Dalam salah satu artikel saya (di blog Sang Cerpenis) : FOUR SEASONS IN BELGIUM, Itik Bali, rekan blogger dari Bali yang manis tak bau amis dan tak berkumis, memberikan komentar begini : (Saya cuplik sebagian)
Novelnya semua bagus-bagus mba
aku sampe bingung milihnya
malah dengan iseng otak saya bertanya :
Mbak Fanny pinter banyak banget sih novelnya. Masih sempet juga bacanya?
Wah, kalau soal baca sih, mesti disempetin. Kalau toh nggak ada waktu banyak, setidaknya satu dua halaman surat kabar atau novel mesti saya baca. Selain memang hobi baca, bagi saya membaca merupakan Modal Utama saya dalam menulis. Dengan membaca, saya bukan saja dapat ilmu dan pengetahuan yang buanyaak, tetapi juga saya mempelajari gaya bahasa, alur kisah, penggunaan kalimat si penulis. Saya jadi mengerti tulisan seperti apa yang bagus. Bagaimana membolak-balikkan kata sehingga menjadi susunan kalimat yang indah? Bagaimana membuat kalimat yang hidup dan bisa menyentuh hati para pembaca?
So, saya suka heran bila ada orang yang mengaku bercita-cita jadi penulis, tetapi malas membaca, nggak hobi baca, cuma suka baca komik, dll. Lha..piye toh? Proses menulis itu kan tak bisa dilepaskan dari kegiatan membaca. Ibaratnya orang makan lalapan tanpa sambal terasi. Mana asik? Mana seru?
Saat kita menulis saja sudah berarti kita membaca tulisan kita kan? Selesai menulis pun, pasti kita harus baca lagi tulisan kita itu. Nah, kalau tidak suka membaca bagaimana kita bisa menilai/membaca ulang tulisan kita? Bisa-bisa, baru memeriksa sebentar sudah mengantuk.
Selain itu, sebagai penulis tentunya kita harus punya perbendaharaan kata yang sangat banyak. Bukan hanya sekedar banyak, tetapi SANGAAAAT BANYAK. Kita juga harus mengerti banyak padanan kata. Misalnya : Kata menaruh bisa ditulis diganti dengan meletakkan. Kata abu-abu diganti dengan kata kelabu, dstnya.
Nah, jika kita malas membaca, bagaimana kita bisa mendapatkan perbendaharaan kata yang seabrek itu? Lihat kamus? Wah, itu bukan solusi. Masa sebentar-sebentar buka kamus. Sangat tidak praktis. Bukankah seharusnya memori seorang penulis itu dipenuhi sekumpulan kata yang sudah dihafal dan dimengerti artinya dengan sekali jentik?
Belum lagi kalau ada kata-kata baru, mestinya sebagai seseorang yang mengaku hobi menulis HARUS rajin meng-upgrade dirinya dengan kata-kata baru, termasuk kata-kata gaul ala ABG. Terlebih lagi bagi yang suka menulis cerpen remaja seperti saya. Walau sudah nggak ABG lagi, saya kan harus mengerti bahasanya remaja masa kini, biar cerpen saya menjadi lebih ‘hidup’.
So, buat para murid, jangan pernah lupa untuk rajin membaca bila kalian ingin menjadi seorang penulis. Bila perlu, bawalah sebuah buku kemanapun kalian pergi. Sediakan waktu untuk membaca setiap hari. Walaupun mungkin cuma satu paragraf. Ocreee??
0 comments:
Post a Comment