Suatu ketika Rasulullah saw bersabda : Ash shalaatu mi'rajul mu’miniin. Bahwa, shalat itu adalah Mi'rajnya orang-orang yang beriman. Setidak-tidaknya, ada 2 hal yang tersirat di dalam sabda beliau itu. Yang pertama, bahwa pengalaman Rasulullah saw dalam Mi'raj itu bisa kita rasakan lewat shalat. Dan yang kedua, orang-orang yang bisa mengalami Mi'raj adalah mereka yang beriman.
Sabda Rasulullah saw ini sangat menarik untuk kita simak. Bahwa beliau menyamakan antara Mi'raj dengan shalat. Kenapa tidak disamakan dengan puasa, atau zakat atau haji. Kenapa mesti dengan shalat? Dan kenapa itu hanya bisa terjadi pada orang-orang yang beriman saja? Disinilah terdapat pelajaran 'tersembunyi' yang ingin beliau sampaikan kepada kita.
Dalam persepsi saya, ada 3 hal yang terkandung dalam pelajaran tersebut:
1. Bahwa shalat memiliki kesamaan proses dengan Mi'raj dalam hal 'perjalanannya'.
2. Bahwa shalat memiliki kesamaan 'tujuan' dengan Mi'raj, yaitu 'bertemu' dengan Allah.
3. Bahwa Mi'raj hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang menggunakan akal sehatnya untuk mencerna firman-firman Allah. Demikian pula, shalat yang khusyuk hanya bisa diperoleh orang-orang yang menggunakan akal sehatnya.
1. Menuju Kekhusyukan Shalat
Dalam hal prosesnya, Rasulullah saw seakan-akan ingin mengatakan kepada kita bahwa ibadah shalat itu bagaikan sebuah perjalanan bertingat-tingkat menuju Dzat Yang Maha Tinggi. Ibaratnya, perjalanan Rasulullah saw menembus langit demi langit, bergerak dari langit pertama menuju langit ke tujuh. Berangkat dari langit Dunia berakhir di langit Akhirat. Dan, beranjak dari alam materi menuju alam spiritual.
Ini sungguh sebuah pelajaran yang sangat berharga agar kita bisa mengarahkan kekhusyukan shalat kita. Shalat bukanlah sekedar ibadah fisik. Shalat lebih bermakna melatih batin agar terbiasa terkendali oleh kehendak Allah, yang 'diwakilkan' kepada hati nurani kita.
Dalam sabdanya, suatu kali Rasulullah saw, menyampailkan bahwa belum Islam seseorang sampai ia bisa menundukkan hawa nafsunya. Jadi ukuran keislaman kita adalah terletak pada kemampuan kita mengendalikan hawa nafsu. Bukan pada hal-hal yang bersifat seremonial atau aksesoris belaka.
Misalnya, kita seringkali mengatakan seseorang sudah Islam ketika sudah membaca kalimat syahadat, menjalani shalat dan rukun Islam lainnya, (meskipun dia tidak merasakan maknanya dan tidak memperoleh dampak ibadah tersebut).
Padahal, bukankah Rasulullah saw pernah mengatakan, betapa banyaknya orang yang menjalankan puasa tetapi tidak memperoleh makna (dampak) puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga saja. Atau, di waktu yang lain, Rasulullah saw pernah menyuruh seorang laki-laki untuk mengulang shalatnya sampai 3 kali, karena laki-laki itu dianggap belum mengerjakan shalat yang sebenarnya.
Hal-hal di atas menunjukkan kepada kita bahwa ibadah yang kita lakukan mesti memiliki dampak yang positif sesuai dengan tujuan keislaman kita, yaitu mampu menundukkan hawa nafsu. Jika belum memberikan dampak sesuai yang diharapkan, maka ibadah kita itu sebenarnya belum dianggap ibadah. Persis seperti apa yang dikatakan Rasulullah saw tentang puasa atau pun shalat di atas.
Kembali kepada shalat sebagai Mi'raj, maka Rasulullah saw memilih segelas susu dan menolak segelas anggur, ketika ditawari Jibril menjelang keberangkatan menuju dimensi langit yang lebih tinggi. Ketika itu, di masjidil Aqsha, menjelang keberangkatan melintasi langit, malaikat Jibril membawa 2 bejana. Yang satu berisi anggur, dan yang lainnya berisi susu. Rasulullah ditawari untuk memilih salah satunya. Dan ternyata Rasulullah memilih susu, yang lantas diminumnya. Ketika itu Jibril mengatakan bahwa pilihan Rasulullah itu sangatlah tepat. “Engkau telah memilih Fitrah,” kata Jibril mengomentari pilihan Rasulullah saw.
Itulah pelajaran yang diberikan Rasulullah saw kepada kita menjelang Mi'rajnya. Bahwa orang yang mau ‘bertemu dengan Allah’, harus kembali kepada hati nurani dan fitrahnya. Susu menggambarkan akal sehat, sedangkan anggur justru menggambarkan hilangnya akal sehat. Maka, beliau ingin mengatakan bahwa dalam shalat kita justru harus menggunakan akal sehat kita untuk bertemu dengan Allah. Maka bandingkanlah pelajaran Rasulullah saw ini dengan firman Allah berikut ini.
QS. An Nisaa'(4): 43
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan ...
Ayat ini sangat jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa shalat haruslah memahami apa-apa yang kita ucapkan. Kalau tidak, maka kita shalat seperti orang mabuk saja layaknya. Shalat kita tidak ada maknanya. Apalagi memberikan dampak pada tingkah laku kita, tentu sangatlah jauh.
Sehingga janganlah heran, meskipun shalat itu dirancang oleh Allah untuk melatih kita agar terhindar dari perbuatan keji (kotor) dan mungkar (merugikan), tetapi sehari-hari kita tetap saja melakukan hal-hal yang tercela. Kenapa? Karena shalat kita tidak kita pahami. Sehingga tidak memberikan dampak apa pun pada tingkah laku kita. Pada hakekatnya, kita belum shalat.
Menggunakan akal sehat memiliki arti agar kita mau mempelajari makna ucapan-ucapan dalam shalat. Saya jadi teringat pada guyonannya Gus Mus. Waktu itu, beliau mengatakan, bahwa shalat kita ini lucu, karena semua do'anya sudah berada di 'luar kepala'. Makna hafai 'di luar kepala' itu beliau plesetkan menjadi 'benar-benar di luar kepala' karena kita sudah tidak lagi berpikir pada saat mengucapkan do'a-do'a shalat. Karena sudah hafal, maka ucapan shalat kita meluncur begitu saja, tanpa makna.
"Yang benar, adalah di dalam kepala," katanya sambil tertawa. Artinya, pada saat mengucapkan do'a shalat itu harus kita barengi dengan berpikir, menggunakan akal sehat. Itulah yang diajarkan Rasulullah saw lewat pilihannya kepada segelas susu, dan bukan anggur.
Setelah itu barulah Rasulullah saw melakukan perjalanan menuju langit ke tujuh untuk 'bertemu' Allah. Maka dimulailah proses 'perjalanan' kejiwaan Rasulullah saw, yang bagi kita adalah sebuah perjuangan untuk menuju pada kekhusyukan shalat. Khusyuk adalah suatu kondisi jiwa yang fokus dan memahami apa-apa yang kita ucapkan sehingga terjadi interaksi antara kita dengan Allah.
Maka, kekhusyukan dalam shalat ada empat tingkatan.
Yang pertama, adalah orang-orang yang tidak paham sama sekali tentang makna shalat. Dalam firman Allah di atas, diistilah sebagai 'tidak mengerti apa yang ia ucapkan'. Orang yang demikian cara shalatnya, dianggap sebagai orang yang ‘mabuk’. Tentu saja ia tidak menemukan kekhusyukan di dalam shalatnya.
Yang kedua, adalah orang yang tidak mengerti apa yang ia ucapkan, namun bisa merasakan kehadiran Allah dalam shalatnya. la tahu bahwa ia sedang 'menghadap' Allah, meskipun tidak paham apa yang dia ucapkan kepada Allah itu. Dia melakukan interaksi dengan Allah dalam kadar yang sedikit dan sangat umum.
Yang ketiga, adalah orang yang mengerti apa yang dia ucapkan tetapi seringkali 'terlupa' bahwa dia sedang ‘berhadapan’ dengan Allah dalam shalatnya. la seringkali terganggu dengan berbagai hal yang ada di sekitarnya, temasuk yang ada di dalam pikirannya sendiri.
Dan yang ke empat, adalah orang yang mengerti apa yang dia ucapkan, sekaligus bisa merasakan kehadiran Allah dalam seluruh shalatnya. Dia benar-benar merasakan dan memformat shalatnya sebagai sebuah dialog antara dirinya dengan Allah. Kecuali, sedikit saja, kadang-kadang pikirannya terlepas. Tapi ia segera kembali ingat kepada Allah.
Untuk memperoleh kekhusyukan Allah menganjurkan beberapa cara, sebagaiman Dia firmankan di dalam KitabNya.
QS. An Nisaa' (4): 142
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali."
QS. At Taubah (9): 54
"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan."
Kedua ayat di atas memberikan gambaran yang menarik kepada kita tentang kemalasan dalam mengerjakan ibadah. Kemalasan dalam menjalankan ibadah bisa menunjukkan kualitas seseorang dalam agamanya.
Menurut ayat di atas, kemalasan bisa berarti menunjukkan pada kemunafikan. Ini jelas terbaca pada ayat di atas, bahwa orang-orang yang munafik itu kalau berdiri untuk mengerjakan shalat mereka lakukan dengan malas. Yang ada di benak mereka sebenarnya bukan untuk beribadah kepada Allah melainkan untuk dipertontonkan kepada orang lain.
Tujuannya bisa bermacam-macam. Ada yang karena politis, ada yang karena takut, ada juga yang karena bisnis, dan lain sebagainya. Intinya mereka menjalankan ibadah bukan karena Allah, tetapi karena orang lain. Maka, dalam shalatnya mereka juga tidak akan khusyuk. Justru, hatinya selalu bertanya-tanya, sambil 'lirak-lirik': "sudah ada nggakya orang yang melihat shalatku ini. Kalau nggak ada, wah sayang sekali,"
Maka, kita harus hati-hati. Apakah kita menjalankan shalat ini dengan rasa malas? Jika ‘Ya’ segeralah ubah sikap hati kita itu. Karena ada tanda-tanda kita ini termasuk orang yang munafik. Dan orang yang munafik adalah yang orang-orang yang berbohong dalam agama. Mereka menipu Allah. dan Allah akan membalas tipuan mereka. Demikianlah firman Allah.
Kemalasan yang kedua, lebih serius lagi. Hal ini dikemukakan Allah dalam surat At Taubah. Bukan hanya munafik, kemalasan ternyata juga bisa menunjukkan pada kekafiran.
Jadi, kafir tidak selalu berarti orang-orang yang berseberangan secara fisik dengan umat Islam. Tetapi ternyata ada jenis kekafiran dalam hati. Mungkin saja secara fisik dia adalah orang yang beragama Islam (ditunjukkan oleh KTP, misalnya). Akan tetapi sebenarnya hatinya tidak cocok dengan segala ibadah yang diajarkan oleh Islam. Dengan kata lain, hatinya menolak kebenaran Islam. Kalau pun dia menjalankan ibadah, hanya karena terpaksa saja. Maka, sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang kafir, menurut ayat tersebut.
Coba cermati kembali ayat itu. Allah menolak segala ibadah harta maupun shalatnya, dikarenakan hati mereka yang kafir. Artinya, mereka juga menafkahkan harta dan menjalankan shalat, tetapi kata Allah, mereka menjalankannya dengan rasa malas dan enggan.
Maka, tipikal orang-orang yang demikian pasti tidak akan khusyuk di dalam shalatnya. Dengan kata lain, jika anda ingin shalat secara khusyuk, janganlah melakukan ibadah itu dengan rasa malas. Rasa malas adalah 'musuh' nomer 1 untuk mencapai kekhusyukan.
Cara yang kedua untuk mencapai kekhusyukan adalah dengan mengucapkan do'a-do'a shalat secara perlahan-lahan. Hal ini disampaikan oleh Allah dalam firmanNya, berikut ini.
QS. A[ Muzammil (73): 4
"Hai orang yang berselimut (muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan, sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat, sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan."
Membaca secara perlahan-lahan bisa membantu kekhusyukan kita. Kalau perlu, tekankan pada setiap kata, sehingga kita bisa meresapkan maknanya. Bukan hanya mengerti terjemahannya. (Selama ini, khususnya kita orang Indonesia yang tidak berbahasa Arab sehari-hari, bukan memahami maknanya melainkan mengetahui arti terjemahannya.)
Nah dengan mengucapkan secara perlahan itu kita bakal merasakan makna do'a itu. Apalagi jika kita melakukannya pada malam hari. Dalam ayat itu, Allah mengatakan bahwa shalat pada malam hari waktu sahur adalah lebih khusyuk dan mengesankan.
Memang banyak ulama mengatakan bahwa shalat tahajud pada malam hari telah menjadi shalat sunnah, sejak turunnya ayat ke 20 surat Al Muzammil. Namun, kalau kita memang ingin bersungguh-sungguh dalam shalat kita, maka shalat tahajud adalah cara yang sangat efektif. Inilah shalat pertamakali yang diperintahkan Allah kepada Rasulullah saw, agar beliau memperoleh kekuatan dan keluasan hati dalam menerima wahyu Allah.
Apalagi, kalau kita memang ingin merasakan shalat sebagaimana Mi'rajnya Rasulullah saw. Shalat tahajjud inilah yang paling mendekati situasi dan kondisinya. Beberapa hal yang menyebabkan shalat tahajjud berpotensi khusyuk adalah:
1. Sengaja bangun malam. Kesengajaan bangun malam ini menunjukkan bahwa kita tidak malas dalam mengerjakan shalat. Sebagaimana saya katakan di depan, kemalasan adalah musuh nomer satu terhadap usaha untuk mencapai kekhusyukan.
2. Suasana hening pada malam hari menjadikan pikiran kita bisa terfokus hanya kepada shalat dan interaksi dengan Allah saja. Hal-hal lain yang bersifat Duniawi kita tinggakan.
3. Bacaan yang perlahan-lahan dan kita resapkan ke dalam hati. Hal ini lebih bisa kita laksanakan dibandingkan dengan shalat pada siang hari. Biasanya pada siang hari kita diganggu oleh kesibukan-kesibukan lain, sebagaimana firman Allah berikut ini.
QS. Al Muzammil (73): 7
"Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)"
4. Lebih-lebih jika kita memahami apa yang kita ucapkan. Maka interaksi dengan Allah bakal benar-benar terjadi dalam shalat kita.
5. Kekhusyukan akan semakin meningkat, jika kita sedang mempunyai masalah, sebagaimana saat Rasulullah melakukan Mi'raj. Jika tidak sedang memiliki masalah, maka 'ciptakanlah masalah' dalam pikiran kita. Misalnya, kita merasakan betapa banyaknya dosa-dosa yang telah kita perbuat sepanjang kehidupan kita. Atau, betapa sedikitnya ilmu yang kita miliki, sehingga kita memohon kepadaNya untuk membukakan hikmah atas berbagai ilmuNya yang tiada berhingga. Atau kita prihatin kondisi anak-anak kita, atau saudara, famili, sahabat, masyarakat, bangsa dan negara, dan sebagainya. Problem kita itu akan memberikan 'muatan' yang sangat bermakna bagi kekhusyukan shalat kita.
6. Karena itu dalam setiap shalat sebelum takbiratul ihram saya selalu meniatkan untuk memohon kepada Allah agar masalah yang sedang saya hadapi diberikan jalan keluar.
Di sinilah shalat memiliki makna berdzikir dan berdo'a /
mohon pertolongan kepada Allah, Sang Maha Bijaksana. Allah berfirman,
QS. Al Baqarah (2): 45
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk"
QS. Thahaa (20): 14
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. "
Dua ayat di atas memberikan gambaran kepada kita, bahwa shalat itu berfungsi sebagai 'cara berdo'a 'dan 'cara berdzikir’ yang diajarkan Allah. Inilah cara terbaik untuk berdo'a dan berdzikir. Akan tetapi selama ini kita tidak demikian cara berdo'a dan berdzikirnya.
Bagi kita, yang disebut berdo'a itu justru di luar shalat. Misalnya sesudah shalat. Sehingga, shalat adalah sekedar kewajiban, sedangkan 'berdo'a' sesudah shalat adalah kebutuhan. Apa yang diungkapkan oleh seorang kawan kepada saya menggambarkan hal itu. Dia mengatakan begini : "Kekhusyukan saya di dalam shalat kalah dengan kehusyukan saya ketika berdoa, sebab ketika shalat itu saya hanya merasakan sebagai kewajiban. Sedangkan ketika berdoa saya merasakan sebagai sebuah kebutuhan. Mestinya, shalat adalah proses berdo'a itu sendiri. Di dalam shalat itulah kita meminta petunjuk agar dibimbing di jalan yang lurus. Di dalam shalat itu juga kita memohon diberi rezeki, kesehatan, ampunan, rahmat dan lain sebagainya. Ya, shalat itulah cara berdoa kita kepada Allah.
Bahwa di luar shalat kita masih berdo’a, itu adalah sebagai tambahan. Dan memang begitulah seharusnya dalam seluruh waktu yang kita miliki kita selalu berinteraksi dan berdo'a kepadaNya.
Sama juga dengan berdzikir. Cara berdzikir yang paling baik adalah shalat itu sendiri. Tetapi, yang kita lakukan persis dengan cara berdo'a diatas. Bahwa shalat adalah kewajiban, sedangkan berdzikir kita lakukan di luar shalat. Coba cermati ayat di atas, "maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat (berdzikir kepada) Aku. "Shalat justru dimaksudkan sebagai cara untuk mengingat Allah (dzikrullah).
Dan jika kemudian kita merasa dzikir kita masih kurang, Allah pun mengingatkan kita agar kita tetap melakukan dzikir setelah shalat kita usai. Artinya, berdzikir itu memang mesti kita lakukan sepanjang waktu yang kita miliki.
QS. An Nisaa' (4):103
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
2. Untuk Bertemu dengan Allah
Shalat dan Mi'raj memiliki kesamaan dalam hal tujuan, yaitu untuk bertemu dengan Allah. Karena itu, Rasulullah saw menyatakan bahwa shalat bisa menjadi Mi'raj bagi orang-orang yang beriman.
Bagaimanakah kita bisa bertemu Allah dalam shalat kita. Bukankah Allah adalah Dzat yang ghaib? Yang tidak mungkin tertangkap oleh panca Indera? Yang Nabi Musa pun tidak mampu untuk melihatNya, sehinga beliau pingsan di gunung Sinai ketika ingin melihat Allah.
Ya, Allah adalah Dzat yang Maha Dahsyat, yang kita tidak mungkin untuk melihat atau mendengarnya dengan menggunakan panca indera dan potensi fisik kita. Kita hanya bisa 'bertemu' Dia dengan menggunakan potensi Jiwa kita. Potensi 'nafsul Muthmainnah'. Potensi akal sehat sebagai manusia. Dan itulah memang Fitrah kita.
Orang yang tidak menggunakan akal sehatnya dalam kehidupan, adalah orang yang jiwanya terganggu. Sekaligus orang yang belum mencapai derajat nafsul muthmainnah. Atau dengan kata lain, orang-orang yang tidak kembali ke Fitrahnya sebagai manusia.
Fitrah manusia adalah akal sehatnya. Orang yang tidak memiliki akal sehat, dia bukanlah manusia yang sempurna. Karena itu, tidak dikenai kewajiban dalam beragama. Orang yang gila, orang yang pingsan, orang yang belum cukup dewasa, orang yang lupa dan seterusnya, adalah orang-orang yang terbebas dari kewajiban agama.
Jadi, kewajiban agama ini hanya bisa dijalankan oleh orang-orang yang berakal sehat. Maka, orang yang berakal sehat ini pulalah yang kelak akan ‘bertemu’ dengan Allah.
Begitu banyaknya Allah berfirman di dalam al Qur'an bahwa orang yang bakal bertemu denganNya adalah orang-orang yang berakal sehat.
QS. Al Maidah (5): 58.
"Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal."
QS. Asy Syu'araa (26): 28
"Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal".
QS. Az Zumar (39): 18
"yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal."
QS. An Najm (53): 6
"Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli."
QS. Az Zumar (39): 21
"Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di Bumi kemudian ditumbuhkan Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning kuningan, kemudian dijadikan Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal"
QS. Ath Thalaq (65): 10
"Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,"
QS. Al Jin (72): 4
"Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadapAllah"
QS. Ar Ruum (30): 29
"Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Qur'an yang menjelaskan betapa akal memiliki posisi yang sangat penting dalam beragama. Bahkan, QS 65 : 10, di atas mengatakan secara sangat gamblang bahwa yang disebut orang beriman itu adalah orang yang berakal. Dan sebaliknya, orang-orang zalim dan kafir adalah orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak berilmu pengetahuan. QS. 5: 58, QS. 26: 28. QS. 30: 29
Begitu juga, Allah memberikan penegasan bahwa yang bisa mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal. Malahan, Jibril sebagai penyampai wahyu Allah digambarkan sebagai makhluk yang berakal sangat cerdas. Tidak akan paham ilmu Allah, jika seseorang tidak cukup cerdas dan berakal sehat.
Apalagi untuk bertemu Allah. Agar kita bisa bertemu Allah, kita harus memiliki kecerdasan yang cukup dan akal sehat. Karena ternyata Allah menampakkan Dirinya hanya berupa tanda-tanda (ayat-ayat) di alam semesta. Dan yang bisa menerjemahkan tanda-tanda itu hanyalah orang-orang yang berakal dan berilmu pengetahuan. Dengan kata lain kalau ingin bertemu Allah harus bisa menerjemahkan 'tanda-tanda' tersebut.
Lebih jauh, cobalah cermati ayat-ayat berikut ini. Orang-orang yang berilmu disejajarkan dengan malaikat, karena merekalah yang bisa 'mengatakan dengan sebenarnya' bahwa hanya Allah lah Tuhan yang pantas disembah.
QS Ali Imran (3): 18
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
QS. Al Ankabuut (29): 43
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu."
QS. Al Baqarah (2):197
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada Ku hai orang-orang yang berakal
QS. Ali Imran (3): 7
"Dia lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. "Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal"
QS. Ibrahim (14): 52
(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.
Dengan memahami ayat ayat Allah itu, maka seseorang bisa 'bertemu' dengan Allah. Dimanakah 'pertemuan'itu terjadi? Di dalam akal dan jiwanya, saat terjadi interaksi. Dengan menggunakan indera ke enamnya, yaitu hati alias kalbu. Lewat sebuah kepahaman.
Begitulah, orang yang paham dan berhasil 'menyaksikan'tanda tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta, sesungguhnya dia telah 'bertemu' dengan Allah. Karena ternyata tidak semua orang bisa 'menyaksikan' tanda tanda itu, meskipun telah terhampar di sekelilingnya. Hal itu dikemukakan Allah, dalam QS. Yusuf (12): 105
"Dan berapa banyaknya tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di Bumi yang terhadapnya mereka melewati tanpa mereka perhatikan."
Orang-orang yang melewatkan tanda-tanda Kebesaran Allah di alam semesta adalah mereka yang tidak pernah 'menyaksikan' kehadiran Allah. Mereka tidak pernah 'bertemu' dengan Tuhan, Sang Perkasa dan Maha Agung.
Pertemuan itulah yang dialami oleh Rasulullah saw dalam Mi'rajnya. Di Sidratul Muntaha, di langit ketujuh, beliau telah menyaksikan sebagian tanda-tanda Kebesaran Allah yang paling besar, sebagaimana difirmankan Allah berikut.
QS. An Najm (53): 18
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
Itulah saat-saat beliau 'bertemu' dengan Allah. Saat itu, yang ada hanyalah kekaguman seorang hamba terhadap Khaliknya. Tidak ada kata-kata yang terucap. Karena kata-kata sudah tidak mampu lagi mewadahi makna yang terkandung di dalam jiwa. Seluruh potensi jiwanya telah tersedot oleh ‘Magnet’ yang sangat besar yang di dalamNya terdapat segala yang diinginkan jiwa. Rasulullah saw hanya bisa terpesona menyaksikan 'Samudera IlmuYang Tiada Bertepi'.
3. Shalatnya Orang Beriman
Shalatnya orang beriman adalah shalat yang bisa menghantarkan jiwanya untuk bertemu dengan Allah. Kenapa shalatnya orang beriman bisa menghantarkannya bertemu dengan Allah? Apakah orang yang tidak beriman tidak bisa bertemu dengan Allah?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita samakan dulu persepsi kita tentang kata 'beriman'. Selama ini, bagi kebanyakan kalangan, kata 'Iman' kurang dipahami secara baik. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kata 'lman' identik dengan kata 'percaya'.
Ini kurang menggambarkan makna yang sesungguhnya. 'Percaya' adalah sebagian saja dari makna ‘Iman’. Orang yang beriman memang memiliki kepercayaan terhadap yang diimaninya. Karena itu dia bisa menyerahkan apa saja yang dia miliki kepada sesuatu yang dipercayainya.
Akan tetapi, hal ini bisa berarti 'agak negatip'. Maksud saya, sebuah 'kepercayaan' bisa saja terjadi tanpa adanya proses yang 'mathuk' Ya, kita bisa saja percaya kepada seseorang, barangkali karena penampilannya yang ‘Wah’. Dia berjas, berdasi, bawa mobil mewah, HP dan berbagai aksesoris lainnya. Kita mengira bahwa itu menggambarkan kebonafidan dia sebagai pengusaha, misalnya.
Tapi sungguh, kepercayaan semacam itu bisa 'sirna' ketika kita. tahu bahwa segala penampilannya itu sekedar 'pinjaman' untuk menutupi kelemahannya dalam bernegosiasi.
'Percaya' saja tidaklah cukup. Yang harus kita lakukan adalah 'yakin'. Ya, keyakinan itulah yang harus kita dapatkan terlebih dahulu. Baru kemudian kita percaya kepada sesuatu. Nah, untuk memperoleh keyakinan itu tidak gampang. Ada suatu proses yang harus terjadi terlebih dahulu. Dan proses itu biasanya bukanlah proses yang singkat.
Kalau dalam terminologi Islam, keyakinan itu bertingkat-tingkat. Mulai dari 'ilmul yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin. 'Ilmu yaqin adalah keyakinan karena kita diberitahu oleh orang lain. Kebetulan, orang yang memberitahu kita adalah orang yang kita percaya. Maka, kita yakin saja bahwa informasi dia itu benar adanya.
Dalam hal berbisnis, barangkali inilah yang disebut sebagai referensi. Seorang pengusaha dikenalkan kepada kita oleh kawan kita. Maka, kita percaya atau mungkin yakin bahwa dia adalah pengusaha yang baik. Akan tetapi, kita harus membuktikan sendiri, tentang kebaikan dia itu.
Jika kita pengusaha yang cermat, tentu kita tidak ingin berhenti sampai di situ saja. Kita percaya kepada informasi dari kawan kita itu, karenanya kita lantas menjalin hubungan bisnis dengannya.
Nah, dalam perjalanan hubungan bisnis itulah kita akan memperoleh keyakinan yang lebih tinggi. Kita semakin mengenal pengusaha itu yang sesungguhnya. Kita mulai tahu jaringan-jaringan yang dia bentuk. Kita juga, semakin banyak memperoleh informasi dari berbagai sumber tentang kebonafidan dia. Maka, barangkali waktu itu kita telah mencapai tingkat keyakinan yang lebih tinggi, yaitu 'ainul yaqin'. Ya, kita telah 'melihat' sendiri berbagai kebaikan dia.
Namun, belum tentu kebaikan itu berjalan terus. Kita harus terus mengujinya dalam kurun waktu yang panjang. Jika, setelah berpuluh tahun kita melakukan interaksi bisnis dengan dia kita tidak pernah diciderai, maka barulah kita 'haqqul yaqin' bahwa dia benar-benar seorang yang baik dan bonafide dalam berbisnis. Barulah kita mantap untuk menyerahkan rasa kepercayaan kita kepadanya.
Begitulah proses beriman. 'Percaya' saja tidaklah cukup. Karena, kepercayaan belum memberikan jaminan bahwa langkah yang kita pilih adalah benar. Itulah bedanya keimanan setiap orang. Bahkan bagi setiap agama.
Boleh saja, setiap pemeluk agama mengatakan bahwa ia telah 'beriman' kepada ajarannya. Akan tetapi, bagaimanakah proses beriman itu terjadi? Jangan-jangan ia bukan beriman, tapi cuma sekedar percaya. Kepercayaan semacam itu bisa membuat kita terperosok pada kesalahan. Sebaliknya, sebuah 'keimanan' tidak akan bisa salah, karena ia telah melewati berbagai macam ujian yang tidak bisa dibantah lagi. Jika ada seseorang mengatakan dirinya beriman, tetapi dia masih juga salah, maka patut dipertanyakan apakah sudah benar cara memperoleh 'keimanannya'.
Begitulah cara beriman yang diajarkan oleh Allah di dalam al Qur'an kepada kita. Jangan asal percaya kepada setiap informasi yang datang kepada kita. Siapapun dia. Kecuali Rasulullah saw. Tetapi Rasulullah saw kan telah tiada? Artinya, kita tidak akan pernah lagi memperoleh pelajaran dari Rasulullah saw secara langsung. Yang terjadi, kita memperoleh informasi dari berbagai macam sumber. Bisa dari buku, dari guru, kiai, mubaligh, sahabat dan lain sebagainya. Maka, kita harus melakukan proses keimanan secara benar. Lakukan cek ulang terhadap semua informasi itu.
Bukannya kita tidak percaya kepada mereka, tapi Allah mengajarkan kepada kita bahwa beragama ini adalah tanggungjawab pribadi kita. Sama dengan berbisnis, kalau kita tidak cermat dan asal percaya kepada orang lain, maka yang mengalami kerugian adalah kita sendiri. Orang lain tidak akan mau tahu. Paling-paling cuma ikut prihatin.
Beragama juga demikian. Jika kita salah dalam mengambil kesimpulan dan kemudian diikuti dengan keputusan dan perbuatan yang juga salah, maka seluruh akibat dari kesalahan kita itu menjadi tanggungjawab kita pribadi. Tidak ada orang yang ikut bertanggung jawab terhadap kesalahan kita itu. Dengan kata lain, kalau masuk Neraka ya diri kita sendiri yang menderita. Dan kalau masuk Surga, ya kita juga yang merasakan kebahagiaannya. Informasi semacam ini berulangkali ditegaskan Allah di dalam al Qur'an.
QS. Shaad (38): 60
"Pengikut-pengikut mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah. Tiada ucapan selamat datang bagimu, karena kamulah yang menjerumuskan kami ke dalam azab, maka amat buruklah Jahannam itu sebagai tempat menetap".
QS. Shaad (38): 64
"Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, (yaitu) pertengkaran penghuni Neraka."
QS. Al Baqarah (2): 286
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya... "
QS. Ar Ruum (30): 44
"Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan)."
QS. Al lsraa'(17): 36
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
Nah, kaitannya dengan shalat sebagai Mi'raj, kata Rasulullah saw hanya bisa dialami oleh orang-orang yang beriman. yaitu orang-orang yang yakin, seyakin-yakinnya bahwa shalat itu memang bisa membawanya untuk 'bertemu' dengan Allah.
Bagaimana dia bisa yakin? Karena dia sudah melakukan proses seperti saya ceritakan di atas. Bukan hanya sekedar percaya apa kata orang. Dia telah melakukan 'cross check' tentang shalat. Bukan hanya ngecek ke berbagai sumber, melainkan juga sudah berusaha untuk menjalaninya dengan benar. Ternyata memamg benar adanya, bahwa ia bisa 'bertemu' dengan Allah.
Dalam konteks apa ia bertemu dengan Allah? Dalam kepahamannya tentang makna shalat itu sendiri. Allah lewat RasulNya sudah mendesain shalat itu sebagai tatacara yang bisa mempertemukan seorang hamba dengan Tuhannya. Maka, kalau kita kepingin bertemu dengan Allah, lakukanlah shalat. Allah berulang kali mengatakan itu di dalam firmanNya.
QS. Thahaa (20): 14
'Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. "
QS. Ar Ra'd (13): 2
'Allah lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu."
QS Fushshiiat (41): 53 - 54
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu."
QS. Ath Thalaq (65): 10
"Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,"
Surat Ath Thalaq di atas sengaja saya kutip kembali untuk memberikan penegasan, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman itu sebenarnya adalah orang-orang yang berakal. Memang, sungguh sulit untuk menjadi beriman kalau seseorang tidak menggunakan akalnya. Paling-paling, dia hanya 'percaya' saja. Sebuah kepercayaan yang 'membabi buta' dan berpotensi sangat besar untuk melakukan kesalahan.
Maka, dalam konteks inilah saya ingin mengemukakan kepada pembaca, bahwa untuk bisa bertemu Allah dalam shalat, kita harus menjadi orang yang beriman. Dan, agar iman kita benar, kita harus menggunakan akal.
Untuk apa akal itu? Untuk memahami tanda-tanda Kebesaran Allah yang tersebar di dalam al Our'an maupun di alam semesta. Dan tenyata, tanda-tanda tentang Kebesaran Allah itu juga ditebarkan dalam do'a-do'a shalat kita. Maka, jika kita ingin bertemu Allah, kita harus memahami do'a shalat kita. Orang yang tidak paham sama sekali tentang makna shalatnya, sangat kecil kemungkinan untuk bisa bertemu dengan Allah, sebagaimana telah kita bahas sebelum ini.
0 comments:
Post a Comment