“Galih, uang mama tinggal lima puluh ribu.” Sebuah kalimat yang tiba-tiba terlontar diantara percakapan aku dengan mama. Kalimat tersebut seperti membuat sebuah hentakan yang menghujam hatiku.
Sebenarnya kalimat seperti itu bukanlah untuk kali yang pertama yang aku dengar dari mulut mama. Hanya saja aku sering merasa berdosa setiap mama berkata seperti itu. Aku merasa seperti anak yang belum bisa berbakti dengan baik. Aku sadar tanggung jawab keluarga ada di pundakku sebagai anak lelaki yang paling besar selepas kepergian Bapak. Fiuh…hanya helaan nafas sebagai responku terhadap perkataan mama sambil menundukkan kepala.
Setiap anak tentunya sangat ingin berbakti terhadap kedua orang tuanya terlebih kepada ibu. Kasih ibu kepada anaknya menjadikan jasa tanpa balas, cinta tanpa batas, yang sebenarnya tidak akan terbayarkan dengan bakti seorang anak sepanjang hayatnya. Aku pun demikian.
Jauh di lubuk hatiku keinginan untuk membuat mama bahagia di sisa usianya adalah cita-cita besarku. Membuatnya untuk selalu tersenyum adalah lukisan yang terindah bagiku. Sedih dan gundahnya adalah duri yang menancap bagiku.
Aku sangat sadar bahwa hasil kerjaku hanya pas untuk makan sehari-hari. Aku juga mengetahui bahwa saat ini mama sering menahan diri untuk membeli sesuatu yang dia sukai dan lebih baik dialokasikan untuk hal-hal yang menjadi kebutuhan di rumah. Aku tahu bahwa keriput dan warna putih di rambutnya yang kian hari kian tampak sebagai akibat beban pikiran yang mama tanggung karena memikirkan masa depan anak-anaknya.
Sering aku memperhatikan wajahnya ketika tidur. Wajah letihnya mengurus rumah dan anak-anaknya membuat aku semakin merasa menjadi anak yang kurang berbakti. Rasanya tidak adil apa yang mama terima dari anak-anaknya jika dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanannya. Sembari memperhatikan wajah mama dalam keadaan tidur aku selalu berdoa dala hati,”Ya Allah, janganlah Engkau panggil mama sebelum mama merasa puas dengan bakti yang aku berikan untuknya.”
Pernah suatu hari mama berkata,” Jika kamu dan yang lainnya menikah, nanti mama tinggal sendiri?”
Dengan mulut bergetar aku menjawab,”Mama akan menjadi tanggung jawab Galih. Mama akan tinggal sama Galih.” Hampir saja air mata ini menetes.
Kepergian bapak memang cukup meninggalkan luka di hati mama. Kekosongan dan rasa sepi kerap menyapanya. Sehingga sering aku menemukan mama duduk melamun sambil menatapi foto bapak yang terpajang di ruang tamu. Kehilangan pendamping hidup serasa hilang separuh jiwa, sepi, hampa, meski mama masih memiliki lima orang anak namun ramai itu hanya sejenak. Tidak ada lagi teman berbagi cerita, keluh-kesah, dan orang yang menjaganya.
Aku menyadari bahwa ini adalah sebuah perjuangan hidup. Bahkan lebih dari itu ini adalah medan kebaikan jika aku dapat berbakti dan memberikan kebahagiaan untuk mama. Dengannya akan mengalirkan banyak pahala yang akan membuat hidupku menjadi bermakna dan bernilai. Oleh karena itu sekuat mungkin aku menghindari sikap berputus asa dari rahmat Allah SWT. Keadaan ini bukan untuk diratapi dan disesali. Aku harus menghadapinya dengan terus-menerus memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa untuk tetap membuatku semangat berikhtiar dengan maksimal.
0 comments:
Post a Comment