Saya berterima kasih kepada kedua orang tua saya, karena sejak kecil mengajarkan agama kepada saya bukan sebagai dogma dan doktrin. Bukan dengan paksaan. Termasuk ibadah shalat. Beliau, ayah dan ibu saya, mengajarkan shalat sebagai ibadah yang 'menarik' untuk dijalankan, karena dengan shalat itu kita bisa 'bertemu' dengan Allah yang Maha Lembut, Pengasih dan Penyayang.
Maka, meskipun sering tergoda oleh beragam kemalasan seorang anak dan berbagai argumentasinya, 'iming-iming' bertemu Allah itu menjadi motivasi yang sangat kuat hingga saya beranjak dewasa. Bahwa shalat adalah cara untuk bertemu Allah.
Tapi, dimanakah Allah? Dia jauh ataukah dekat? Dan kenapa untuk bertemu denganNya mesti lewat cara shalat?
Pertanyaan itu menjadi guidance dalam proses pencarian saya selama bertahun-tahun. Kini saya mulai melihat 'titik terang' itu. Bahwa Allah 'ternyata begitu dekat' dengan kita, ketika kita 'menyadari' betapa dekatnya Dia. Dan, Allah tiba-tiba 'terasa begitu jauh' ketika kita 'tidak menyadari' atau 'lupa menyadari' kehadiran Nya.
Meskipun, pada kenyataannya, Allah sangatlah dekat dengan kita, bahkan lebih dekat dari pada urat leher kita sendiri (QS. 50 : 16). Dia juga meliputi langit dan Bumi, temasuk kita dan seluruh makhlukNya (QS. 4:126). Namun 'kehadiranNya' dalam kehidupan kita, ternyata seiring dan sesuai dengan kualitas kesadaran yang kita bangun. Ya, di 'KESADARAN' itulah 'TITIKTEMU' kita dengan ALLAH.
Maka, kita melihat, betapa pertemuan dengan Allah itu bergantung pada kemampuan kita membangun kualitas kesadaran kita. Ini memang tidak mudah, karena kesadaran kita kadang naik, kadang turun. Yang saya maksudkan dengan 'kesadaran' di sini bukan hanya sekedar kondisi 'terjaga' alias tidak pingsan. Melainkan, kemampuan kita untuk 'melihat' dan 'merasakan' hakekat suatu kejadian.
Jadi kalau seseorang mengalami suatu kejadian tetapi dia tidak bisa 'melihat' dan 'merasakan' makna yang terkandung di dalamnya, maka dia sesungguhnya tidak dalam keadaan ‘sadar’. Atau setidak-tidaknya, kesadarannya rendah. Orang yang demikian ini, suatu kali akan bisa 'terjatuh' dalam persoalan yang sama. Bahkan berkali-kali.
Sebaliknya, orang yang sadar, adalah orang yang bisa 'melihat' dan 'merasakan' makna atas kejadian tertentu. Dia bisa mengambil pelajaran dari kejadian itu. Dia peka, bahwa di balik kejadian itu ada 'MAKNA'. Dia juga paham, bahwa kejadian itu bukanlah sesuatu yang kebetulan terjadi. Dia berhasil 'nielihat' dan 'memahami' bahkan 'merasakan', bahwa ada 'SUATU KEKUATAN' yang hadir di balik kejadian itu. Maka inilah orang yang 'SADAR' itu.
Nah, kesadaran semacam ini memang sangat bergantung kepada kualitas akal kita. Dalam konteks agama, itulah yang disebut Rasulullah sebagai kualitas keimanan.
Tapi, untuk mencapai tingkat kesadaran yang demikian tinggi, butuh proses yang sangat panjang. Dan latihan bertahun-tahun. Bahkan mungkin berpuluh tahun, sepanjang kehidupan. Itulah yang kita lakukan lewat ibadah shalat.
Shalat adalah sebuah proses amalan, sekaligus latihan untuk membangun kualitas kesadaran. Diharapkan dengan shalat yang baik terus-menerus dan berulang-ulang, kualitas kesadaran kita akan meningkat. Sehingga akhirnya, kita bisa 'bertemu' Allah dalam seluruh penjuru kehidupan kita.
Rasulullah saw telah 'bertemu' denganNya, di dalam perjalanan lsra' Mi'raj. Beliau mengajarkan kepada kita, kalau kita ingin bertemu denganNya, lakukanlah shalat. Di dalam shalat itulah kita bakal bertemu denganNya. Kapan? Ketika seluruh kesadaran memuncak dalam kekhusyukan tertinggi dalam shalat kita.
Maka, ketika makna shalat telah terefleksi dalam kehidupan kita, Allah bakal hadir di seluruh penjuru peristiwa yang kita alami. Di dalamnya ada dzikrullah dan do'a, yang mengalir sepanjang tarikan dan hembusan nafas kita.
Tidak ada lagi waktu yang terbuang percuma. Seluruhnya berisi puji-pujian untuk mengagungkan DZAT Yang Maha Perkasa, seiring tasbihnya bermiliar-miliar malaikat dan bertriliun benda-benda di alam semesta. Itulah saat-saat kita Terpesona di Sidratul Muntaha ...
QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku
QS. An Nisaa'(4): 103
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring
QS. Al Israa'(17): 44
Langit yang tujuh, Bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun ...
…wallaahu a’lam bishsha wab…
ketika
takbir itu
meluncur dari lidahku
seluruh jiwa ragaku
tiba-tiba lenyap dalam KebesaranMu
sungguh
aku tak tahu
apakah aku telah sampai di langit
yang ke tujuh
sebagaimana rasulMu
sangat boleh jadi
aku tak pernah beranjak dari duniaku
tapi
bukankah ENGKAU
MELIPUTI segala sesuatu ???
0 comments:
Post a Comment