Thursday, December 16, 2010

DIAMBANG NATAL

Asal usul ide : Terinsipirasi oleh sinetron yang berkisah tentang seorang anak yang malu punya ibu seorang pelacur. Cerpen yang dibuat semasa SMA.

Dimuat di Harian Indonesia Minggu


DI AMBANG NATAL KARYA FANNY FREDLINA

Angin malam menyusup lewat jendela kamar ketika aku baru saja selesai mengetik kalimat terakhir. Sambil menahan dinginnya belaian sang bayu yang nyelonong masuk, aku membereskan kertas-kertas folio yang berserakan di atas meja kerjaku. Hm, lumayan juga capeknya. Mengetik dua cerpen ternyata memerlukan energi yang tidak sedikit. Ku gerak-gerakan tubuhku ke kiri dan ke kanan. Ugh! Pegalnya. Nah, sekarang tubuhku tidak kaku lagi. Tapi ….brrr… dinginnya! Cepat, kututup jendela kamarku.



Ya, ampun! Seru hatiku kala mataku melirik jam dinding. Sudah pukul dua. Busyet Deh! aku begadang lagi dong! Kok, nggak terasa ya? mataku …uf, ngantuk banget! Tanpa aba-aba lagi kurebahkan tubuhku di pembaringan.

Lho, aku ada di mana nih? Kenapa sekelilingku hanya ada padang rumput? Tak ada satu mahlukpun di sekitarku. Tak terdengar bunyi apa-apa. Desau angin juga tidak. Sepiii!.

Kuedarkan pandangku dengan teliti. Heran, di mana-mana rumput. Tempat apa nih? Eh, itu …sepertinya ada sebuah batu. Bukan, bukan batu! Tapi … oh, God, itu kan batu nisan! Jadi … hih!! Jangan-jangan ini tempat tinggal hantu. Mendadak, bulu kudukku berdiri.

Antara takut dan bingung aku termangu sesaat. Berdiri tegak tanpa berani melangkah meski hanya satu tapak. Tapi … batu nisan itu menarikku untuk melangkah mendekatinya. Penasaran menikamku membuatku memberanikan diri untuk berjalan ke arah nisan itu. Siapa sih yang dikubur di tengah padang sesepi ini? Suara hatiku bertanya-tanya.

Jantungku berdentam-dentam seperti musik disco. Aku sudah berdiri dekat sekali dengan nisan itu. Perlahan, dengan rasa ngeri yang amat sangat aku membungkukkan tubuh berusaha membaca nama yang tertera di batu nisan itu.

“Telah meninggal pada tgl 20 Januari 1998, Ny. Haryani Siswono”.

Oh, tidak …!! Tidak!! Pasti mataku keliru. Aku menggeleng kaget dan jatuh terduduk. Ibuku …ah, tidak mungkin!! Ini pasti perbuatan orang iseng. Ibuku masih hidup! Pasti! Tapi … bagaimana aku merasa yakin kalau ibuku masih ada di dunia ini? Sedangkan … sudah tiga tahun aku tidak berjumpa dengan dengannya. Atau …jangan-jangan ibuku memang sudah …Akh, tidak. Tidak! Ibuuu! Ibu belum mati kan? Ibu masih hidup kan? Ibu, jangan pergi dulu! Aku akan datang, bu! Aku menjerit histeris. Mataku basah oleh air mata. Aku begitu takut kalau ibu benar-benar telah tiada. Oh, tidak! Tidaaaak!!!.

“Di…Dila! Bangun Di!”.

“Ibuuu!!!”.
“Hah …oh, aku… aku…”

“Tenang, Di! Tenang…”.

Aku mengerjapkan mata. Kulihat Nidya, sahabatku yang juga teman kostku memandangku cemas.

“Kamu bermimpi, ya? Mimpi apa sih?” tanya Nidya. “Kok, sampai terisak-isak begitu?”

Mendengar pertanyaan itu, aku teringat akan mimpiku, akan nisan itu… Oh, tiba-tiba aku ingin menangis. Dan … entah mengapa aku menjadi rindu pada ibu. Rasanya sudah seabad tidak melihat beliau. Ibu, maafkan aku. Aku ….

“He, ditanya kok bengong?” Nidya menyentuh lenganku.

“Mimpiku seram sekali, Nid…” ujarku pelan. “Aku melihat nisan ibu di sebuah padang rumput yang luas”

“Nisan? Ibumu kan….”.

“Itulah, Nid. Aku takut mimpiku jadi kenyataan”.

“Ah, mimpi itu kan bunga tidur. Jangan terlalu dipikirin deh!” Nidya mencoba menghiburku.

“Tapi …perasaanku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan ibuku. Akh, aku jadi ingin pulang”.

“Pulang?”.

“Ya. Kurasa sudah saatnya aku kembali ke rumah”.

“Kamu ini lucu, Di. Dulu, ketika kamu menceritakan sebab kepergianmu dari rumah, kamu bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di …”

“Tapi dia ibuku, Nid. Wanita yang betapapun kotornya telah melahirkanku. Aku tidak pernah akan melupakan hal itu”.

“Dila…” Nidya menepuk-nepuk punggung tanganku. “Aku senang mempunyai sahabat yang sangat mencintai ibunya. Dulu, aku mengira kamu benar-benar membenci ibumu”.

“Yah… aku memang membenci ibuku. Tapi… entahlah, aku tidak mengerti mengapa aku begitu takut kehilangan dirinya? Padahal, ibu telah menghancurkan hidupku, mencoreng arang di mukaku dan mempercepat kematian ayah”.
“Sudahlah, hari hampir pagi. Kamu masih ngantuk kan? Semalam kamu pasti begadang lagi”. Nidya merebahkan tubuhnya di sampingku. “Cari duit boleh saja, tapi jangan membabi buta dong. Pake begadang lagi, “katanya mulai bawel.

Aku diam saja Kupejamkan mata dan… tidak sampai tiga detik Nidya berhenti ngoceh. Dia mendengus kesal karena mengira aku sudah tertidur kembali. Aku tertawa dalam hati. Dasar Nidya, mana mungkin aku bisa lelap lagi setelah mengalami mimpi buruk kayak tadi?.

oOo

Nidya mulai mendengkur keras. Rupanya dia langsung tertidur ketika melihatku yang pura-pura bobo. Aku membuka mata sambil beranjak bangun. Pikiranku kacau sekali. Ibu. Wajah beliau tiba-tiba saja bermain-main di benakku. Aneh, kebencianku pada ibu telah menjelma menjadi semacam kerinduan.

Hati-hati aku berjalan ke arah meja kerjaku dan duduk di kursi menatap satu per satu benda yang terletak di atas meja itu. Mesin tik, kertas-kertas folio, tip-ex, majalah dan surat kabar. Ah, betapa akrabnya aku dengan benda-benda itu. Betapa berjasanya mereka dalam hidupku. Lalu pandangku terhenti pada sebuah foto keluarga beberapa tahun silam. Foto itu sengaja kuletakkan di atas meja ini karena setiap melihatnya, aku selalu mendapat ilham untuk kurangkai menjadi sebuah cerpen. Ya, melihat betapa kebahagiaan terpancar di foto itu senantiasa menggoreskan pedih di hati, yang akhirnya membuatku ingin mencurahkan apa yang terpendam di kalbu ini.

Drama kelabu 10 tahun lalu pun berputar kembali di benakku. Nostalgia silam yang telah lama kukubur, kini tergali dan…aku tak sanggup mencegahnya.

Berawal dari ayah yang menderita penyakit TBC sehingga harus tinggal di kamar tanpa dapat bekerja lagi. Sementara, kami putra-putinya yang berjumlah setengah lusin butuh biaya untuk sekolah. Lalu ibu mulai berjualan gado-gado untuk mencari sesuap nasi. Dan, kami anak-anaknya membantu dengan berbagai cara. Jualan koran adalah pekerjaan kakakku, Didit. Menjadi penyemir sepatu dilakukan oleh Amir, kakaku yang nomor dua. Sedang yang lain termasuk aku, karena masih kecil hanya membantu ibu berjualan.

Beban hidup yang kian berat rupanya menggoyahkan ketabahan ibu. Tiba-tiba saja, ibu berhenti berjualan gado-gado. Sebagai gantinya beliau bekerja di kedai minum Mpok Mimin. Entah apa yang dikerjakan ibu di sana aku tidak tahu. Aku masih terlalu muda untuk memahami tingkah laku orang dewasa. Yang aku tahu, ibu sering pulang pagi. Dan, selalu dengan seorang laki-laki yang setengah mabuk. Mulut ibu sering tercium bau bir dan rokok yang membuatku mual bila menciumnya.

Aku yang masih berusia sembilan tahun tidak peduli dengan pekerjaan ibu. Malah aku senang bila ibu pulang hingga pagi, karena itu berarti ibu membawa uang dan oleh-oleh untukku. Kak Amir dan kak Didit serta adik-adikku senang juga, sebab mereka pun mendapat jatah uang jajan yang lumayan banyak.
Tapi sejak saat itu penyakit ayah semakin parah. Hubungan ayah dan ibupun mulai dibumbui pertengkaran-pertengkaran. Tampaknya ayah tidak senang dengan pekerjaan ibu. Sedangkan ibu ngotot mempertahankan profesinya. Aku dan kedua kakakku menjadi tidak kerasan tinggal di rumah. Kami tidak tahan mendengar lengkingan marah ibu. Apalagi menyaksikan piring-piring beterbangan di sekitar kami.

Dan, ketika usiaku mulai memasuki masa akil baliq, aku sering diejek kawan-kawan sepermainan. Mereka bilang ibuku genit suka gonta-ganti pacar. Bahkan salah seorang wanita tetangga rumahku pernah berkata di depanku.

“Dila, mulai sekarang elu jangan main sama anak gue, ya? Tahu nggak ibu lu tuh hostes! Gue ngeri nanti si Tini ikut-ikutan genit kaya ibu elu. Na, elu aja sudah ikut-ikutan genit pake keriting rambut segala! Ih, amit-amit deh! Tini! Sini lu! Awas ya main-main sama anak hostes lagi!.”

Waktu itu aku merasa sakit hati bukan kepalang. Betapa tidak, hanya karena pekerjaan ibuku, aku yang tidak tahu apa-apa harus menelan akibatnya. Dan, rambutku yang dikeriting itu. Ah, itu bukan kemauanku. Ibu yang membawaku ke salon kecil. Katanya, aku sudah besar harus bisa berdandan. Ya, aku menurut saja.

Tahun berganti tahun. Setelah tamat SMA aku berusaha mencari kerja. Selama itu, semua ejekan orang terhadapku kusimpan rapat. Aku mencoba untuk tabah. Sampai suatu saat aku mulai tertarik dengan seorang pemuda. Ary, dia tinggal tidak jauh dari kedai minumnya mpok Mimin. Aku bertemu dengannya ketika ingin memberitahukan kepada ibu tentang si bungsu Nina yang mendadak buang air besar berkali-kali. Karena ibu sedang pergi dengan tamunya, aku pun pulang dengan perasaan bingung.

Ary lah orang yang menolongku. Dengan ramah dia memperkenalkan diri. Kebetulan, dia ada di kedai minum itu sehingga mendengar semua pembicaraanku dengan Mpok Mimin. Anehnya, saat itu aku percaya saja waktu dia bermaksud membawa Nina ke dokter. Mungkin karena senyumnya yang simpatik atau… karena aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Yang pasti sejak itu hubungan kami berlanjut menjadi kisah asmara.

Tapi itu tak lama. Kebahagiaan dalam meniti cinta pertama hancur berkeping-keping, justru karena ulah ibuku. Ayah Ary ternyata salah seorang langganan ibu. Ketika ibu Ary mengetahui hal ini, aku dimakinya dengan sadis. Aku dianggap ingin menjerat Ary seperti ibu telah menjerat ayah Ary. Menyakitkan! Lebih menyakitkan setelah Ary sendiri memutuskan tali kasih itu.Ternyata dia hanya manis di mulut. Cintanya begitu mudah lenyap hanya karena hasutan ibunya.

Namun aku tak bisa menyalahkan Ary. Ibuku! Dialah sebab semua ini! Kasih sayangku pada beliau berbalik menjadi benci. Ya, aku benci ibuku. Dia telah melenyapkan kebahagiaanku bersama Ary. Merasa tidak tahan lagi, aku pun minggat dari rumah. Itu terjadi setelah ayah meninggal beberapa hari. Ayah juga menderita karena ibu. Karena jabatan ibu yang hina itu. Dan benciku pada ibu kian melangit.
Beruntung, aku punya sahabat sebaik Nidya. Dialah yang kucari ketika aku minggat dari rumah. Kepadanya kuceritakan semua problem keluargaku. Dia pula yang dengan suka rela menampungku di rumahnya. Bahkan, aku diberinya modal berupa mesin tik dan segala macam keperluan untuk mengarang. Dia tahu aku butuh pekerjaan dan tidak mungkin terus menerus menumpang hidup padanya, maka dia mengusulkan agar aku menjadi penulis saja. Karena rasanya untuk mencari pekerjaan lain tidaklah mudah.

Pada mulanya, aku ragu dengan kemampuanku di bidang menulis. Tapi Nidya mengingatkanku bahwa ketika masih di SMP aku pernah iseng-iseng menulis cerpen dan mengirimnya pada sebuah majalah remaja. Ternyata dimuat. Sayang, situasi keluarga yang kurang harmonis tidak mendorongku untuk menekuni bidang menulis. Dan, dalam keadaan yang mendesak aku dianjurkan Nidya menjadi penulis.

Maka mulailah kubuka lembaran hidupku sebagai seorang penulis. Ajaibnya, hampir semua cerpenku selalu dimuat. Akupun mulai mencintai pekerjaan ini. Semakin hari semakin banyak ide yang muncul dan kutuangkan dalam cerita. Honor yang kuperoleh tentu saja kugunakan untuk menghidupiku. Dan ketika orang tua Nidya bertugas ke Amerika, Nidya memilih tetap sekolah di Indonesia. Dia melanjutkan kuliahnya di Bandung sehingga terpaksa harus indekost. Aku diajaknya serta dan kami menempati satu kamar kost yang cukup luas, karena dengan demikian aku hanya membayar separuh dari sewa kamar.

Begitulah, tiga tahun kujalani hidup hanya dengan ditemani seorang sahabat. Dan sekarang mendadak ada kerinduan timbul di relung hatiku. Ya, baru kusadari betapa selama ini aku seperti orang yang tidak mengenal siapa ibuku, siapa saudara-saudaraku. Aku begitu sakit hati dan benci pada ibu, pada nasib yang tidak ramah. Sehingga bagaikan orang lupa ingatan, kucurahkan segenap perasaanku, penderitaanku di atas kertas folio. Aku menulis, menulis dan menulis tanpa lelah. Aku tak mau tahu bagaimana ibuku sepeninggalku. Bagaimana nasib adik-adikku dan kakak-kakakku? Aku egois. Kini….aku menyesal sekali. Aku….

“Dilaaa!!!” Nidya berteriak di telingaku. Aku tergeragap.

“Eh..apa, Nid? Kamu tuh bikin aku kaget aja.” Ujarku.

“Kamu tuh ya…dipanggil berkali-kali tidak menjawab.” Nidya memandangku dongkol.

“Sorry Nid. Aku melamun sih,” Ujarku tersenyum.

“Ingat mimpimu?” tanya Nidya sambil melipat selimut.

“Aku mengangguk, “ Hari ini juga aku akan pulang ke rumahku”, kataku.

“Secepat itu?” Mata Nidya menatapku kaget. Sekali lagi aku mengangguk.

“Kamu akan merayakan natal di sana?” tanya Nidya.

Natal? Oh, Tuhan…aku ingat kini betapa sepinya hari natalku selama ini. Walaupun ada Nidya, tapi aku menolak pergi ke gereja. Aku lebih suka menghabiskan hari natalku di kamar dengan ditemani lagu-lagu rohani. Bahkan, berdoa pun aku enggan. Yah, aku sadar kini betapa jauhnya jarakku dengan Tuhan. Aku seperti lupa siapa penciptaku. Oh, aku berjanji Natal tahun ini akan kuubah perjalanan hidupku agar lebih dekat padaNya. Aku merasa sangat berdosa.

“Melamun lagi?” Nidya menepuk pipiku pelan.

Aku diam saja. Kutatap kalender yang tergantung di sudut kamar. Tanggal 24 Desember. Astaga! Malam natal…hari ini malam natal. Cepat benar…

“Nidya, temani aku ke stasiun ya? ”

“Ke stasiun? Jadi …kamu benar-benar ingin pulang?”

“Ya, aku ingin melihat ibu dan saudara-saudaraku. Aku ingin merayakan natal bersama mereka. Aku ingin minta maaf pada mereka terutama ibu. Aku ingin… Oh, Nid….” Kupeluk Nidya, “Begitu banyak yang terpendam di hatiku, begitu banyak dosaku pada ibu. Aku sadar, Nidya. Seburuk apapun wanita itu, dia tetap ibuku. Ibu yang telah melahirkan dan membesarkanku. Aku menyesal…”

“Dila, sudah Di.” Suara Nidya memotong ucapanku. “Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Semuanya sudah terjadi. Yang penting, kemasi pakaian dan barang-barang yang kamu bawa pulang. Kamu berangkat siang hari ini kan?”.

Aku mengangguk. Dengan lesu, aku bangkit menuju jendela. Sinar surya menerobos masuk ketika tirai kusibak. Dan…sayup-sayup, terdengar tembang sendu dari radio milik tetangga sebelah.

Silent night, holy night
All is calm, all is bright
Round yon Virgin Mother and child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace…
Sleep in heavenly peace


Setetes air mata lalu jatuh membasahi pipiku.

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila