Pertanyaan berikutnya yang masih terkait dengan diskusi kita di atas, adalah tentang Dzat Allah. Bagian ini merupakan bagian yang cukup rumit, sehingga kebanyakan kita tidak berani memikirkanNya. Alasannya sama, yaitu: takut syirik. Tetapi sekali lagi, pemahaman yang kurang tepat terhadap hal inilah yang justru akan membawa kita pada kemusryikan.
Kita memang tidak mungkin bisa 'menangkap' atau 'memotret' Dzat Allah itu secara menyeluruh, karena kita berada di dalam Allah. Sebagai perbandingan bayangkan kita sedang berada di dalam sebuah gedung yang sangat besar, dimana kita tidak punya peluang untuk keluar dari gedung itu. Lantas, kita ingin memotret gedung itu secara utuh. Bisa dipastikan, kita tidak akan mampu memotretnya secara utuh. Paling-paling yang bisa kita lakukan adalah memotret sisi sisi tertentu saja. Itu pun dari dalam gedung.
Kurang lebih sama dengan upaya kita dalam memahami Dzat Allah. Sudah bisa dipastikan bahwa kita tidak akan bisa memahamiNya secara utuh, disebabkan oleh keterbatasan kita. Tetapi, kita tetap harus melakukan 'pemotretan' tersebut agar pemahaman kita bisa optimal. Jika tidak, yang terjadi adalah semakin kerdilnya pemahaman kita terhadap Allah. Dan yang paling menyedihkan, justru kita terjebak kepada kecenderungan ‘merendahkan’ ketinggian Dzat Allah.
Lantas, apa dan bagaimanakah Dzat Allah itu? Pertanyaan ini memberikan kesan kepada kita, bahwa seakan-akan Allah itu harus berada dalam frame pemikiran kita dan berujud yang bisa kita observasi menggunakan panca indera manusia.
Pertanyaan 'Apa dan Bagaimana' mengarahkan kita kepada salah satu jawaban yang ada dalam inventarisasi pemikiran kita. Baik mengenai mekanismenya, maupun materialnya. Misalnya, bulan, bintang, matahari, orang, dan lain sebagainya dengan berbagai mekanismenya. Hal ini persis seperti yang dipertanyakan oleh nabi Ibrahim ketika masih muda.
Barangkali, kita terlalu berharap bahwa Allah adalah 'sesuatu' yang berada dalam jangkauan pemikiran dan inderawi kita. Padahal, sesuatu yang bisa tertangkap oleh indera dan pemikiran kita adalah sesuatu yang terbatas. Dan kalau 'Dia' terbatas maka 'Dia' tidak layak lagi disebut sebagai Tuhan, Sang Penguasa Alam. Semesta.
Saya kira kita sepakat bahwa Tuhan adalah 'Sesuatu' yang 8esarNya tidak ada yang mengalahkan. TinggiNya tidak ada yang melampaui. Dan, KekuasaanNya tidak ada yang membatasi.
Dengan demikian keberadaanNya adalah mutlak. Tidak ada yang bisa mengukurNya. Karena memang tidak ada satu pun 'alat ukur' yang bersifat material, energial, maupun psikis yang bisa dibandingkan denganNya. Jadi Dia melampaui 'apa dan bagaimana' yang pernah kita bayangkan, dalam. seluruh pengalaman kehidupan kita. Begitulah Dia berfirman.
QS Syuura (42) : 11
“(Dia) Pencipta langit dan bumi Dza menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Jadi jawaban atas pertanyaan 'Apa' Dzat Allah itu, adalah FirmanNya sendiri, seperti tersebut di atas bahwa Dia adalah Sesuatu yang “tidak pernah terlintas dalam benak kita . . .”
Sebagai ilustrasi, saya ingin menjelaskan dengan cara yang agak berbeda. Saya kira kita sepakat bahwa Allah adalah Dzat yang paling awal dan paling akhir, seperti Dia firmankan berikut ini.
QS Al Hadiid (57) : 3
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Karena Dia adalah Dzat yang paling awal, maka bisa dikatakan bahwa sebelum ada segala Sesuatu (alam semesta dan segala isinya.) yang ada hanyalah Dia. Bahkan ketika itu Surga, Neraka dan Malaikat pun belum ada.
Sahingga, ketika Dia menciptakan alam semesta (termasuk ruang dan waktu), logikanya tidak ada dzat lain selain Dzat Allah. Dengan kata lain, Allah menciptakan alam semesta ini dari Dzat Nya sendiri. Kenapa demikian? ya karena pada waktu itu tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siapa. Tidak ada peluang atau alternatif lain yang menunjuk kepada adanya dzat lain, selain Dia.
Jikalau Allah menciptakan alam semesta ini dari dzat lain, selain diriNya, maka berarti eksistensi Allah tidaklah Paling Awal. Ada dzat lain yang ada bersamaan dengan Dzat Allah. Juga, berarti tidak Paling Besar. Jadi, sekali lagi, tidak ada penafsiran lain, kecuali bahwa alam semesta ini diciptakan dari DiriNya sendiri. Dengan kata lain, ruang itu sebenarnya adalah bagian dari eksistensi Allah. Waktu, juga bagian dari eksistensi Allah. Matahari, bulan, bintang, meteor, dan seluruh benda benda langit, juga adalah bagian dari eksistensi Allah. Seluruh makhluk hidup, mulai dari Malaikat, Jin, Manusia, Binatang dan tumbuhan, juga bagian dari eksistensi Allah.
Demikian pula seluruh material yang tampak, maupun energi yang abstrak, adalah bagian dari eksistensiNya. Bahkan seluruh isi pikiran kita, maupun segala sesuatu yang berada di luar jangkauan pemikiran kita, adalah bagian dari Dzat Allah itu sendiri. Pokoknya, segala yang kita ketahui dan segala yang tidak kita ketahui, atau bahkan segala sesuatu yang di luar dugaan kita, semua itu adalah bagian dari eksistensi Allah ... Berbagai ayat dalam Al Quran juga menggambarkan betapa Allah merangkum seluruh sifat yang kontradiktif dalam ruang dan waktu, di alam semesta ini. Dikatakan di ayat tersebut, bahwa secara bersamaan Allah berada diawal, tetapi juga di akhir. Demikian pula berkaitan dengan ruang, Allah mengatakan bahwa Dia sekaligus 'kelihatan' dan 'tidak kelihatan'. Dia sekaligus Maha Besar, tetapi juga Maha Halus. Dia Maha Jauh sekaligus Maha Dekat.
Kesimpulannya, sungguh Dzat Allah adalah Dzat yang demikian dahsyatnya. Sehingga pikiran dan indera kita tidak mampu untuk menggambarkanNya. yang bisa kita lakukan adalah sekadar memperoleh 'persepsi' dan 'kesan' tentang Kedahsyatan Allah itu, melalui 'tanda-tanda'Nya. Dan hal inilah yang Dia anjurkan kepada kita agar kita lebih mengenal keberadaanNya ...
0 comments:
Post a Comment