Oleh Benny Susetyo
MENARIK apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, bangsa ini kerap melupakan sejarah. Bung Karno mengatakan agar bangsa ini jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah).
Pengingkaran pada sejarah membuat bangsa sering jatuh pada kesalahan demi kesalahan. Berbagai kebijakan yang tidak memperhatikan sejarah membuat proses transisi demokrasi menjadi mandek. Kesalahan sejarah dimulai sejak saat kepentingan politik dominan dari pada kepentingan bangsa. Itu membawa luka sejarah.
KETIDAKPUASAN terhadap realitas sejarah itu kerap diungkap dalam bentuk pelepasan diri sebagai bentuk pengingkaran cita-cita berbangsa. Itu yang sering dikatakan kekuasaan, yang merasa memiliki hak untuk menentukan sejarah. Padahal, mereka merasa tidak memperoleh apa yang menjadi haknya sebagai warga negara. Konflik-konflik yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan manifestasi dari perasaan tidak puas dari sebuah kebijakan negara. Sebuah kebijakan yang dirumuskan dalam pola-pola VOC dan kolonialisme Nippon. Pola-pola ini dilestarikan dalam sebuah kultur, dan kian mengental di era Orde Baru.
Kultur Orba berakar dari kebohongan publik, yakni berangkat dari kebohongan pada sejarah 1965. Hal itu sampai sekarang menjadi polemik cukup panjang. Sejarah kerap dimanipulasi oleh kepentingan kekuasaan. Sejarah yang termanipulasi membawa konsekuensi luka di hati masyarakat. Sebab, ketidakobyektifan sejarah merupakan akar semua masalah yang kita hadapi.
Kebiasaan melupakan sejarah terjadi di mana-mana. Dari Amerika Serikat, kita bisa mencontoh bagaimana Bush mengulangi sejarah kesalahan yang dilakukan oleh terdahulunya saat invasi ke Vietnam dilakukan. Bush mengulangnya di Irak dan Afghanistan. Dengan dalil memerangi terorisme, Bush menggunakan kekuasaannya pada kedua negara itu.
Kita bisa melihat, sejarah kembali terulang di sana. Rakyat AS sadar yang dilakukan Bush penuh kebohongan publik. Ia membuat seolah-olah peristiwa 11 September menjadi momen baginya untuk memenuhi ambisi politiknya. Ia telah menjadikan AS sebagai satu-satunya polisi dunia. Ambisi semacam itu justru bertentangan dengan sejarah manusia. Realitas dunia tidak memungkinkan adanya satu polisi dunia.
Kebiasaan melupakan sejarah terjadi di mana-mana. Dari Amerika Serikat, kita bisa mencontoh bagaimana Bush mengulangi sejarah kesalahan yang dilakukan oleh terdahulunya saat invasi ke Vietnam dilakukan. Bush mengulangnya di Irak dan Afghanistan. Dengan dalil memerangi terorisme, Bush menggunakan kekuasaannya pada kedua negara itu.
Kita bisa melihat, sejarah kembali terulang di sana. Rakyat AS sadar yang dilakukan Bush penuh kebohongan publik. Ia membuat seolah-olah peristiwa 11 September menjadi momen baginya untuk memenuhi ambisi politiknya. Ia telah menjadikan AS sebagai satu-satunya polisi dunia. Ambisi semacam itu justru bertentangan dengan sejarah manusia. Realitas dunia tidak memungkinkan adanya satu polisi dunia.
Di Indonesia realitas bangsa ini juga terjadi seperti itu. Penguasa menginginkan sebuah kebenaran yang ditafsirkan dengan kata tunggal. Padahal, kebenaran itu tidak tunggal, tetapi sebuah proses dialog untuk saling berkomunikasi dalam sebuah perbedaan.
Kultur sadar sejarah belum menjadi bagian proses pembelajaran bangsa. Harus disadari, berdiri Republik ini karena adanya kesadaran bersama bahwa kita berbeda. Tetapi, kita ingin bersatu karena dalam diri melekat cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab yang menjadi cara hidup bersama.
Cara itu diwujudkan dalam sebuah sistem pemerintahan republik yang mengandaikan semua warga sebangsa terlibat bersama. Di dalamnya tidak ada diskriminasi agama, ras, suku, dan golongan. Keindonesiaan itu menjadi final saat kita tidak mengenal kategori mayoritas-minoritas dalam agama, keturunan, suku, dan seterusnya. Keindonesiaan itulah yang dicita-citakan Soekarno dan Hatta sebagai bangsa yang memiliki peradaban.
BANGSA yang memiliki peradaban diukur dengan parameter sejauh mana hukum melindungi kaum kecil. Juga sejauh mana pendidikan mampu memberi pencerdasan terhadap warga bangsa. Dengan kecerdasan itu, diharapkan bangsa ini memiliki kemerdekaannya sebagai bangsa yang mandiri dan berdikari.
Realitas saat ini, sejarah sering dilupakan karena ambisi politik dan kepentingan elite-elite yang berkuasa. Dengan memutarbalikkan sejarah yang menjadi landasan nilai bersama, kultur bangsa ini menjadi kabur. Kekaburan tersebut disebabkan karena sejarah keindonesiaan itu tidak pernah digali secara lebih mendalam. Kata "Indonesia" adalah sebuah pemberian dari Hindia Belanda, yang tekanannya bagi pemerintahan kolonial adalah ingin menyatukan nusantara dalam pangkuan kolonialisme.
Jangan kemudian cara berpikir ini digunakan elite-elite kita untuk melihat "Jawa" sebagai pusatnya Indonesia dan lainnya sebagai subordinat.
Pola berpikir seperti ini merupakan cara berpikir orang-orang yang tidak mengerti sejarah. Kekuasaan yang tidak mengenal sejarah akan membawa akibat kebijakan yang ditempuh menimbulkan konflik baru. Konflik itu sebenarnya tidak akan terjadi bila penguasa memahami sejarah secara benar dan mendalam.
Pertanyaan kita, mengapa sejarah kerap dilupakan? Jawabannya, karena ketakutan dari status quo untuk tidak berkuasa lagi. Jangan-jangan, munculnya kembali tokoh Orba dalam panggung politik adalah cara untuk mengelabui sejarah.
Bagaimanapun, kebohongan sejarah pasti akan tercium.
Benny Susetyo Pr, Budayawan
Kultur sadar sejarah belum menjadi bagian proses pembelajaran bangsa. Harus disadari, berdiri Republik ini karena adanya kesadaran bersama bahwa kita berbeda. Tetapi, kita ingin bersatu karena dalam diri melekat cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab yang menjadi cara hidup bersama.
Cara itu diwujudkan dalam sebuah sistem pemerintahan republik yang mengandaikan semua warga sebangsa terlibat bersama. Di dalamnya tidak ada diskriminasi agama, ras, suku, dan golongan. Keindonesiaan itu menjadi final saat kita tidak mengenal kategori mayoritas-minoritas dalam agama, keturunan, suku, dan seterusnya. Keindonesiaan itulah yang dicita-citakan Soekarno dan Hatta sebagai bangsa yang memiliki peradaban.
BANGSA yang memiliki peradaban diukur dengan parameter sejauh mana hukum melindungi kaum kecil. Juga sejauh mana pendidikan mampu memberi pencerdasan terhadap warga bangsa. Dengan kecerdasan itu, diharapkan bangsa ini memiliki kemerdekaannya sebagai bangsa yang mandiri dan berdikari.
Realitas saat ini, sejarah sering dilupakan karena ambisi politik dan kepentingan elite-elite yang berkuasa. Dengan memutarbalikkan sejarah yang menjadi landasan nilai bersama, kultur bangsa ini menjadi kabur. Kekaburan tersebut disebabkan karena sejarah keindonesiaan itu tidak pernah digali secara lebih mendalam. Kata "Indonesia" adalah sebuah pemberian dari Hindia Belanda, yang tekanannya bagi pemerintahan kolonial adalah ingin menyatukan nusantara dalam pangkuan kolonialisme.
Jangan kemudian cara berpikir ini digunakan elite-elite kita untuk melihat "Jawa" sebagai pusatnya Indonesia dan lainnya sebagai subordinat.
Pola berpikir seperti ini merupakan cara berpikir orang-orang yang tidak mengerti sejarah. Kekuasaan yang tidak mengenal sejarah akan membawa akibat kebijakan yang ditempuh menimbulkan konflik baru. Konflik itu sebenarnya tidak akan terjadi bila penguasa memahami sejarah secara benar dan mendalam.
Pertanyaan kita, mengapa sejarah kerap dilupakan? Jawabannya, karena ketakutan dari status quo untuk tidak berkuasa lagi. Jangan-jangan, munculnya kembali tokoh Orba dalam panggung politik adalah cara untuk mengelabui sejarah.
Bagaimanapun, kebohongan sejarah pasti akan tercium.
Benny Susetyo Pr, Budayawan
0 comments:
Post a Comment