Hari ini aku membaca di koran JawaPos tentang fakta bahwa JK Rowling, sang pengarang fenomenal yang mengarang cerita fiksi tentang dunia sihir, terutama tentang seorang anak yatim piatu yang bisa sihir bernama Harry Potter. Pada era Presiden George W. Bush, ia pernah masuk nominasi penerima penghargaan kepresidenan AS, yakni Medali Pembebasan Presiden, sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dirasa memberikan kontribusi pada kepentingan nasional AS, perdamaian dunia atau penjaga kebudayaan. Akhirnya anggota pemerintahan Bush mencoret JK Rowling dari daftar penerima penghargaan.
Tentu bukan kapasitasku untuk mengatakan apakah JK Rowling layak atau tidak mendapat penghargaan itu, namun aku lebih menyoroti alasan penolakan itu, yakni karena Rowling dianggap telah mempromosikan sihir. Di lain sisi, setelah buku Harry Potter yang ke 7 terbit, Rowling pernah membenarkan bahwa karakter Prof. Dumbledore dalam cerita itu adalah seorang gay. Maka ia pun lalu dikritik karena dianggap menyusupkan indoktrinasi liberal pada anak-anak.
Memang, semua hal di dunia ini selalu menimbulkan pro dan kontra. Aku sendiri menganggap Harry Potter justru membawa nilai-nilai yang baik untuk anak-anak, seperti mengasihi sesama meski berbeda dari diri sendiri. Contoh dalam kisah itu, Hermione yang memperjuangkan hak-hak peri rumah (sama dengan pembantu rumah tangga dalam hidup nyata). Selain itu juga kesetia-kawanan dan keberanian berkorban untuk orang lain (contoh: ketika Harry rela memberikan dirinya pada musuhnya: Voldemort, untuk menyelamatkan teman-teman dan gurunya di sekolah sihir Hogwarts). Dan nilai terbesar yang menurutku telah berhasil diusung oleh Rowling adalah ‘cinta kasih yang mengalahkan kejahatan’.
Dari semula Prof Dumbledore meyakini bahwa untuk menghadapi penyihir paling jahat dan paling ‘hitam’, yang memiliki kekebalan hingga 7 nyawa, bukan senjata ampuh atau sihir tingkat tinggi yang bisa mengalahkannya, melainkan ‘cinta’. Di sini Rowling hendak menekankan bahwa tak ada kejahatan di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan cinta. Karena Tuhan adalah cinta dan kebaikan, sedang si jahat adalah semua hal yang bertentangan dengan cinta (keserakahan, kebencian, kekejaman, keegoisan, dll), maka bisa diartikan secara simbolis bahwa Rowling mau mengajarkan kepada anak-anak untuk menjadi baik. Karena pada akhirnya kebaikan itu akan menang melawan kejahatan.
Tapi bagaimana dengan tema yang diusung Rowling itu, yaitu sihir? Bukankah sihir itu sama dengan dunia hitam? Menurutku dunia sihir itu hanyalah cara agar anak-anak dapat mengembangkan khayalan mereka, sama saja dengan semua kisah anak-anak yang ada yang selalu ada sisi buruknya. Seharusnya, tugas orang tualah untuk membimbing si anak untuk belajar tentang kehidupan, bahwa kisah itu hanyalah ada di cerita, bukan kehidupan nyata. Bahwa dalam hidup ini tak ada yang bisa menyihir sesuatu dari tak ada menjadi ada hanya dengan satu mantra, sama seperti dalam hidup nyata tak ada perkawinan di mana kedua insan ‘live happily ever after’ alias hidup bahagia selama-lamanya!
Mengenai kritik bahwa Dumbledore itu gay sebenarnya mengada-ada menurutku. Karena di ceritanya sendiri tak pernah ada sedikitpun tanda-tanda orientasi seksual yang menyimpang pada tokoh manapun. Yang ada di kisah itu hanya kebaikan vs kejahatan. Lalu bagaimana kisah itu bisa mengindoktrinasi anak untuk menjadi gay? Bukankah yang lebih berbahaya adalah ketika si anak sudah masuk dalam lingkup pergaulan sosial?
Akhirnya, kupikir memang semua hal di dunia ini selalu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Dalam pendidikan anak, tentu saja kita perlu menekankan sisi positif itu untuk diambil hikmahnya, sambil menjelaskan pula akibat dari sisi negatif itu bila dilakukan. Pendidikan iman dan moral adalah tanggung jawab utama orang tua, sedang dongeng, cerita, dan buku hanyalah sarana pendukungnya saja. Kalau kita bisa menyelipkan sebuah pelajaran lewat sesuatu yang menarik dan digandrungi anak-anak, tentunya si anak akan selalu ingat pelajaran itu kan?
Bagaimana menurut anda?
Ditulis oleh: Fanda
Tentu bukan kapasitasku untuk mengatakan apakah JK Rowling layak atau tidak mendapat penghargaan itu, namun aku lebih menyoroti alasan penolakan itu, yakni karena Rowling dianggap telah mempromosikan sihir. Di lain sisi, setelah buku Harry Potter yang ke 7 terbit, Rowling pernah membenarkan bahwa karakter Prof. Dumbledore dalam cerita itu adalah seorang gay. Maka ia pun lalu dikritik karena dianggap menyusupkan indoktrinasi liberal pada anak-anak.
Memang, semua hal di dunia ini selalu menimbulkan pro dan kontra. Aku sendiri menganggap Harry Potter justru membawa nilai-nilai yang baik untuk anak-anak, seperti mengasihi sesama meski berbeda dari diri sendiri. Contoh dalam kisah itu, Hermione yang memperjuangkan hak-hak peri rumah (sama dengan pembantu rumah tangga dalam hidup nyata). Selain itu juga kesetia-kawanan dan keberanian berkorban untuk orang lain (contoh: ketika Harry rela memberikan dirinya pada musuhnya: Voldemort, untuk menyelamatkan teman-teman dan gurunya di sekolah sihir Hogwarts). Dan nilai terbesar yang menurutku telah berhasil diusung oleh Rowling adalah ‘cinta kasih yang mengalahkan kejahatan’.
Dari semula Prof Dumbledore meyakini bahwa untuk menghadapi penyihir paling jahat dan paling ‘hitam’, yang memiliki kekebalan hingga 7 nyawa, bukan senjata ampuh atau sihir tingkat tinggi yang bisa mengalahkannya, melainkan ‘cinta’. Di sini Rowling hendak menekankan bahwa tak ada kejahatan di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan cinta. Karena Tuhan adalah cinta dan kebaikan, sedang si jahat adalah semua hal yang bertentangan dengan cinta (keserakahan, kebencian, kekejaman, keegoisan, dll), maka bisa diartikan secara simbolis bahwa Rowling mau mengajarkan kepada anak-anak untuk menjadi baik. Karena pada akhirnya kebaikan itu akan menang melawan kejahatan.
Tapi bagaimana dengan tema yang diusung Rowling itu, yaitu sihir? Bukankah sihir itu sama dengan dunia hitam? Menurutku dunia sihir itu hanyalah cara agar anak-anak dapat mengembangkan khayalan mereka, sama saja dengan semua kisah anak-anak yang ada yang selalu ada sisi buruknya. Seharusnya, tugas orang tualah untuk membimbing si anak untuk belajar tentang kehidupan, bahwa kisah itu hanyalah ada di cerita, bukan kehidupan nyata. Bahwa dalam hidup ini tak ada yang bisa menyihir sesuatu dari tak ada menjadi ada hanya dengan satu mantra, sama seperti dalam hidup nyata tak ada perkawinan di mana kedua insan ‘live happily ever after’ alias hidup bahagia selama-lamanya!
Mengenai kritik bahwa Dumbledore itu gay sebenarnya mengada-ada menurutku. Karena di ceritanya sendiri tak pernah ada sedikitpun tanda-tanda orientasi seksual yang menyimpang pada tokoh manapun. Yang ada di kisah itu hanya kebaikan vs kejahatan. Lalu bagaimana kisah itu bisa mengindoktrinasi anak untuk menjadi gay? Bukankah yang lebih berbahaya adalah ketika si anak sudah masuk dalam lingkup pergaulan sosial?
Akhirnya, kupikir memang semua hal di dunia ini selalu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Dalam pendidikan anak, tentu saja kita perlu menekankan sisi positif itu untuk diambil hikmahnya, sambil menjelaskan pula akibat dari sisi negatif itu bila dilakukan. Pendidikan iman dan moral adalah tanggung jawab utama orang tua, sedang dongeng, cerita, dan buku hanyalah sarana pendukungnya saja. Kalau kita bisa menyelipkan sebuah pelajaran lewat sesuatu yang menarik dan digandrungi anak-anak, tentunya si anak akan selalu ingat pelajaran itu kan?
Bagaimana menurut anda?
Ditulis oleh: Fanda
0 comments:
Post a Comment