Thursday, September 9, 2010

SURAT UNTUK MERRY (karya Sakurai Ayumi)

Prakata : Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang memenangi Lomba Menulis Cerpen yang diadakan blog Sang Cerpenis dan Vixxio. Tema yang unik dan ketegangan yang diciptakan dalam cerpen ini membuatnya layak menjadi Pemenang. Ayumi sepertinya punya potensi untuk menulis cerita bergenre thriller.

SURAT UNTUK MERRY (karya Sakurai Ayumi)

”Jika senja datang, aku pasti akan merangkak ketakutan, seolah rembulan akan menggerogoti hidupku selapis demi selapis. Aku takut jika mentari menghilang. Takut tubuhku bukan jadi milikku lagi. Ketika kegelapan menguasai, aku tahu, aku akan kehilangan arah. Tolong aku, Merry! Aku tak pernah menginginkan lahir sebagai orang buta!”

Saya tersentak ketika melihat sepucuk surat yang terselip di antara sebuah catatan yang saya temukan di gudang. Tulisannya tak karuan, hanya saja saya familiar dengan tulisan ini. Saya membolak-balik halaman yang lain, penuh tulisan yang sifatnya pribadi. Saya rasa buku ini buku harian orang rumah ini, mungkin buku harian kakak sepupu saya, mungkin juga adik sepupu saya.

Hari Minggu yang cerah tak membuat saya harus bersemangat. Pekerjaan rumah tangga yang kian menumpuk membuat saya melupakan betapa cerahnya hari ini hanya untuk sekedar merilekskan otak sejenak, terbebas dari perkuliahan. Ohya, perkenalkan, nama saya Indira. Saya hanya seorang anak perempuan yang menumpang tinggal di rumah saudara sepupu saya. Sudah dari kecil saya terpisah dari orang tua karena alasan pekerjaan. Saya sudah terbiasa.

Seperti Hari Minggu lainnya, pekerjaan ke-pembantu-an saya sudah menumpuk dan hari ini saya akan berkutat dengan kumpulan buku penuh debu, merapikan mereka lalu menyusunnya. Saya heran mengapa orang-orang di sini membeli banyak buku hanya untuk disimpan di gudang begitu saja, hingga saya harus berada di sini, menemukan sebuah catatan harian seorang tanpa nama, dengan sepucuk surat misterius di dalamnya.

Saya dengan segera merapikan buku-buku yang tersisa. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Sudah waktunya makan pagi di Hari Minggu, tapi bukan hal itu yang membuat saya tergesa-gesa. Saya ingin segera melanjutkan membaca catatan yang saya temukan tadi. Saya tak langsung membaca dari awal halaman, melainkan dari halaman saat surat itu terselip.

Tanggal 19 Mei 1996
Oh Merry, aku sangat membencinya. Saat siang, saat aku bisa melihat segalanya, dia selalu megawasi gerakanku. Seolah aku akan membocorkan tentang aib yang dia lakukan, seolah dia menginginkan mataku juga saat siang. Aku sudah buta saat malam hari, apakah dia ingin aku buta saat siang?


Saya membalik halaman berikutnya. Belum mendapat petunjuk mengena siapa pemilik buku ini dan alur ceritanya. Memangnya keluarga kami ada yang rabun senja? Mungkinkah ini buku milik paman saya atau bibi saya?

Tanggal 20 Mei 1996
Dia selalu menakutiku, Merry. Aku selalu dibuatnya menangis. Tapi saat orang lain tak ada yang pedulikan aku, kau selalu ada untukku. Kau selalu mendengarkan curhat dan tangisanku, meskipun kau hanya bisa melakukannya saat malam. Saat aku tak bisa melihat dunia dengan jelas.


Kubalik halamannya kembali. Kosong. Kubalik lagi hingga beberapa halaman, masih kosong. Aku mulai membaca buku itu dari awal. Tulisannya rapi dan indah. Berbeda sekali dengan tulisan sebelumnya.

Tanggal 10 November 1995
Aku terpikat pada lelaki yang duduk di hadapanku. Dia tampan, senyumanya cukup membuat kakiku lunglai. Ohya, namanya Mahesa. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dia tak tampan, hanya manis, dia tak tinggi, tapi senyumannya cukup membuatku salah tingkah. Tapi,haruskah aku jatuh cinta pada kakakku sendiri? Tidak, ini hanya rasa kagum biasa!


Tanggal 15 November 1995
Aku tak sanggup menahan diriku untuk tidak salah tingkah di hadapannya. Tapi apa? Dia terus menggodaku. Membuatku merasa panas setiap dia berusaha menempelkan bibirnya ke pipiku, atau merasa panas setiap melihat dia bermesraan dengan kekasihnya. Haruskah dia bermesraan di hadapanku? Kenapa kami baru dipertemukan? Jika saja kami dipertemukan sejak awal, cinta ini tak mungkin ada.



Tanggal 30 Desember 1995
Kenapa kami baru dipertemukan? Jika saja kami dipertemukan sejak awal, cinta ini tak mungkin ada. Aku ingin segera mengakhiri semuanya. Kak Mahesa tak akan pernah menganggapk sebagai kekasihnya. Aku hanya anak buangan yang tak diterima siapapun.


Saya membalik halaman berikutnya, namun halamannya sobek. Membuatku kecewa. Padahal kisah dalam catatan kecil ini luar biasa menarik. Baiklah, aku mencoba menganalisa pemilik buku ini. Yang pasti buku ini ada hubungannya dengan anak tertua di rumah ini, Kak Mahesa.

Pertama, perlu saya ceritakan bahwa di rumah ini ada enam orang penghuni dan delapan anjing. Sebenarnya rumah ini tidak besar, hanya saja kami memangkas lahan yang seharusnya dijadikan perkebunan, sehingga bisa dikatakan rumah kami gersang.

Orang-orang tersebut terdiri dari paman saya, namanya Oom Agung beserta istrinya, Tante Mira. Kemudia anak-anak mereka, si kembar Adelia dan Amelia yang seumuran denganku dan kakak mereka yang otomatis jadi kakakku. Namanya Mahesa, genap enam orang dengan saya sebagai penghuni terakhir.

Dari semua kemungkinan, Adelia yang paling mungkin memilikinya. Dia adalah kembar sulung yang tak pernah punya pacar. Dia selalu manja dengan Kak Mahesa, ya, semenjak kehadiran lelaki itu ke rumah kami. Perbedaan usia kami dengannya terpaut 11 tahun dengan Kak Mahesa dan dia sudah tinggal merantau saat dia berusia 12 tahun sehingga kami bayangan tentang dirinya minim sekali.

”Indira, kamu disuruh makan ama Ibu,” suara sesorang mengejutkanku dari depan pintu kamar. Aha! Bingo! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Suspect’s captured. Barusan adalah suara milik Adelia.

Buru-buru saya melenyapkan buku catatan tadi agar tak terlihat olehnya. Adelia nampak ragu melangkahkan kakinya. Ia sepertinya enggan mendekat dan memasang wajah curiga seolah tahu saya menemukan harta karunnya.

“Ya, saya nyusul sebentar lagi,” jawab saya seraya bangkit dari tempat tidur menuju ke ruang makan.

Seusai makan, saya kembali membolak-balik halaman buku itu. Dan saya menemukan kalimat janggal di halaman teakhir dan membuat saya bergidik.

”Tanggal 31 Desember adalah hari pembalasan saya, saya akan buat dia menyesal telah membuat saya menderita.”

Astaga! Ada apa dengan tanggal 31 Desember? Yang saya takutkan bukan keaslian maksud si penulis, tapi cap jempolnya, yang dibuat dengan darah! Tiba-tiba saya mual dan menutup catatan itu. Saya baru mulai ketakutan, jangan-jangan dari tadi saya membaca buku kutukan. Dan setelah dipikir-pikir sekarang juga tanggal 31 Desember. Bulu kuduk saya bergidik. Saya sembunyikan buku itu di dalam meja belajar saya. Kepala saya pusing, ingin rasanya merebahkan kepala sejenak.
***
”Malam kembali datang. Sepi seperti biasanya. Gelap seperti biasanya. Aku tak akan termakan temaram lagi, semuanya akan baik-baik saja. Semua akan berjalan dengan lancar! Aku sudah punya peneranganku sendiri. Biar sekelam apa hatiku dikata orang, aku tak peduli.

Kini dia sudah jadi milikku, wajahnya yang memuakkan tersapu siluetku yang terkena cahaya lilin. Dia ertidur dengan mimpi indahnya. Tak apa. Kubiarkan dia menikmati mimpinya semenit lagi, toh pisau ditanganku masih bisa menunggu. Tapi aku terlalu lama menatapnya, sehingga ia tersadar dan berteriak. Aku tak sadar pisau di tanganku sudah berpindah dan menancap di dadanya”

***

Mimpi! Ternyata saya hanya bermimpi. Saya bermimpi menjadi sesosok wanita terkejam sedunia. Keringat membanjiri tubuh saya dan saya terbangun dengan nafas tersengal, seolah usai berlari beratus-ratus kilo jauhnya. Saya tersenyum, terbahak ternyata segalanya hanya mimpi belaka. Saya pasti terlalu menghayati catatan aneh yang saya temukan tadi.

”Nona, apakah Anda sudah siuman?” seorang laki-laki paruh baya bertanya ke rahku.
”Siapa Anda?” tanya saya balik.

”Saya Giri Griadhi! Psikiater,” jawabnya dengan tatapan datar.
Kepala saya pusing. Apa saya masih bermimpi?

”Apakah Anda mengenali lingkungan sekitar Anda?”

Saya melihat sekitar, dan yang terlihat terlihat hanya warna putih.

''Apa Anda dapat mengenali lingkungan Anda?" orang yang menggunakan jas putih itu kini mendesak saya. Saya akhirnya mengangguk.

''Lalu apa Anda mengenal orang-orang ini?'' lelaki itu menunjuk paman saya, bibi saya dan Amelia satu per satu. Saya mengangguk mantap. Lalu dia menunjuk Adelia, tangannya dibalut perban.

''Kau kenapa Del?'' tanyaku. Adelia melemparkan tampang kecut, seolah menampis pandanganku. Aku bingung.

''Baiklah Nona, bisa anda ceritakan apa yang Anda lakukan semalam?''
Aku terdiam sebentar.

''Saya tidur.''

''Jam brapa Anda tertidur?''

''Saya tak ingat karena saya tiba-tiba merasa pusing, memangnya ada apa?''

''Apa Anda tahu orang ini?'' dia tidak mempedulikan saya.

Saya mengangguk mantap. Dia kak Mahesa.

''Apa Anda tahu dia meninggal?''

''Apa?'' Saya bingung.

''Jadi anda benar-benar tidak tahu apa-apa?''
Saya terdiam.

''Lalu apa anda bisa menjelaskan ini?'' psikiater itu menunjukkan sebuah pisau. Itu pisau yang ada dalam mimpi saya yang tadi. Keringat dingin mengucur mengaliri pelipis saya.
Hening.

”Menurut keterangan Saudari Adelia, semalam Anda tertangkap basah telah melakukan pembunuhan terhadap kakak laki-lakinya. Saudari Adelia juga menemukan sobekan buku harian ini dan hendak menyerahkannya ke pihak yang berwajib,” kata laki-laki itu seraya menyodorkan sebuah buku catatan.

Tanggal 31 Desember 1995
Kenapa selalu aku yang menjadi korban? Kak Mahesa dengan keji telah melecehkanku dan mengancam akan menyiksaku. Tak kusangka dia sekejam dan setega itu. Kali ini pun aku tak bisa lagi menulis, Merry! Kau harus kusembunyikan di dalam gudang yang jauh di sana. Sampai jumpa Merry.


Tiba-tiba saya merasa hati saya mencelos, jiwa saya diseret keluar tubuh.

***
”Indira, apa kau baik-baik saja?''
''Kalian siapa? Aku bukan Indira! Aku Merry!''

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila