Ajal, hanya sang pecintalah yang tahu. Begitu juga dengan ajal Mbah Marijan, kuncen (juru kunci) Gunung Merapi yang berakhir pilu. Gunung yang baru saja mengamuk, memorakporandakan desa-desa yang bertengger di kakinya dengan apa yang diistilahkan dengan ''wedus gembel'', tidak hanya menghancurkan desa, tapi juga menggulung nyawa puluhan orang, term...asuk Mbah Marijan, yang selama ini cukup didengar orang kalau bicara tentang Gunung Merapi.
Sampai Selasa malam, keberadaan mbah satu ini masih misterius. Ketika regu penolong datang dengan maksud mengevakuasi orang-orang yang masih tinggal di kaki gunung itu, yang ditemukan adalah tragedi. Manusia dan binatang bergelimpangan tak bernyawa di sekitar rumah Mbah Marijan. Lalu memasuki rumah yang sudah porak poranda itu, bebrapa orang tak bernyawa juga ditemukan, termasuk seorang wartawan yang dikenali dari kartu identitasnya. Mbah Marijan? Masih misterius. Sekitar pukul 05,00 WIB, Rabu (27/10), akhirnya satu jenazah yang tengah sujud dkenali dan dipastikan sebagai Mbah Marijan.
Membicarakan Mbah Marijan takkan pernah lepas ketika kita bicara tragedi gunung Merapi. Tahun 2006, ketika gunung ini mengamuk dan memuntahkan wedus gembelnya, mbah satu inilah yang menjadi titik perhatian. Sama seperti kejadian kemarin, juru kunci Gunung Merapi itu tidak mau dibujuk turun dari desanya, mengungsi seperti yang lain. Dan, dia selamat. on Para Pecinta Orang Tua
Kali ini, takdir bicara lain. Kesetiaan Mbah Marijan kepada sang gunung harus diakhiri oleh amarah si gunung itu sendiri. Dia seperti sudah mengetahui peristiwa akhir. Beberapa hari sebelumnya, si mbah mengunjungi anak-anaknya, salah satunya di Bekasi. Lalu dia kembali untuk menuju titik akhir.
Mbah Marijan dan Gunung Merapi seperti sebuah kesetiaan yang luar biasa. Dia seperti bisa berbicara dengan sang gunung. Dan kesetiaan itu dia buktikan dengan mengantarkan nyawanya di pelukan sang gunung, bersama puluhan lainnya. Banyak yang menyayangkan, karena peringatan sudah dikumandangkan. Secara terukur situasi bahaya sudah di depan mata. Tapi secara tradisi mungkin Mbah Marijan punya teori dan pemikiran sendiri. Itu barangkali sebabnya dia tidak mau turun, dan akhirnya beberapa orang (termasuk wartawan) yang mencoba naik membujuk si mbah untuk turun mengungsi, akhirnya tepanggang dan meregang nyawa.
Gunung Merapi bukan satu-satunya duka kita, duka bangsa, duka negeri. Sebelumnya bencana demi bencana seperti bertubi-tubi mendera negeri ini. Yang paling dekat, bencana Wasior, Papua, lalu Mentawai yang disapu tsunami dan menyikat ratusan nyawa, Jakarta yang direndam banjir, longsor di mana-mana.
Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga sang pencipta sepeti memberi cobaan yang begitu berat?
Mari kita renungkan sesaat. Hutan-hutan yang digunduli, got-got yang mampet, bangunan-bangunan tinggi yang makin padat, inikah penyebab? Kalau iya, haruskah kita menutup mata menutup telinga seterusnya? Bukan hanya pemerintah, tapi juga dari kita sendiri. Upaya pencegahan harus digiatkan.
Jangan kita biarkan airmata ibu pertiwi bercucuran sepanjang masa. Sang Kula Dompu
0 comments:
Post a Comment