Juita Manis Sendiri, bukanlah impian lelaki manapun. Tetapi bila keadaan itu sebuah pilihan, apa boleh buat? Mau tidak mau harus tetap ku jalani. Ku sikapi dengan lapang dada, karena aku sendiri belum siap untuk memulai sebuah hubungan lagi.
Mengenang indahnya Juita masa lalu sudah cukup bagiku untuk tetap bahagia dalam kesendirianku. Lepas dari sepeninggalan jantung hati ku Juwita, membuatku sempat terbelenggu pada pahitnya hidup. Meski tanpa sosok seorang Juwita di sampingku. Tapi Senyum manis itu masih memberiku ketegaran yang belum tentu orang lain mampu berikan. Candanya yang menggemaskan kadang membuat hatiku merindukan keberadaannya. Tapi aku bisa berpikir positif, inilah kenyataan hidup. Kehilangan disaat aku benar benar menyayangi . Perih memang, Tapi aku tak bisa menyalahkan siapapun, ini adalah takdir-Nya.
Juwita telah memberiku kenangan yang tak pernah mungkin ku lupa. Cinta dan kasih sayang adalah pengabdian terbesarnya untukku. Juwita selalu mengingatkanku pada Peristiwa itu. Bencana besar 26 Desember 2004 yang masih membekas hingga kini, yang memaksaku untuk kehilangan Juwita selamanya.Empat tahun bukanlah waktu yang singkat. Juwita pergi dariku. Takdir tuhan tidak ada satu orang pun yang kuasa menolaknya. Masih ku ingat pesan terakhirnya:
“Bismika Allahumma Ahya Wa Amud”, Juwita sayang abang” Namun apa yang terjadi dipagi yang tenang itu? Gempa dan Tsunami telah membuat aku kehilangan Juwita, aku berusaha mencarinya keseluruh penjuru kota tapi hasilnya nihil. Aku kehilangan dia. Seketika dunia yang semula cerah menjadi gelap. Aku kehilangan kasih sayang itu, kasih sayang yang tulus yang tak pernah kudapat dari siapapun kaum hawa yang pernah dekat denganku sampai sekarangbr
Air mataku mengalir. Mengenang hari hariku tanpa Juwita. Aku ingin melihat Juwita, Tolong pertemukan aku dengannya, aku ingin mengecupnya. Aku memohon pada Allah sambil meneteskan air mata, Tak pernah kubayangkan sebelumnya kehilangan orang yang begitu ku sayang. Aku kembali terharu manakala mama Juwita bertanya padaku, “ dimana juwita?” kuusap kepala mama dengan kelembutan, hatiku kian di dera duka mendalam melihat air mata mama yang mengalir tak henti hentinya. Kepergian Juwita empat tahun lalu, memberiku banyak pelajaran. Tetap semangat menghadapi hari esok apapun yang terjadi. Seandainya aku menemui jasadnya saat itu aku akan selalu membersihkan rumput di nisannya sambil berdoa agar Juwita mendapat tempat yang layak disisi-Nya.
Aku kembali menjalani hari hari dan aktifitasku. Ku memulai kembali kehidupan yang masih panjang dengan kesendirianku. Mentari menyapaku dengan ramah, ketika aku berjalan-jalan di sekitar perumahanku hanya untuk sekedar menikmati segarnya udara pagi “Abang, apa kamu tidak ingin pacaran lagi?” sebuah pertanyaan dina terlontar kepadaku “pacaran? Tentunya aku ingin, Na” “lalu kenapa Abang tidak pacaran lagi?” “Aku masih belum siap” “Abang, dimana letak ketidak siapanmu?” “Abang masih muda, dan terpelajar, tentunya masih banyak wanita yang tertarik” “Tidak yang seperti kamu bayangkan na”, Banyak hal yang harus aku pertimbangkan.” sahutku Pertanyaan pacaran kembali mengingatkan aku pada Juwita. Sulit rasanya aku harus mencari sosok penggantinya. Semua yang ada pada Juwita tak bisa serta merta kulupakan, meski kini dia telah tiada.
Tapi kadangkala aku merasa sedih dengan keadaan aku. Aku kehilangan dalam waktu yang sangat cepat. kebersamaanku dengan Juwita bisa dibilang singkat. Namun kesedihan yang aku alami tak seberapa dibandingkan dengan laki-laki lain. Mereka terpaksa menjalani kesendirian karena pacarnya ketahuan selingkuh, Aku masih lebih beruntung, Juwita pergi dariku dengan membawa pahala syuhada. Sehingga tidak seharusnya aku meratapi kehilangannya. Aku akan selalu mendoakanmu sayang, Aku akan selalu memberimu senyum manis dan itu hanya teruntukmu Juwita ku sayang.
0 comments:
Post a Comment