah itu? jawabnya: belum tentu!! Kenapa demikian?
Kalau gajah itu disembunyikan di balik tembok, maka gajah yang nyata dan zhahir, ternyata tidak bisa terlihat oleh mata saya. Begitu pula jika gajah itu dijauhkan, sejauh-jauhnya, gajah itu pun tidak akan terlihat oleh mata saya. Demikian juga jika gajah tersebut didekatkan sedekat-dekatnya ke mata saya, maka justru saya tidak pernah bisa melihatnya.
Kenapa bisa demikian? Jawabnya: karena kemampuan indera saya sangat terbatas. Jadi, kesimpulannya, belum tentu sesuatu Yang nyata dan zhahir bisa kita observasi dengan sejelas-jelasnya, disebabkan oleh adanya keterbatasan Yang kita miliki.
Begitulah Allah. Meskipun Dia memproklamirkan DiriNya sebagai Yang Nyata dan Zhahir, tidak mesti kita bisa memahamiNya secara keseluruhan DzatNya. Bahkan, Allah mengatakan, Dzat Yang Zhahir dan Nyata itu ternyata tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata. Itu terungkap dari ayat berikut ini.
QS. Al An'am (6) : 103
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui
Kita juga sudah mengetahui, bahwa nabi Musa pernah pingsan karena ingin melihat Allah. DzatNya terlalu dahsyat untuk bisa dilihat dengan mata. Jadi, masalahnya bukanlah Dzat itu yang tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi mata kita yang tidak mampu melihatNya.
Justru, karena 'sangat nyata' dan 'sangat zhahir' itulah, maka Dzat Allah menjadi di luar kemampuan inderawi manusia. Lebih jauh akan kita bahas pada bagian selanjutnya...
0 comments:
Post a Comment