TEMPO online 08 November 2010
DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini. Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini. Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun pada September 1948. Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri. Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa Madiun oleh Amerika. Di hadapan parlemen Belanda, sebulan setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh Charlton Ogburn, penasihat politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan ini, Amerika menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika pemerintah Indonesia mau menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Menteri Penerangan Mohammad Natsir. Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage à Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI. Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins. Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan Peristiwa Madiun. Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. Soemarsono mengaku mendengar dari mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan Renville-soal pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta menyetujui tawaran Amerika. "Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan Roem," katanya. Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi. Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak pada Hatta," kata Soemarsono. Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada," katanya. Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya, setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakan binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos," ujar Rushdy. Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia pada 9 Agustus 1948," tulis Swift. Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan. Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda. Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata. Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul. Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan, saat berbicara dengan Cochran setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta. Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis". Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta warga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya, Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno. Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red Drive Proposal.
---------------------------------
Foto atas jalan masuk ke Hotel Huize Hansje (jadi bukan Huisje Hansje) pada tahun 1935. Saya waktu bertugas di magetan, tinggal tidak jauh dari Sarangan yaitu didesa Plaosan. Hampir 3 tahun mencari bekas hotel yang namanya Huize Hansje. Rupanya sudah dihancurkan oleh TNI menjelang Agresi Belanda ke II (Desember 1948) agar tidak dipakai Belanda. Kemungkinan besar sisa bangunan juga sudah hilang. Kini Sarangan adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi turis dalam negeri atau manca negara.
0 comments:
Post a Comment