Saturday, April 10, 2010

KARTU MISTERIUS (karya Rita Asmaraningsih)

Prakata : Kali ini saya posting cerpen karya Rita Asmaraningsih. Ide cerita cukup menarik walaupun sudah klise. Penggunaan bahasa lumayan bagus. Hanya saja di akhir cerita, banyak kalimat yang membingungkan. Misalnya saja :

Sementara, di tempat lain tampak seseorang sedang gelisah. Gelisah mikirin apa reaksiku setelah membaca kartu misterius yang dikirimnya. Dia adalah Aldy. Cowok jenius di kelasku yang bertampang culun banget. Aku suka sebel dan marah-marahin dia. Soalnya aku sebel banget melihat kacamatanya yang minus tujuh. Kayak gimana gitu melihatnya.

Cerpen ini menggunakan tokoh Aku. Dari awal cerpen tokoh Aku yang bercerita, tetapi kenapa dia bisa tahu apa yang dipikirkan Aldy? Bila ingin menggunakan narasi yang menceritakan si Aldy seperti dalam kalimat : Sementara di tempat lain seseorang sedang gelisha. Gelisah memikirkan reaksi ….dst.

Maka jangan menggunakan tokoh aku, tapi gunakan sudut pandang orang lain sebagai narator tapi harus dari awal cerita. Misalnya : tokoh Aku diganti dengan menggunakan nama Susi. Contoh : Pagi yang cerah. Jalanan begitu ramai dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang. Seolah-olah ada yang mereka kejar. Kebanyakan dari mereka adalah orang kantoran. Mereka berbaur dengan anak sekolah, bergegas, berpacu dengan waktu agar tidak telat tiba di tujuan. Susi pun berbaur dengan mereka

Yang lebih aneh, di akhir paragraf kembali menggunakan tokoh Aku. Alur kisah juga dipotong secara mendadak. Tahu-tahu saja, tokoh Aku sudah tahu siapa yang mengirim kartu itu. Coba lihat dua paragraf terakhir. Belum selesai bercerita tentang Aldy, mendadak sudah diakhiri dengan kalimat ini :

Oh My God! Aku langsung lemas begitu mendengar cerita si Petty yang sepupunya Aldy. Ternyata cowok yang membuat hatiku berbunga-bunga itu diakah orangnya? Ugh... tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang lain dari dalam tubuhku. Aku semakin lemas ...!!!

Saran saya, Rita harus lebih banyak membaca cerpen karya orang lain. Pelajari alur kisah, narasi dan penggambaran emosi para tokoh agar cerpen lebih hidup. Tentu saja, harus banyak berlatih. Banyak membaca dan berlatih, cuma itu kuncinya.

KARTU MISTERIUS

Pagi yang cerah. Jalanan begitu ramai dipenuhi orang-orang yang berlalu lalang. Seolah-olah ada yang mereka kejar. Kebanyakan dari mereka adalah orang kantoran. Mereka berbaur dengan anak sekolah, bergegas, berpacu dengan waktu agar tidak telat tiba di tujuan. Aku pun berbaur dengan mereka. Mengayuh langkah dengan cepat mengejar bis kota. Seperti biasanya, bis kota yang aku tumpangi penuh sesak oleh penumpang. Namun aku tetap enjoy saja menikmati perjalanan menuju sekolah.

Akhirnya, aku tiba di sekolah setelah menempuh perjalanan yang sedikit melelahkan. Kuhapus peluh yang mengucur. Pokoknya, hari ini aku harus bersikap manis dan kalem. Soalnya, aku berulang-tahun nih ceritanya! Jadi, untuk mengenang hari jadiku ini aku ingin merayakannya dengan caraku sendiri. Menjadi anak manis selama satu hari!. Pasti teman-temanku pada mikir, aneh... kok si Ririn yang ceriwis tiba-tiba berubah jadi alim? Pasti mereka penasaran, batinku geli.

"Hei... tumben nih! Pagi-pagi elo udah nongol duluan?" sapa Mona yang menyambutku dengan mimik heran. Dia adalah ketua kelas kami.

"Emang nggak boleh?" balasku sekenanya.

"Bukan begitu. Soalnya, elo kan tukang telat! Tapi, kalo elo udah sadar diri, gue juga senang. Bosen deh gue kena marah Wali Kelas terus gara-gara elo!"

"Jadi, kamu nggak yakin nih sama aku?"

"Nggak tau tuh! Kayaknya gue nggak yakin aja kalo elo bener-bener sadar! Ah... sudahlah! Susah-susah mikirin elo, gue mau nyiapin daftar hadir dulu." Tanpa menunggu jawabanku, si Mona segera berlalu.

"Eh, udah bikin PR Bahasa Inggris belum? Nih... cepetan nyalinnya, ntar nggak keburu udah bel!" sergah Petty, teman sebangku aku, membuyarkan lamunanku tadi tentang Mona.

"Hmmm.... Thanks ya, Pet. Aku tahu kamu memang baik sama aku. Selalu setia nyontekin PR-PRmu sama aku. Tapi kali ini aku sudah bikin kok!"

"Hah?!" seru Petty kaget. Kedua bola matanya membundar tanda tak yakin. "Kamu serius dan nggak mimpi kan? Kok tiba-tiba kamu jadi lain sih?" katanya lagi dengan mimik tidak percaya.

"Memang, hari ini aku beda dengan hari-hari kemaren! Aku nggak mimpi, aku sadar lho Petty! Aku agak lain hari ini karena aku ulang tahun! Masa' kamu lupa?" sungutku pura-pura merajuk.

"Oh My God! Sorry... sorry...! Aku lupa kalo kamu tuh lagi ultah. Tapi, nggak ada kata terlambat kan buat ngucapin selamat ulang tahun? Aku nggak punya kado. Lagi krismon. Malah aku mau nagih, mana makan-makannya?"

Aku langsung mengkeret mendengar tagihannya. Kucubit lengan Petty sehingga dia menjerit-jerit kesakitan. Beberapa teman di kelas menoleh ke arah kami.
Pikir mereka, " Biasa tuh kalo Ririn dan Petty sudah ketemu pasti rame!" Tapi aku nggak mau ngeladenin Petty, kan aku mau jadi anak manis dan kalem seharian.

**

Malam harinya, setelah berkutat dengan buku-buku dan kegiatan sekolah, aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Untung lagi nggak ada PR. Aku agak nyantai malam ini. Oh ya, aku teringat sesuatu. Setumpuk kartu ucapan via pos belum kubaca. Kuteliti satu persatu nama pengirimnya. Oh, ternyata dari beberapa teman yang sering aku kirimin kartu pada saat mereka ulang tahun. Aku bermaksud menyimpan kartu-kartu itu ke dalam tas sekolah. Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari balik tas. Kuraih benda itu. Hei! Sebuah kartu ucapan beramplop merah jambu. Tidak ada nama pengirimnya kecuali tertera tulisan : dari "ME". Dari siapa ya?

Aku sibuk menerka-nerka siapa yang menyelipkannya ke dalam tasku? Si Petty kah? Ah, nggak mungkin. Anak cuek itu mana peduli pada hal-hal seperti ini. Akhirnya aku membuka amplopnya. Benar saja, sebuah kartu ucapan ulang tahun. Isinya singkat namun tak urung membuat hatiku berbunga-bunga bahagia.

"Selamat ulang tahun, Ririn. Semoga panjang umur dan tambah cantik ya. Dan mudah-mudahan kamu mau menjadi temanku yang istimewa. Mau ya?
Dari aku yang mengagumimu."

Aku tersenyum membacanya. Dari seseorang yang mengagumi aku? Siapakah orang ini? Apa ada ya... orang yang mengagumi cewek ceriwis seperti aku ini? Malam itu aku tak dapat tidur. Selain memikirkan siapa gerangan si pengirim misterius itu, aku juga merasa tersanjung lho...

**

Sementara, di tempat lain tampak seseorang sedang gelisah. Gelisah mikirin apa reaksiku setelah membaca kartu misterius yang dikirimnya. Dia adalah Aldy. Cowok jenius di kelasku yang bertampang culun banget. Aku suka sebel dan marah-marahin dia. Soalnya aku sebel banget melihat kacamatanya yang minus tujuh. Kayak gimana gitu melihatnya.

Oh My God! Aku langsung lemas begitu mendengar cerita si Petty yang sepupunya Aldy. Ternyata cowok yang membuat hatiku berbunga-bunga itu diakah orangnya? Ugh... tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang lain dari dalam tubuhku. Aku semakin lemas ...!!!

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila