Monday, October 4, 2010

God - bukan Good - Corporate Governance

Apa yang sebetulnya relevan untuk kita pelajari dari barat saat ini ? Tak lain tradisi keilmuan dan kekuatan eksplorasinya. Tak lebih dari itu. Dan itu artinya bukan di hard knowledge, melainkan di soft capabilities, yaitu tentang ‘bagaimana’. Bukan tentang ‘apa’.

Jika sekedar belajar tentang ‘apa’, maka tengoklah di bidang ekonomi, berapa banyak ilmuwan dan ekonom berderet gelar panjang dan pendek ada disana. Lalu dengan itu pulalah negara-negara itu silih berganti jatuh karena krisis. Kita tak bisa mengadopsi itu disini. Model dan ‘teladan’ segala praktek bisnis dan ekonomi itu telah jatuh berkali-kali.
Segala macam aturan dan prosedur tentang tata kelola perusahaan juga lahir dan dikaji disana. Segala macam ‘case study’ tentang bisnis dan kepemimpinan (leadership) terkompilasi dengan rapih, lalu disebarluaskan ke berbagai penjuru kampus-kampus di seluruh dunia, disertai metode bagaimana cara menangani jika bertemu persoalan serupa, ditambah pula check list dan berbagai tools manajemen yang hebat-hebat. Tapi seluruhnya mandul. Para GURU bisnis itu lunglai di tengah tumpukan buku literature yang mereka susun, tak percaya bahwa banyak praktek bisnis di barat terjerembab hanya oleh satu hal namun mendasar : MORAL !

Pelanggaran moral yang bernama kebohongan yang telah menghancurkan Enron, WorldCom dan Global Crossing. Amoral berwujud ketamakan pula yang telah mengahancurkan Washington Mutual, Fannie Mae & Freddie Mac, Lehman Brothers dan AIG belum lama berselang.

Dan, agar tak ketinggalan, negeri ini mengirimkan orang-orang cerdasnya ke universitas-universitas ternama di barat, dan mereka pulang membawa masterplan pembangunan, strategi bisnis, cara meng-audit proses agar kualitas produk jadi handal, norma ketelitian-kepatutan-etika dalam berbisnis, lalu apakah semua membawa hasil bagi perbaikan ekonomi negeri ini ? Tidak. Karena disinipun masalahnya sama : MORAL !
Apa lagi yang tersisa ?

Sekarang, ketika semua telah demikian rumit keadaannya, kerinduan-kerinduan terhadap praktek yang bermoral dan berwarna spiritual makin ramai terdengar. Muncul banyak keluhan dari barat sendiri tentang parahnya etika para ekonom dan pelaku usaha. Di London, gereja lebih banyak dikunjungi orang, khususnya para pekerja sector keuangan. Mereka mulai mengevaluasi nilai etika dari apa yang mereka kerjakan.

Kini banyak buku pula yang bertemakan ajakan kembali ke praktik bisnis yang seharusnya, yang tidak menjadikan penguasaan, kapitalisme sebagai dasar, melainkan ‘morality’ dan ‘good values’, serta social responsibility. 

Tak ketinggalan, Paus Benedictus XVI pun ‘mengintervensi’ ekonomi barat yang sedang tersesat dan tak ‘nyambung’ antara sector riil dengan sector financial-nya, dan menganjurkan agar “praktisi keuangan harus menemukan kembali dasar etis atas setiap kegiatan keuangannya dan agar mereka tidak menggunakan lagi instrument keuangan yang dapat merugikan banyak pihak.”

Sementara di sisi lain, kita tahu, Islam mengajarkan spiritualitas aktivitas bisnis mulai dari akarnya : tentang niat yang lurus dan baik. Lalu berlanjut tentang kesatuan perkataan dan perbuatan. Tentang janji yang harus ditepati. Tentang kerja keras dan produktivitas. Tentang kesungguhan dalam menjalankan amanah profesi. Tentang kepemimpinan dan kepatuhan. Tentang outstanding services dan best value for customer. Tentang mendengar dengan hati dan menjaga hubungan / silaturahim dalam kerangka kemitraan. Islam dari awal menegaskan kaidah dan tata kelola organisasi berbasis ketuhanan, bukan sekedar Good Corporate Governance melainkan God Corporate Governance. 

Pada generasi terbaik ummat ini, berbagai ilmu yang didapatkan ketika peradaban Islam bersentuhan dengan peradaban lain dilahap dengan cepat oleh para ilmuwan Islam lalu dicelupkan ke dalam celupan Ilahiah. Sejak kelahirannya, Islam tidak pernah gentar menghadapi dua peradaban yang telah ada terlebih dahulu, yaitu Romawi dan Persia. Dan secara keilmuan kemudian terbukti, para cendekiawan muslim mampu menyerap berbagai khazanah keilmuan asing, melalui proses adopsi dan adaptasi, yang sebenarnya merupakan proses Islamisasi ilmu. Peradaban Islam berkembang dengan gemilang dan bertahan selama ratusan tahun dengan proses semacam itu.

Dan Islam punya solusi lengkap untuk kesejahteraan bumi ini, selain dengan bekal yang diwarisi dari Quran dan Sunnah, dari generasi awal, juga dengan berbagai kajian dan pengembangan melalui proses seperti diatas : adaptasi dan adopsi. Sebuah proses Islamisasi ilmu, atau ilmu yang disandarkan pada wahyu.

Termasuk di dalamnya adalah Islamisasi ekonomi. Perbankan syariah, meskipun tertatih karena berada dalam kungkungan regulasi yang belum Islami, telah mengambil peranan makin penting dalam perbankan secara keseluruhan, yang syar’i sekaligus menawarkan benefit tinggi.

Demikian juga dengan penyimpan kekayaan dan alat transaksi berupa Dinar emas dan Dirham perak. Alat tukar yang pada awalnya diadopsi dari Romawi (Dinarium) dan Persia (Dirham) kemudian distandarisasi pada masa Khalifah Umar ibn Khattab ini adalah contoh nyata Islamisasi ilmu dari peradaban non-Islam. Sekarang, meski harus menghadapi berbagai tantangan, gerakan kembali ke Dinar dan Dirham juga makin semarak. Sebagaimana fitrah solusi Islami, Dinar dan Dirham, karena syar’i dan benefit tinggi, makin digandrungi.

Dan ketika tugas dan peran mensejahterakan dunia itu, sekarang atau nanti, sampai di pundak setiap muslim yang tangguh, maka insha Allah itu akan menghasilkan sesuatu yang baik dan diridloi Allah. Sebagaimana ucapan As-syahid Sayyid Quthb yang mengatakan “Kita sudah lama 
mengatakan kepada manusia : mereka yang dididik Islam lebih lurus jalannya, lebih kuat tekadnya, lebih mampu memikul tanggung jawab, lebih serius dalam mengambil dan melaksanakan sesuatu. Sebab mereka punya hati nurani sebagai penjaga, punya agama (Islam) sebagai sandaran dan punya Al-Quran sebagai petunjuk jalan.”
Wallahua’lam.


YM : endy.kurniawan@yahoo.com
PIN BBM : 20D76446
Twitter : @endykurniawan

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila