Prakata : Menari bersama Awan karya Rosaanakmami ini sudah menarik perhatian juri sejak didaftarkan di Lomba Menulis Cerpen yang diadakan oleh Sang Cerpenis dan vixxio. Judulnya keren, temanya pun oke.
MENARI BERSAMA AWAN
OLEH: ROSAANAKMAMI
OLEH: ROSAANAKMAMI
Suasana ramai sekali ketika aku masuk ke ruangan. Bli Kadek hendak membantu mendorong kursi rodaku, tapi aku meyakinkannya bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Para peserta talkshow sepertinya sudah tak sabar karena saat aku masuk mereka semua langsung menatapku. Ruangan yang tadi ramai tiba-tiba senyap, tatapan-tatapan penuh rasa ingin tahu segera menyergapku.
Aku duduk tepat di tengah-tengah meja panjang dengan tumpukan novel terbaruku, menghadap pada semua mata yang memandang tak sabar ingin acara segera dimulai. Tanpa menunggu lebih lama MC membuka acara. Dan tak terasa sampailah pada sesi tanya-jawab. Mereka sangat antusias bertanya tentang novel terbaruku sesekali diselipi pertanyaan tentang kehidupan pribadiku. Semua berjalan lancar sampai ketika seorang peserta bertanya sesuatu yang sudah tertinggal jauh.
“Apakah menjadi novelis adalah cita-cita Mbak Saras sejak kecil? Atau ada cita-cita lain yang masih ingin mbak raih? Terima kasih untuk kesempatannya.” tanyanya dengan sopan.
Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Tiba-tiba aku terlempar ke dalam pusaran waktu duapuluh tahun lalu. Rasanya aku bisa melihat gadis kecil berumur lima tahun sedang dipangku aji tersayangnya, menonton sebuah pertunjukan tari. Ketika itu matahari hampir tenggelam sempurna manakala Sita sedang belenggak-lenggok dengan anggunnya bersama Rama yang dikelilingi pemuda-pemuda penari kecak, menyihir gadis kecil tadi. Sejak itu si gadis kecil bercita-cita ingin menjadi seorang penari yang lemah gemulai, menari dengan indah berlatar matahari tenggelam.
Aku tersadar dari lamunanku setelah Bli Kadek menyentuh lenganku dengan lembut. Melalui tatapan matanya dia mengatakan agar aku tak perlu menjawab pertanyaan itu. Tapi aku harus bisa menjawabnya agar aku bisa bebas dari segala perasaan buruk yang mungkin masih tertinggal.
“Hmmm… Sebenernya saya bercita-cita jadi penari. Seorang penari Bali yang menarikan tarian-tarian dengan gemulai dan anggun. Tapi ternyata yang bisa menari sekarang hanya jari-jari saya ya, menari di atas keyboard. Menulis cerpen atau novel.”
Aku kaget sendiri manakala aku menyadari bahwa aku bisa menjawab pertanyaan itu bahkan sambil tersenyum senang. Ya Tuhan aku bahagia bisa ada di sini sekarang, terima kasih Tuhan.
Lagi-lagi aku terbawa ke dalam pusaran waktu, kali ini pusaran waktu lima tahun lalu, aku baru saja berulang tahun yang keduapuluh. Senja itu aku sedang berkeliling ke meja-meja, bertanya pada tamu-tamu yang sedang menikmati makan malam. Aji punya sebuah restoran seafood di Jimbaran. Karena bahasa Inggrisku lancar maka aji memintaku untuk mengobrol sedikit dengan para tamu menanyakan bagaimana rasa masakannya atau sekedar menjelaskan menu makanan khas dan terbukti cara aji berhasil karena restoran kami terus berkembang dan terkenal keramahannya.
Aku ingat benar, hari itu 1 Oktober 2005, senja yang merubah hidupku, membuatku mengurung diri selama lima bulan yang menyedihkan, mengasihani diri sendiri, memaki siapa saja yang mendekatiku. Sudah hampir setengah delapan malam saat aku mengobrol dengan Mr. Michael dan istrinya yang kebetulan adalah pelanggan setia kami, mereka tak pernah absen mampir ke restoran aji kalau sedang berlibur. Mr. Michael tertawa senang seraya memuji karena cumi bakarnya enak sekali tepat sebelum ledakan pertama terdengar. Kami semua kaget dengan ledakan yang seketika membuat pandangan jadi kabur, asap dimana-mana.
Dan ketika aku baru menyadari telah terjadi ledakan, ledakan kedua terdengar yang lebih dahsyat dari ledakan pertama. Aku merasakan sakit amat sangat di kedua kakiku sebelum akhirnya jatuh pingsan
Aku tak tahu sudah berapa lama aku pingsan sampai akhirnya terbangun pagi itu. Aku melihat meme di sebelahku, memegangi tanganku dengan lembut. Aku mencoba tersenyum tapi rasanya sakit sekali. Aku bertanya pada meme apa yang terjadi, tapi meme hanya tersenyum sambil menahan bendungan bening di matanya. Aku mencoba bergerak tapi sepertinya tubuhku dipaku ke tempat tidur jadinya aku menyerah dan diam saja.
Hari-hari berlalu, aku masih belum bisa bangun atau sekedar menyangga tubuhku agar bisa duduk tegak di tempat tidur. Tadinya aku tak menyadarinya sampai Bagus, adik laki-lakiku, tidak sengaja bicara tentang tanggal hari itu. Tiba-tiba saja sebentuk kesadaran mendatangiku, bangkit dari pikiranku yang belakangan sering kosong. Seharusnya November itu aku berangkat ke Jakarta untuk menari di Festival Kebudayaan Indonesia.
Seharusnya sekarang ini aku sedang berlatih untuk memastikan bahwa tarianku sudah pas untuk kemudian ku pertunjukkan dalam festival itu. Seharusnya aku bukan ada di ruangan ini. Demi menyadari itu aku memaksakan diriku untuk bangkit dari tempat tidur. Namun yang terjadi adalah aku jatuh berdebam di lantai kamar yang dingin. Aku jatuh berdebam begitu keras, namun yang membuatku amat kaget adalah aku tak melihat kedua kakiku. Aku hanya terdiam melihat kakiku yang hanya tinggal sebatas dengkul. Aku terdiam dan merasa semua hanya mimpi. Ni Putu Saraswati kini menjadi seorang gadis buntung.
Aku melihat meme tapi meme hanya diam. Aku berpaling pada aji yang juga diam. Bagus dan Ayu pun tak bersuara. Beberapa detik sampai akhirnya aku menjerit-jerit histeris, menyadari keadaanku. Kata aji kakiku terpaksa harus diamputasi karena mengalami luka berat akibat ledakan itu. Aku menangis sampai tertidur, juga karena pengaruh obat bius yang disuntikkan saat aku mengamuk.
Setelah hari itu aku berubah menjadi amat pendiam, aku mengurung diri di kamar. Menolak siapa saja yang mencoba menghiburku. Cita-citaku hancur sudah, harapanku hilang. Aku tak bisa lagi menarikan peran Sita setiap senja dalam pertunjukan tari kecak di Uluwatu atau menari dimana pun. Aku tak bisa lagi berlatih tari di sanggar setiap pulang kuliah. Aku tak pernah lagi kuliah meski orangtuaku meyakinkan bahwa aku tetap bisa berkuliah dengan diantar-jemput Bli Made, sopir keluarga kami. Aku tak pernah lagi berbincang dengan tamu-tamu yang datang ke restoran yang biasanya kulakukan di kala senggang.
Aku bahkan menolak untuk ikut sembahyang bersama keluargaku, tak ada lagi upacara-upacara yang ku ikuti. Tuhan sudah mengambil kakiku, maka untuk apa aku memuji-Nya lagi. Hidupku menjadi amat menyedihkan, hanya berisi tangisan, jeritan dan bentakan. Aku menjadi gadis pemurung. Aku marah pada Tuhan, pada teroris yang membuatku seperti ini, pada aji, pada meme, pada semua orang. Mengapa aku yang harus mengalami ini semua.
Lima bulan kulalui dengan buruk meski keluargaku tak juga menyerah menyemangatiku untuk bangkit. Dan hari itu adalah otonanku, hari kelahiranku berdasarkan tanggalan Bali yang dirayakan setiap 210 hari. Meme memandikanku lalu memakaikanku kebaya dan kain juga membelitkan kamben. Aku hanya diam menurut tanpa ekspresi, padahal biasanya aku selalu bahagia tiap kali otonan. Setelah siap, aji mengangkatku agar bisa duduk di lantai, menghadap tempat tidurku yang dilapisi sukla dengan banten tersusun rapi di atasnya. Aku hanya diam selama upacara berlangsung sampai akhirnya giliranku yang harus sembahyang namun sebenarnya aku tak mengucapkan apa-apa bahkan dalam hatipun tidak. Setelahnya tirta suci dicipratkan kepadaku, kening dan leherku ditempeli bija, aku menelan sebutir bija lainnya lalu tanganku diolesi base. Terakhir aku dipakaikan benang putih yang dijalin halus. Otonanku sudah selesai, aku bernapas lega karena bisa kembali sendirian di kamarku.
Ketika itulah, saat aku melihat jalinan benang putih yang dipakaikan di tanganku, tiba-tiba saja penerimaan itu datang. Aku memang sudah tak mempunyai kaki, sudah tak bisa melakukan banyak hal yang dulu bisa ku lakukan. Tapi Tuhan begitu baik, Tuhan memang mengambil kakiku, tapi kedua tanganku masih utuh, mataku masih bisa melihat, telingaku masih mampu mendengar, begitupun dengan organ tubuhku yang lainnya masih bekerja dengan baik. Tuhan begitu baik sudah memberiku hidup. Yang bisa ku lakukan untuk membalas semua kebaikan-Nya adalah dengan hidup yang berguna, melakukan banyak kebaikan, dan kembali memuji-Nya seperti dahulu.
Aku mengambil kertas dari laciku, mulai menulis apa yang ku rasakan juga tentang hal-hal yang telah terjadi. Aku menulis sampai lelah dan tiba-tiba saja sudah berlembar-lembar kertas penuh dengan tulisanku. Ayu masuk saat aku masih asik menulis, aku tersenyum padanya, menyuruhnya masuk. Itulah senyum pertamaku setelah lima bulan terakhir.
Sejak hari itu aku mulai keluar dari kamar, beradaptasi dengan kursi rodaku. Aku mulai berdamai dengan keadaanku, tertawa bersama adik-adikku, mengobrol bersama meme, kadang juga berdebat dengan aji. Aku kembali mejalani hari-hariku dengan normal sambil terus menulis, dan aku mulai menulis dengan laptop kesayanganku. Tahun ajaran berikutnya aku kembali berkuliah. Teman-temanku juga amat baik, mereka sering membantuku manakala aku kesulitan dengan kursi rodaku. Hari-hariku berubah menjadi menyenangkan dan ceria.
Seperti belum cukup kebahagiaan yang ku temukan kembali, aku mendapat tawaran untuk membukukan cerpen-cerpenku. Salah seorang teman Ayu yang kebetulan bekerja di sebuah penerbitan buku memberikan tawaran yang bahkan tak pernah aku impikan. Awalnya Ayu diam-diam membawa cerpenku untuk ditunjukkan padanya, dan ternyata menurutnya cerpen-cerpenku bagus sehingga dia meminta Ayu untuk mengenalkannya padaku. Akhirnya cerpen-cerpenku dibukukan, cerpen-cerpen yang tadinya hanya ku tulis untuk sekedar terapi bagi hatiku.
Bli Kadek menggenggam tanganku, menyadarkanku dari perjalanan pusaran waktu yang rasanya sudah lama sekali berlalu. Semuanya sudah tertinggal jauh di belakang. Aku berhasil menyelesaikan sarjanaku. Aku menikmati hidupku yang bahagia dan kesibukanku sekarang adalah menulis. Bahkan sekarang aku sedang menghadiri talkshow peluncuran novel terbaruku. MC mempersilahkan satu pertanyaan lagi sebelum acara diakhiri.
“Siang Mbak Saras, menurut gossip katanya mbak mau menikah bulan depan? Kalau boleh tahu siapa pangeran yang beruntung itu?” tanya seorang peserta. Pipiku seketika menjadi panas. Bli Kadek malah tenang sekali, mempererat genggamannya, mengangguk tersenyum padaku.
“Iya, saya akan menikah bulan depan dengan pangeran tampan yang ada di sebelah saya ini..” Aku membalas senyuman Bli Kadek, pangeranku yang meskipun tak bisa membawaku dengan kuda putihnya tapi dia bersedia menggendongku dengan kedua tangannya.
Acarapun selesai. Aku amat bahagia seperti baru saja berhasil membawakan satu tarian indah. Kalau aku tak bisa menari dengan kedua kakiku, maka aku akan menari dengan jari-jariku, menulis banyak kisah, membiarkan hatiku menari dengan bebas.
0 comments:
Post a Comment