Prakta : Cerpen yang dikirim oleh Fauzan ini lumayan bagus. Hanya saja, emosi para tokoh kurang dijelaskan. Jadi, kurang greget dan sedikit hambar. Tetapi, dari sisi ide dan gaya bahasa sudah oke. Fauzan mengaku bingung dengan judulnya. Lha? Piye toh, dik? Bikin cerpen kok, bingung judulnya? Ya sudah, gimana kalo saya kasih judul : PACAR PURA-PURA?
Satu hal lagi, endingnya nggak mantap. Masa, cuma segitu aja? Mestinya dibuat lebih menggigigt. Ditambahin dengan narasi yang lebih keren. Tapi, untuk pemula okelah. Nilai 7 sih dapat. Sering berlatih dan membaca cerpen karya orang lain aja ya?
Jalanan masih basah bekas guyuran hujan. Hujan sejak jam 3 sore tadi memang terhitung yang paling besar di penghujung musim. Udara dingin membuat pengendara motor di senja ini memperlambat kecepatannya.
Aku masih duduk sabar menunggu pesanan nasi telur tempe terong bakarku diantar. Menu favoritku di warung makan Holliwood di Jakal KM 0, seberang Kopma UGM. Kali ini aku hanya sendiri. Biasanya rombongan dengan teman-temanku. Untung bukan malam minggu, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir. Dan juga malam ini sepertinya pelanggan lagi sepi, tidak seperti malam-malam biasanya. Mungkin karena baru hujan.
Pesanan teh hangatku lebih dulu datang bersama air pencuci tangan. Kebetulan, aku sudah sangat haus. Langsung kuteguk teh yang masih hangat itu sambil merapatkan kedua permukaan telapak tanganku ke dinding gelas kaca supaya badan lebih hangat.
Tidak lama berselang, sebuah sepeda motor matic berwarna merah parkir di samping motorku. Pengendaranya wanita yang belakangan kuketahui berwajah cantik setelah dia membuka helm. Rambutnya sebahu dengan poni ke arah samping kanan menutupi keningnya. Aku hanya memperhatikannya sekilas, tapi jelas kelihatan sepertinya dia sedang gelisah. Gerakannya buru-buru, dan sedari tadi sibuk dengan Blackberry nya.
Aku kaget. Dia duduk hampir di seberang tempat dudukku setelah memesan makanan. Satu meja. Dia di seberang sebelah kanan. Aku sedikit canggung. Sesekali aku merasa dia memperhatikanku. Mungkin hanya perasaanku.
Tidak. Itu bukan cuma perasaanku saja. Dia memandangiku lama saat aku tak sengaja melihat ke arahnya. Aku makin canggung. 'Ada apa dengan mukaku?'.
Beberapa kali aku rapikan rambut sambil memalingkan wajah ke belakang, barangkali ada yang salah. Tapi wanita cantik itu masih sesekali menatapku lama. 'Apa aku mirip temannya?'.
Aku tidak peduli. Aku mulai menyantap hidangan yang sudah tersedia di depanku dari tadi. Nasi yang pulen dan rasa bakaran telor tempe terong yang khas membuat cara makanku mungkin terkesan brutal. Ditambah perutku yang sedari siang belum diisi. Biasanya aku akan menambah satu piring nasi setelah nasiku habis. 'Tapi apa ada yang salah denganku?'
Wanita itu masih memandangiku dari seberang meja. Meski dengan sungkan, tapi sangat jelas dari tadi dia memperhatikanku.
Rasa penasaranku tidak bisa ditahan lagi.
"Ada apa ya, mbak?" tanyaku.
Wanita itu hanya diam. Matanya kosong menatap entah apa yang ada di belakangku.
"Mbak?"
"Kamu mau jadi pacarku?"
Aku bergegas. Kukenakan kemeja dan celana bahan yang tempo hari dibelikan Winda Permana, begitu namanya. Mirip nama dokter gigi yang sering kukunjungi.
Bukan hanya namanya yang sudah kuketahui. Aku juga tahu dia lulusan Psikologi UGM tahun 2003, mempunyai kucing cantik bernama Mello, penyuka warna biru dan kopi mocca dengan sedikit gula, pintar main catur, hobi berenang, dan cantik.
Tapi yang sampai sekarang membuatku bingung adalah, kenapa saat itu dia tiba-tiba memintaku jadi pacarnya, padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya, apalagi berkenalan.
Kulirik jam tangan yang juga aku dapat dari Winda. Sudah pukul 17.34 WIB. Aku harus cepat-cepat berangkat. Sebelum jam 6 malam aku harus sudah sampai di restoran, begitu pesan Winda. Dan paling tidak aku harus berangkat 15 menit sebelumnya.
Kumatikan lampu kamar kosku dan bergegas menuju mobil yang kuparkir di pinggir jalan depan kosku. Sebuah mobil sedan, yang lagi-lagi dari Winda. Hanya dipinjamkan.
Sebuah amplop putih lumayan tebal dia sodorkan di atas meja ke arahku. Segera aku ambil dan kumasukkan ke dalam tas.
Kuhirup sedikit kopi yang masih tersisa di gelasku.
Kami hanya di kedai kopi biasa. Dua hari setelah aku berkenalan dengan kakeknya yang sangat ramah dan mulai akrab denganku.
"Maaf ya, jika kemaren aktingku jelek." kataku sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nggak apa-apa. Akting yang buruk, datang terlambat, badan mobil yang lecet, semuanya sudah aku potongkan di honor kamu itu." jawab Winda dengan tertawa kecil.
"Hah? Kamu curang. Itu nggak ada dalam perjanjian kita."
"Tapi yang kamu lakukan itu juga nggak ada dalam rencana kita, kan? Siapa suruh pakai mobil. Sudah kubilang, kan, aku aja yang jemput. Baru belajar nyetir 5 hari aja berani banget bawa mobil sendiri."
"Tapi kan aku berhasil mencuri hati kakek kamu, dan sekarang kamu nggak jadi dijodohin dengan anak temennya semasa muda dulu."
"Hahaha... Iya iya, aku cuma bercanda kok. Nggak aku potong."
Kami berdua tertawa lepas. Aku merasa lebih akrab dengannya. Mungkin dia juga.
"By the way. Kontrakku diperpanjang, dong? Kan kakek kamu ngajakin aku main catur ke rumahnya besok sore. Dan Lusa, dia minta aku menemaninya keliling Jogja naik sepeda motor. Bagaimana?"
"..."
Aku bergegas. Kukenakan baju batik sederhana yang tempo hari dibelikan Chandra Hamid, begitu namanya. Mirip nama salah satu ketua KPK.
Bukan hanya namanya yang sudah kuketahui dalam dua bulan ini. Aku juga tahu dia hanya lulusan SMK, mempunyai burung nuri kesayangan bernama Nuri, penyuka warna coklat dan teh dengan dua sendok gula, pintar main gitar, hobi tidur, dan tampan. Yang terakhir adalah salah satu alasan kenapa 3 bulan sebelumnya tanpa pikir panjang aku tembak dia di sebuah warung makan pinggir jalan. Meskipun sebenarnya aku hanya ingin minta bantuannya untuk berpura-pura jadi pacarku di hadapan kakekku, setidaknya aku pikir dia meyakinkan.
Tapi yang sampai sekarang membuatku bingung adalah, kenapa saat kutembak dia dulu, dia langsung menjawab "Mau!", Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya, apalagi berkenalan.
Kebingungan yang saat kutanyakan kepadanya, dia hanya balik bertanya, "Kenapa saat aku mengembalikan amplop itu lagi ke kamu di kedai kopi 2 bulan yang lalu, dan aku nembak kamu, kamu langsung menjawab 'mau!'?"
"..."
TAMAT
0 comments:
Post a Comment