Suatu hari Khalifah Al-Mansur cekcok dengan istrinya, Alhaza. Alhaza menuntut keadilan suaminya tatkala ia hendak dimadu. Untuk menyelesaikan persoalan itu, ia meminta agar diputuskan oleh Imam Abu Hanifah. Melalui fatwa sang imam, Khalifah akhirnya mengurungkan niatnya untuk memadu istrinya karena punya satu istri saja sudah tidak mampu berlaku adil.
Si istri gembira pada keputusan itu seraya menyuruh pelayannya untuk mengantarkan berbagai macam hadiah ke rumah beliau berupa uang sebesar 50 ribu dirham, setumpuk pakaian, pelayan yang cantik-cantik, dan beberapa hewan tunggangan.
Sambil menyerahkan hadiah itu, si pelayan berkata sesuai pesan majikannya, "Tuan putri menitipkan salam dan rasa terima kasih yang mendalam atas keputusan Anda yang sungguh bijak itu."
Ternyata Abu Hanifah tidak tergiur pada hadiah itu. Beliau pun balik menjawab, "Sampaikanlah salam balik dariku dan katakan kepadanya bahwa aku hanya menegakkan ajaran agamaku. Aku memutuskannya semata karena Allah.
Sambil menyerahkan hadiah itu, si pelayan berkata sesuai pesan majikannya, "Tuan putri menitipkan salam dan rasa terima kasih yang mendalam atas keputusan Anda yang sungguh bijak itu."
Ternyata Abu Hanifah tidak tergiur pada hadiah itu. Beliau pun balik menjawab, "Sampaikanlah salam balik dariku dan katakan kepadanya bahwa aku hanya menegakkan ajaran agamaku. Aku memutuskannya semata karena Allah.
Bukan karena mengharap kekayaan duniawi maupun kebaikan dari sesama makhluk. Bawalah kembali hadiah itu dan katakan padanya semoga Allah memberkati semua harta kekayaanmu!"
Betapa bijak dan luhur komitmen keilmuan Imam Abu Hanifah. Meski berjuta-juta hadiah ditawarkan karena keputusannya yang beliau anggap benar dan tanpa memanipulasi fatwa sekalipun, beliau tetap tidak tergoda untuk menerimanya.
Keilmuan memang mesti terikat komitmen moral yang selalu memihaki kebenaran kendatipun pahit untuk mengatakannya bahkan meniscayakan nyawa sebagai taruhannya. Ia tidak surut untuk mengatakan yang benar meski disogok berbagai kekayaan duniawi, juga tidak pernah gentar walau harus berhadapan dengan tiang gantungan dan cekalan penguasa.
Inilah nilai keilmuan yang memiliki amanah. Ilmu yang komit terhadap nilai-nilai moral menjauhkan kita dari lips service, retorika, atau sekadar obat penglipur lara rakyat yang semakin menderita.
Ilmu yang tergadai adalah sikap untuk menyepakati "Ya" atau "Tidak" satu pasal UU sesuai pesan sponsor. Inilah bisnis fatwa yang berakibat siksaan neraka. Adakah komitmen moral dalam nurani wakil rakyat kita saat ini? (Yusuf Burhanudin)
sumber : Republika
Betapa bijak dan luhur komitmen keilmuan Imam Abu Hanifah. Meski berjuta-juta hadiah ditawarkan karena keputusannya yang beliau anggap benar dan tanpa memanipulasi fatwa sekalipun, beliau tetap tidak tergoda untuk menerimanya.
Keilmuan memang mesti terikat komitmen moral yang selalu memihaki kebenaran kendatipun pahit untuk mengatakannya bahkan meniscayakan nyawa sebagai taruhannya. Ia tidak surut untuk mengatakan yang benar meski disogok berbagai kekayaan duniawi, juga tidak pernah gentar walau harus berhadapan dengan tiang gantungan dan cekalan penguasa.
Inilah nilai keilmuan yang memiliki amanah. Ilmu yang komit terhadap nilai-nilai moral menjauhkan kita dari lips service, retorika, atau sekadar obat penglipur lara rakyat yang semakin menderita.
Ilmu yang tergadai adalah sikap untuk menyepakati "Ya" atau "Tidak" satu pasal UU sesuai pesan sponsor. Inilah bisnis fatwa yang berakibat siksaan neraka. Adakah komitmen moral dalam nurani wakil rakyat kita saat ini? (Yusuf Burhanudin)
sumber : Republika
0 comments:
Post a Comment