Dengan menimbang-nimbang kata-kata mutiara dari gudang kefasihannya, sang penyair mengatakan kepada kita bahwa di barat hidup seorang raja yang makmur, berkuasa, dan termasyhur, yang bernama Taimus. Ia mempunyai seorang putri bernama Zulaikha, yang lebih dicintainya daripada siapa pun di dunia, Zulaikha adalah bintang yang paling cantik pada cakrawalanya, permata yang paling gemerlap dalam kekayaannya. Menangkap kecantikannya saja dalam ucapan dan tulisan seakan mustahil, dan apalagi yang dapat saya katakan pada emas dan permatanya?
Kadang-kadang ia berbaring acuh tak acuh pada bantal-bantal lembut dari sutra Cina yang anggun yang dirajut dengan perak dan emas. Kadang ia berpakaian jubah yang disulam dengan emas Suriah, dan berjalan dengan anggunnya di teras istana. Setiap pagi ia terlihat berpakaian baru, dan tak pernah dua kali ia memakai tudung kepala yang sama. Laksana bulan dalam suatu suasana baru setiap hari. Bahkan yang terhebat di dunia ini pun tak di izinkan mencium kakinya. Adalah suatu kehormatan yang sangat khusus bagi pakaiannya, hanya pakaian malamnya yang menikmati hak istimewa memeluk tubuhnya. Semua di sekitarnya terlihat begitu indah mempesona, seindah ramping dan tegapnya pohon cemara. Wajah-wajah polos dan kekanak-kanakan menantinya siang dan malam, hanya untuk melayaninya untuk bermain bersama.
Tak pernah hatinya tertekan oleh kesedihan yang paling kecil sekalipun, tak pernah ada duri yang sampai menggores kakinya. Tak pernah ia jatuh cinta, tak pemah pula ia menjadi kekasih seseorang, ia tak peduli akan nafsu seperti itu. Di malam hari ia tidur bagai bunga bakung yang berendam di air, di pagi hari ia membuka mata bagaikan kuncup yang tertawa. Sambil bermain dengan boneka kecilnya di halaman istana, ia melewati waktunya dalam bermain dan tertawa, sedikit menebak permainan yang akan dipermainkan langit dengannya. Ia menjalani hidupnya dalam kegembiraan, dengan hati yang bebas, tak pernah ia bertanya apa yang akan di bawa hari esok dan apa yang akan dilahirkan oleh malam berikutnya.
***
Pada suatu malam yang manis, manis bagaikan fajar kehidupan yang penuh dengan kegembiraan orang muda. Dalam istana itu, kehidupan yang sibuk telah menarik kakinya ke dalam pinggiran jubahnya, dan tak ada sesuatu yang bergerak melainkan hanya bintang-bintang. Dan yang membuka matanya, malam, layaknya pencuri, yang merampok segalanya dari para pengawal. Anjing-anjing melilitkan ekor ke lehernya, seakan untuk melengkingkan setiap lolongnya.
Tidur yang nyenyak memberati kelopak mata Zulaikha. Benang-benang sutra dari rambutnya yang terurai menjejakkan gambar-gambar pada pipinya yang merah. Mata yang melihat bentuk-bentuk benda tertutup dalam tidur, tetapi mata yang lain, mata hati, terbuka lebar, dan dengannya ia tiba-tiba melihat seorang pemuda atau tepatnya sebuah roh murni, suatu bayangan bersinar dan dunia cahaya, yang membuat gerhana para bidadari di taman keabadian.
Bentuknya tegap laksana pohon yang ramping, keanggunan sikapnya bahkan membuat cemara yang sombong merasa malu. Rambutnya terurai dalam ikal-ikal kalung adalah cukup untuk membelenggu nalar makhluk yang paling arif sekalipun. Matahari dan bulan membungkuk di hadapan sinar cahaya alisnya. Alis matanya bagaikan busur yang menembakkan anak panah kepada setiap hati. Bila tersenyum, giginya yang bak mutiara bercahaya di antara bibir delimanya, laksana sinar matahari yang hendak terbenam. Kekuatan tangannya bertentangan dengan kerampingan pinggangnya.
Serentak setelah bayangan itu muncul kepada Zulaikha, terjadilah apa yang harus terjadi, melihat manusia yang begitu indah melebihi semua manusia, yang tak dikenal bahkan dikalangan malaikat dan bidadari surga, ia jatuh cinta dengan sepenuh hatinya, dengan seratus hatinya! Bayangan dari bentuk yang tak terperikan itu tetap terukir dalam cinta telah tertanam dalam hatinya. Segala kesabaran dan imannya termakan oleh api di dadanya. Jiwanya tertawan pada setiap rambut yang wangi di kepala bayangan itu, pandangan alis matanya membuatnya mengeluh. Dikarenakan keindahan mulut dan giginya, hatinya yang keras meleleh bagaikan gula. Zulaikha pun tidur basah dalam genangan mutiara air mata yang muncul dari pelupuk matanya.
Tuhan, betapa hebat pandangan itu! Kemudian bayangan anggun itu pun lenyap, tetapi ia meninggalkan dampak yang terus mengganggu dalam pikiran Zulaikha. Ia lupa diri karena terkejut, tetapi ia berhenti sebelum mendapatkan makna yang sesungguhnya dari peristiwa itu. Sekiranya ia telah sadar akan maknanya yang lebih dalam, maka ia akan terhitung di kalangan orang yang telah bergabung di jalan kebenaran, tetapi karena tertawan oleh bentuk lahiriah, ia lupa akan kebenaran yang mendasarinya.
Kita semua seperti Zulaikha, budak dari penglihatan dan korban dari penampilan. Apabila kebenaran tidak mengintip keluar dari balik penampilan, betapa ketulusan hati akan mencapai bentuk penampilan itu sendiri? Bila seorang lelaki harus mencapai sebuah kendi, hal itu adalah karena ia tahu dengan pasti bahwa kendi itu berisi minuman, tetapi bila ia tenggelam dalam ombak samudera yang jernih, ia tidak lagi berpikir tentang kendi tak berlapis kaca yang sedang menangis itu.
***
Gagak hitam malam telah terbang, ayam jantan telah menghormati fajar, si punguk telah menyanyikan lagu merdunya kepada mawar, mengundangnya untuk membukakan kelopaknya. Melati telah mencuci mukanya dalam embun, dan tulip telah mencuci rambutnya yang wangi. Sementara itu, Zulaikha masih tertidur nyenyak dengan hati terpaling kepada altar malam sebelumnya. Tetapi itu bukan tidur yang nyenyak, hanya suatu keadaan tidak sadar yang tergila-gila oleh bayangan malamnya.
Ketika para pelayannya mencium tangan dan kakinya, ia membuka matanya yang mengantuk. Baju malamnya yang terbuka mengungkapkan terbitnya matahari. Ia mengangkat kepala dan melihat ke setiap arah, tetapi tak ada suatu tanda dari makhluk indah malam itu. Untuk sejenak, bagaikan kuncup bunga yang tersembunyi dalam kelopak, ia menguburkan wajah dalam pakaiannya, kemudian dalam kebingungannya ia hampir menyobeknya, laksana mawar yang membelah menjadi bunga, tetapi suatu perasaan sederhana menahannya.
Ia menyembunyikan rahasianya jauh dalam hatinya yang sedih, bagai permata delima yang terkubur dalam tambang hatinya yang berbatu. Ia menelan lagi darah hatinya, tanpa mengingkari sekelumit pun rahasia yang terjadi dalam dirinya. Bibirnya sibuk, mengobrol dengan dayang-dayangnya, sementara hatinya mengaduh dalam keluhan, lidahnya berbicara dengan mereka, sementara seribu lidah apinya membakar dadanya yang penuh nafsu. Matanya ada pada wajah orang lain tetapi semua perasaannya ada pada bayangan itu. Kendali hatinya berada di tangannya, tetapi di manakah hatinya? Ia ada di tempat si pemikat hati itu berada.
Setiap hati yang tertangkap dalam taring cinta akan dilumpuhkan seperti itu, seluruh hasratnya terpusat pada si sahabat, di antara orang lain tak ada kedamaian yang dapat diperoleh. Apabila ada kata-kata yang diucapkan, adalah itu tertuju kepada si kekasih. Apa pun tampak sebagai tujuannya, si kekasihlah yang dicari.
Beribu kali jiwa Zulaikha bagai hendak terbang, hingga akhirnya hari yang pedih itu menyerah kepada malam. Maka akhirnya datang juga sang malam, sahabat terpercaya oleh semua pecinta, melicinkan jalan bagi perburuan cinta. Para pecinta lebih menyukai malam daripada siang, karena malam menyingkapkan tirai-tirai rahasia yang disembunyikan oleh siang.
Maka, ketika gelap malam tiba, Zulaikha memalingkan wajahnya ke dinding kesedihan, dengan punggungnya terbungkuk bagai kecapi, lalu menyenandungkan melodi duka. Ia membayangkan si kekasih, dan menyebarkan permata di sekitarnya, dari bibir maupun matanya.
"Wahai permata suci!" Katanya, "Dari tambang manakah engkau berasal? Kau telah membawa pergi hatiku, tanpa mengatakan kepadaku siapa namamu ataupun dari mana datangmu, dan aku tak mengetahui ke mana akan bertanya. Aku tidak menghendaki siapa pun tertimpa cinta seperti ini, aku tidak memiliki hati dan tidak pula memiliki hasrat hatiku sendiri. Bayanganmu telah muncul padaku dan merampas tidurku, ia telah membuat air mata dan darah hatiku mengalir. Tubuhku yang tak terbawa tidur menjadi lesu, dan dadaku terbakar. Aduhai, tak dapatkah engkau memadamkan nyala ini? Mestikah engkau selalu laksana nyala api yang membara?"
"Dahulu aku adalah mawar di taman remaja, sesegar air kehidupan abadi, kepalaku tak pernah tertimpa hujan deras, kakiku tak pernah terluka oleh duri. Dan kini, sekilas pandanganmu telah menghempaskan diriku kepada angin dan menaburi tidurku dengan seribu duri."
Demikianlah sepanjang malam Zulaikha menyampaikan keluhannya kepada angin, begitulah selalu keadaannya siang dan malam.
***
Busur cinta menembakkan panahnya ke segala arah, dan mereka yang terbidik sedikit pun tak dapat mengelak darinya. Sekali panah itu mengenai sasaran hati, ia memberikan kehadirannya dengan segudang tanda dan makna. Betapa benar ucapan: hanya ada dua hal yang tak dapat disembunyikan, cinta dan kesturi. Dengan menyimpan cinta, Zulaikha telah menanamkan benih kesedihan dalam hatinya, merambat dan tumbuh ke permukaan dalam pandangan, meskipun dia tidak menghendakinya.
Terkadang ia menangis, dan setiap tetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya mengungkapkan rahasianya. Kadang itu merupakan keluh kesahnya yang timbul dari hatinya yang menyala laksana asap di langit. Pipinya dahulu merah mawar, sekarang bagaikan tulip kuning, karena ia kurang makan dan tidur.
Tanda-tanda itu terlihat oleh dayang-dayangnya, dan kecemasan nampak di wajah mereka, tetapi mereka tak dapat menemukan apa atau siapa yang menjadi penyebab keadaannya yang gelisah tersebut. Yang seorang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh mata jahat, yang lainnya oleh sihir atau oleh setan dan iblis. Namun sebagian lain yakin bahwa ia terkena tanda pikatan cinta, dan karena Zulaikha tak pernah melihat seorang laki-laki dalam kehidupannya, mereka berpikir bahwa bencana ini tentulah akibat mimpi. Tetapi semua ini hanyalah dugaan belaka saja, sementara rahasia itu tetap tak terpecahkan.
Zulaikha mempunyai seorang ibu inang yang sangat mahir dalam urusan cinta, ia adalah seorang yang cakap, yang dapat menaklukan hati pecinta yang paling handal sekalipun. Pada suatu sore ia datang kepada Zulaikha, mencium bumi di hadapannya, dan mengingatkannya akan segala baktinya selama ini, siang dan malam, sejak saat ia dilahirkan dan sepanjang masa kanak-kanaknya.
"Zulaikha, bukankah sekarang masih seperti dahulu, saya masih pelayanmu yang setia, mengapa engkau menyimpan rahasia dariku, dan memperlakukan aku sebagai orang asing? Ayo katakanlah kepadaku siapakah yang memasukkanmu ke dalam keadaan semacam ini? Mengapa engkau berada dalam kebingungan dan kepedihan? Mengapa pipimu yang merah mawar sekarang menjadi kuning pucat? Mengapa matahari lesu seperti bulan dan hendak terbenam di tengah hari? Tetapi aku dapat melihat dengan pasti bahwa suatu bulan lain menyerangmu, katakanlah dengan jelas kepadaku siapakah dia. Apabila ia malaikat dari langit, yang hakikatnya terbuat dari cahaya yang suci, aku akan memanggilnya dengan puji-pujian dan doa untuk turun, apabila ia putra peri dari hutan dan gunung, maka kita akan memanggilnya dengan mantra-mantra. Dan apabila ia hanya seorang manusia, engkau akan segera beroleh kesenangan darinya, sekalipun bila ia tak ingin bersatu denganmu, engkau akan menjadi kekasihnya, bukan budaknya."
Zulaikha terpikat oleh kata-kata ramah inangnya, dan merasa bahwa ia tak dapat lagi menyembunyikan kebenaran darinya, dan dengan demikian, dengan wajahnya yang bagaikan bulan bertiraikan air mata, ia menjawab, "Sayangku! Kekayaan yang aku cari bukanlah sesuatu yang terlihat, dan kunci kepadanya tak dapat diperoleh. Betapa aku dapat mengatakan kepadamu tentang burung dari sangkak yang sama dengan rajawali. Setidaknya nama rajawali diketahui, tetapi aku tak mengetahui nama burungku."
Betapa bahagianya mengetahui nama hasrat hatimu, dan dengan mengulanginya, merasakannya di lidah! Akhirnya Zulaikha membuka rahasianya pada sang inang dan memberikan padanya pikiran tentang riwayat impian tidurnya, menceritakan semua ketidaktahuan kepada inangnya. Tetapi sekarang si inang tak berdaya untuk mendapatkan penyelesaian, karena mustahil mencari sesuatu yang sama sekali tidak diketahui. Betapa seseorang dapat mengejar suatu tujuan yang tak diketahui?
Karena tak mampu memuaskan Zulaikha, inang itu hanya berusaha menenangkannya, "Apa yang telah terjadi padamu adalah perbuatan setan-setan yang licik dan iri. Mereka mengirimkan bayangan-bayangan indah kepada manusia, semata-mata untuk mendorong orang menjadi gila karena hasrat."
Tetapi bagaimana setan dapat menciptakan suatu bentuk keindahan yang demikian memukau? Semoga dijauhkan Tuhan, bahwa suatu wujud yang dibentuk dalam kengerian dan dengki akan mungkin melahirkan malaikat seperti itu.
Itu tak lain dari tipuan impian, tak patut disedihkan." "Tetapi betapa impianku dianggap palsu, padahal aku sendiri jujur? Orang arif mengatakan kepada kita bahwa hanya orang benar yang dapat bertindak dalam kebenaran, sementara keburukan hanya lahir dari orang-orang yang bengkok."
"Ayolah sekarang! Engkau seorang gadis cerdas, usirlah khayalan mustahil itu dari pikiranmu!"
"Tetapi, apakah engkau berpikir bahwa aku dengan suka hati membiarkan diriku ditaklukkan oleh beban berat ini? Aku tak dapat lagi mengendalikan diriku, kendali kemauanku telah tergelincir dari tanganku. Bayangan yang memenuhi hatiku yang sakit lebih padat daripada ukiran pualam, yang tak dapat dihapus angin atau gelombang."
Ketika inang itu melihat kekuatan yang tak tergoyahkan dari cinta itu, ia menyerah untuk berusaha lagi memberikan nasihat. Secara rahasia ia pergi kepada ayah Zulaikha dan mengatakan kepadanya apa yang terjadi. Ia tercengang, tetapi karena ia tak mampu mendapatkan obat bagi situasi itu, ia terpaksa meninggalkannya di tangan nasib.
***
Betapa beruntungnya hati yang dijadikan kediaman cinta, karena cinta membuatnya melupakan urusan dunia. Cinta adalah laksana halilintar yang membakar kesabaran dan penalaran, dan menurunkannya menjadi hampa. Si pecinta menjadi tak peduli akan keselamatannya sendiri, bukit-bukit kesalahan tidak lagi menjadi bobot baginya ketimbang jerami, kecaman hanya meningkatkan hawa nafsunya.
Sepanjang tahun penuh Zulaikha merindu, bulan purnama menjadi sekadar bulan sabit, bungkuk dan kurus, hampir tak tampak dalam senja merah darah. Di malam hari ia meratapi nasibnya dengan mengatakan, "Wahai cakrawala langit yang berpaling! Apa yang telah engkau lakukan kepadaku? Engkau telah membuat matahari menjadi pucat bagiku, engkau telah mematahkan busur kesucianku dan menjadikanku sasaran panah kesalahan, engkau telah menyerahkanku kepada seseorang yang demikian kepala batu sehingga hanya sifat kepala batu yang aku ketahui tentang dia. Pertama ia membakar hatiku dengan cinta dalam mimpi, tetapi sekarang ia menjengkelkanku dengan suatu penampilan lain. Ia tak pernah datang kepadaku sementara aku jaga, dan sekarang ia tidak lagi muncul kepadaku dalam impian."
Ia telah menyibukkan diri dengan kata-kata seperti itu sepanjang jaga malamnya, dan sedang siap untuk menyerahkan jiwanya yang dilanda kesedihan, tetapi pada akhirnya tidur—atau lebih tepat ketidaksadaran—merenggutnya dari pikiran-pikiran itu. Tubuhnya hampir tidak berhenti bergerak, ketika bayangan hasrat hatinya memasuki kamarnya, itu adalah keindahan bercahaya yang telah tampil sebelumnya.
Ketika ia melihatnya dalam impian, Zulaikha bangkit dan melemparkan dirinya ke kaki bayangan itu seraya berkata,
"Engkau yang telah merebut kedamaian dan kesabaran hatiku! Aku memohon kepadamu dengan nama Pencipta yang telah membentukmu tanpa cela dari cahaya murni, yang telah menempatkanmu di atas semua manusia yang tercantik, dan menganugerahimu dengan keanggunan yang lebih besar daripada air kehidupan abadi, yang telah membuat wajahmu suluh yang menyala di atas mana jiwaku yang malang telah membakar dirinya bagaikan anai-anai, dan setiap urat rambutmu yang harum menjadi jeratan yang menawanku. Aku memohon kepadamu atas nama-Nya untuk menaruh belas kasihan kepadaku, si melarat malang yang hatinya sendiri telah direnggut. Jawablah aku, bukalah bibir delimamu yang semanis madu dan katakan kepadaku, wahai engkau yang demikian indah dan memikat hati, katakanlah nama dan asalmu."
Bayangan itu menjawab, "Aku salah seorang turunan Adam, terbuat dari lempung dunia Engkau mengaku telah mencintaiku, apabila engkau tulus, percayalah kepadaku, dan tetaplah menyatu demi aku. Janganlah ada gigi yang menggigit bibir merah gula itu, janganlah ada intan yang membedah permata itu! Apabila dadamu memar karena menghendaki aku, janganlah membayangkan bahwa penderitaanku kurang dari penderitaanmu. Hatiku pun ditandai oleh luka-luka cinta dan terjaring dalam cinta kepadamu."
Setelah ia mendengar kata-kata manis dan halus itu, kecemasan cinta Zulaikha menangkapnya dengan kekuatan yang baru. Ia bangun di pagi hari, masih mabuk oleh pengalaman malamnya. Dadanya terbakar, hatinya lebih terbakar nafsu daripada sebelumnya, asap keluhan bangkit ke langit. Kecemasannya telah bertambah seratus kali lipat, dan kebingungannya tidak mengenal batas, kendali penalaran dan ketenangan telah meluncur dari tangannya. Laksana kuncup yang akan memecah, ia menyobek jubahnya hingga terbuka, dan setiap kali ia memikirkan wajah dan rambut kekasihnya, ia menancapkan kuku-kukunya ke wajahnya dan menjambak rambutnya sendiri.
Dayang-dayang mengelilinginya bagai payung rembulan, tetapi Zulaikha mengambil keuntungan dari setiap celah yang terkecil untuk meluputkan diri, secepat anak panah, dan dia akan lari dengan cekatan ke dalam istana, apabila mereka tidak menahannya kembali melalui ujung bajunya.
Ketika mendengar peristiwa ini, ayahnya memohon nasihat dari para orang tua istana. Mereka tak dapat memikirkan obat selain dari belenggu, dan oleh karena itu seekor ular dari emas yang berkilauan dengan batu merah delima diikatkan ke kakinya yang keperakan, bagaikan ular yang melindungi harta karun.
Zulaikha menangis sambil berkata, "Hatiku yang malang telah berada dalam belenggu cinta, barangkali inilah satu-satunya keadaan yang sesuai bagiku di dunia ini! Betapa anehnya siasat licik nasib yang memusuhi untuk mengikatku seperti ini, ketika aku tidak lagi mempunyai kekuatan atau hasrat untuk bergerak kemana-mana! Alangkah tak berguna, membebaniku dengan belenggu yang berat sementara aku telah berakar di tempat! Dialah yang sebenarnya harus mereka belenggu, si pemikat yang mencuri hatiku dalam sekejap, dan bahkan tak tinggal cukup lama bagiku untuk memuaskan mataku dengan wajahnya, ia berlalu secepat kilat, membangkitkan asap dari hatiku yang terbakar. Sekiranya aku dapat mengikatkan rantai emas ini pada kakinya, menatapi wajahnya sepuas hatiku, menerangi kegelapan hari-hariku! Tetapi apa yang akan aku katakan? Apabila kakinya harus dicederai dengan sekadar sebutir pasir, jiwaku akan tertindih oleh gunung kesakitan, dan aku dapat menggulung permadani kesenanganku."
Dari semua kata-kata cinta itu, yang dilemparkan sebagai tombak, yang satu akhirnya mengenai sasaran. Tertembus sampai ke hati, Zulaikha jatuh bagai hewan buruan. Selama beberapa saat ia terbaring tak sadar di tanah, dan ketika ia bangkit lagi, hal itu hanya untuk memberikan kendali sekali lagi kepada kegilaannya, menangis pada menit yang satu dan tertawa pada menit berikutnya, silih berganti kehilangan dan mendapatkan lagi kesadarannya.
***
Selamat datang, cinta, yang sihir khianatnya membawa kedamaian pada satu saat, dan perang pada saat lainnya, membawa kebijakan kepada para pandir dan kepandiran kepada para bijak!
Pada suatu malam, dalam pelukan kecemasan yang resah, dengan kesedihan dan penderitaan sebagai kawan satu-satunya, Zulaikha sedang meminum dari mangkok kesedihannya, dan sampai ke ampasnya. Tabirnya telah sobek, dan dalam nafsunya yang berkobar ia telah menebarkan debu ke rambutnya yang telah kusut. Ia terbaring dalam kelemahan, melengkungkan punggungya yang anggun, dan dengan berlinangan air mata ia ungkapkan semua kesedihannya kepada kekasihnya,
"Wahai engkau yang telah mencuri nalar dan kedamaian pikiranku, yang memenuhi hari-hariku dengan penderitaan! Engkau telah membawa kepadaku kesedihan tanpa penawar. Engkau telah mengambil hatiku tanpa memberikan hatimu sebagai gantinya. Aku bahkan tak mengetahui namamu, apabila aku mengetahuinya, nama itu akan selalu ada di bibirku sebagai doa. Tidak pula aku mengetahui di negeri mana engkau berdiam. Apabila aku mengetahuinya maka aku akan berkelana dalam debunya. Aku bisa melakukan sesuatu sesuka hatiku dengan senyum manis selalu di bibir, tetapi sekarang aku adalah tawananmu, dan hatiku berbuku-buku bagaikan batang tebu. Aku tak akan menginginkan kemelaratan dan kenistaan sebagai yang aku alami kepada siapa pun, ibuku merasa hancur oleh kegilaanku, ayahku terhina kehormatannya. Bahkan para pelayanku telah lari meninggalkanku sendirian dalam keputus-asaan. Engkau telah membakar jiwaku, seakan aku ini sekam, dan itu bukanlah cara memperlakukan makhluk malang yang tak berdaya ini."
Demikianlah ia mengungkapkan hasrat hatinya kepada kekasihnya, sampai akhirnya ia tertidur. Matanya yang mabuk baru saja akan membasahi keringnya tidur, ketika pencuri tidurnya muncul dalam mimpi, lebih indah daripada yang dapat digambarkan.
Zulaikha bersujud terisak-isak di ujung jubahnya, dan menghujani kakinya dengan air mata, seraya mengatakan,
"Cintaku kepadamu telah merampok kedamaian dari hatiku, dan merebut tidur dan mataku. Aku memohon kepadamu, dalam nama Wujud Suci yang menciptakanmu demikian sucinya dan menempatkanmu di atas yang terindah di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Hentikanlah kecemasanku, sebutkan kepadaku nama dan di mana engkau tinggal!"
"Apabila hanya itu yang engkau inginkan," jawabnya, "Aku adalah Wazir Agung Mesir, dan Mesir adalah kediamanku. Aku merupakan salah seorang kesayangan Raja Mesir, dan pangkatku yang tinggi memberi hak kepadaku atas segala kemewahan dan kejayaan negeri Mesir."
Seakan-akan ia telah kembali hidup lagi setelah mati seratus tahun. Kata-kata itu adalah laksana minuman manis yang memulihkan kekuatan ke tubuh Zulaikha, kesabaran kepada jiwanya dan penalaran kepada akalnya. Ia telah pergi tidur seperti orang gila, berkat impian bahagia ini, ia bangun dalam keadaan sehat sebagai sedia kala.
Dengan memanggil para pengikutnya yang bertebaran, ia mengatakan kepada mereka berita gembira,
"Engkau yang telah ikut menanggung penderitaanku, sekarang pergilah kepada ayahku dan katakan kepadanya berita bahagia, yang akan meringankan kesedihan yang telah membakar hatinya, aku telah sehat kembali, dan air sungai yang menjadi kering sekarang telah mengalir lagi. Segeralah singkirkan rantai yang membelenggu kakiku ini, karena tak ada alasan lagi untuk takut akan kegilaanku. Biarlah ayahku sendiri yang membuka belenggu rantai ini."
Ketika ayahnya mendengar apa yang telah terjadi, raja itu amat sangat gembira sehingga ia sendiri hampir kehilangan akal. Ia berlari kepada cemara ramping itu, membuka geraham ular emas itu, dan membebaskan Zulaikha yang berdada perak dari rantai emas itu.
Dayang-dayangnya membungkuk di hadapannya, dan menempatkannya pada mahligai emas. Mereka memberikan kepadanya sebuah bantal mewah untuk sandaran, dan menghiasi keningnya dengan mahkota mulia. Paras cantik ala bidadari mengalir masuk dari semua sisi, bagai anai-anai yang tertarik kepada nyala dan di tengah kumpulan yang gembira itu Zulaikha duduk dengan senyum gembira sambil bercakap-cakap dengan mereka.
Ia menempa suatu percakapan tentang berbagai kota dan negeri di dunia, Yunani, Suriah, dan seterusnya, dan menyebut nama Mesir yang semanis madu di bibirnya! Akhirnya, setelah menyebutkan berbagai orang Mesir, ia membawa cerita itu sampai ke sisi Wazir Agung, ketika ia mengucapkan nama itu, ia merasa akan pingsan, air matanya mengalir, dan keluhannya yang merdu bangkit ke langit.
Dengan cara itu ia melewati malam-malam dan siangnya, berbicara tentang sahabat itu dan negerinya. Inilah satu-satunya pokok pembicaraan yang disukainya, selain itu tak ada yang hendak dikatakannya.
0 comments:
Post a Comment