PENDAHULUAN
Terlepas dari perbedaan pokoknya, Levelers dan Harrington ikut andil dalam menghapuskan kondepsi kuno tentang hak alamiah dan menyetujui bentuk baru. Dipengaruhi oleh pandangan egoistik pada masa itu, keduanya cenderung menekankan hak-hak individu dengan mengabaikan pandangan tradisional tentang supremasi kebaikan bersama (common good). Levelers memandang masyarakat sipil sebagai kumpulan individu-individu yang merdeka yang bekerjasama, bukan karena rasa kesetiakawanan atau nasib bersama tetapi karena motif-motif kepentingan diri sendiri. Demikian juga Harrington merasa bahwa pemerintah seharusnya dibentuk untuk melindungi egoisme yang tercerahkan (the enlightened egoism). Pandangan-pandangan ini terjalin menjadi satu dalam teori individualisme politik yang lebih formal dan arttikulatif dalam justifikasi teoritis Locke terhadap penyelesaian konstitusional tahun 1688.
Negara dalam tinjauan pilosofis adalah struktur pemerintahan yang mempunyai satu esensi dasar tujuan yakni terciptanya social welfare (kesejahteraan sosial). Namun dalam perkembangannya, cita-cita luhur untuk mensejahterahkan rakyat, tidak mampu sepenuhnya dijalankan oleh negara. Kondisi ini bahkan nampak pada semua sistem kenegaraan yang pernah ada. Sejarah misalnya telah mencatat peristiwa penting revolusi Perancis (1789), revolusi yang membawa perubahan mendasar dari sistem kenegaraan monarchy (kerajaan) menjadi monarchy constitutional (semi parlementer). Terjadinya perubahan sistem kenegaraan di Perancis ternyata hanya menghadirkan penguasa baru tanpa membawa perubahan signifikan terhadap upaya menempatkan social welfare sebagai tujuan utama. Contoh lain yang dapat dijadikan sebagai sebuah bentuk kegagalan negara adalah bubarnya Uni Soviet (1990). Negara yang dibangun atas dasar ideology komunis terbesar tersebut ternyata tidak mampu bertahan lama.
BIOGRAFI
John Locke lahir di Wrington Kota Somerset Inggris tahun 1632 (meninggal tahun 1704). Bapaknya seorang pengacara dan tuan tanah. Locke belajar di Oxford tempat ia memperoleh gelar BA dan M.A, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di bidang ilmu kedokteran pada tahun 1667 dan menjadi sekretaris dan dokter pribadi Earl Shaftesbury pertama, pemimpin partai Whing. Selanjutnya Locke menduduki beberapa jabatan publik penting yang memberikannya kesempatan untuk mengamati secara langsung realitas dan konspirasi politik di negaranya. Karena gangguan kesehatan, Locke pindah ke Perancis selama empat tahun, dan pada saat itu beliau mengembangkan pemikiran filsafat politiknya. Setelah kembali dari Perancis, Shaftesbury terlibat makar menentang raja dan terpaksa meninggalkan negara. Meskipun Locke tidak terlibat dalam konspirasi itu, namun ia tetap dituduh dan terpaksa mengasingkan diri di Holland. Memasuki awal tahun 1689, di saat kasus makar yang melibatkan Shaftesbury selesai, ia kembali ke Inggris dan pada tahun 1690 Locke menerbitkan karya utamanya tentang politik, Two Treatises of Government, sebuah karya yang sering disebut sebagai ‘Bibel’ liberalisme modern, menguraikan tentang perubahan masyarakat sampai terbentuknya sebuah negara .
NEGARA YANG TERBATAS
Keadaan Alamiah (State Of Nature)
Sebagaiman Hobbes, pendahulunya, Locke menyandarkan kewajiban politik pada kontrak sosial. Ia memulai risalahnya dengan filsafat politik dengan menempatkan keadaan alamiah asli yang ia sebut sebagai komunitas umat manusia alamiah yang besar. Kondisi ini, demikian ia menggambarkan, kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akal tetapi tanpa otoritas politik. “orang-orang yang hidup bersama menurut akal tanpa ada kekuasaan tertinggi di atas bumi yang menghakimi mereka berada dalam keadaan alamiah”. Dalam masyarakat pra-politik ini orang bebas, sederajat, dan merdeka.
Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, ia bukan keadaan kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat anarki yang beradab dan rasional. Tidak sebagaimana konsepsi Hobbes, keadaan alamiah Locke bukanlah keadaan perang, perdamaian ada, meskipun ia adalah perdamaian yang tidak kokoh. Lebih dari itu, keadaan ini bukannya tidak mempunyai hukum. Kebebasan manusia dan tindakan manusia diatur oleh hukum alam, yang bagi Locke berartu hukum yang “riil” dan bukan semata-mata kualitas yang dimiliki manusia untuk membentuk perdamaian sebagai upaya untuk mempertahankan diri (self preservation). Keadaan alamiah mempunyai hukum alam yang mengaturnya, yang mengikat setiap orang, dan akal, yang merupakan hukum itu, mengajarkan semua umat manusia siapa yang akan berunding, bahwa mereka semua adalah sederajat dan merdeka, tidak boleh ada orang yang menyakiti orang lain dalam kehidupan, kesehatan, kemerdekaan, atau miliknya.
John Locke mengemukakan bahwa suatu pemufakatan yang dibuat berdasarkan suara terbanyak dapat dianggap sebagai tindakan seluruh masyarakat itu, karena persetujuan individu-individu untuk membentuk negara, mewajibkan individu-individu lain untuk menaati negara yang dibentuk dengan suara terbanyak itu. Negara yang dibentuk dengan suara terbanyak itu tidak dapat mengambil hak-hak milik manusia dan hak-hak lainnya yang tidak dapat dilepaskan.
Bagi Locke, keadaan alamiah ditafsirkan sebagai suatu keadaan di mana manusia hidup bebas dan sederajat, menurut kehendakk hatinya sendiri. Keadaan alamiah ini sudah bersifat sosial, karena manusia hidup rukun dan tentram sesuai dengan hukum akal (law reason) yang mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan dan milik sesamanya.
Locke mengakui terdapat beberapa cacat serius dalam sistem sosial dalam yang tergantung pada pelaksanaan sendiri dari hukum alam tersebut. Pertama, terdapat kebutuhan akan hukum yang mapan, diketahui, yang duterima dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi standar benar dan salah, dan tindakan bersama untuk memutuskan semua pertantangan di antara mereka. Jadi, dalam negara pra-politik hukum alam tidak mempunyai ketetapan yang pasti. Kedua, terdapat kebutuhan akan hakim yang dikenal dan adil dengan otoritas memutuskan semua perselisihan menurut hukum yang baku.
Dalam keadaan alamiah setiap individu sederajat, baik mengenai kekuasaan dan hak-hak lainnya sehingga penyelenggaraan kekuasaan dan yurisdiksi dilakukan oleh individu-individu sendiri, berdasarkan asas timbal balik (reciprocity). Setiap individu adalah hakim dari perbuatan dan tindakannya. Dasar kontraktual dari negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan seorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
Jika Hobbes hanya merekonstruksi satu jenis perjanjian masyarakat saja, yaitu pactum subjections, maka Locke mengajukan kontrak itu dalam fungsinya yang rangkap. Pertama, pactum subjections dan pactum unionis. Menurut Locke, fungsi utama masyarakat ialah untuk menjamin dan melindungi hak-hak kodrat tersebut. Dengan konstruksi demikian ini, Locke menghasilkan negara yang dalam kekuasaanya dibatasi oleh hak-hak kodrat yang tidak dapat dilepaskan. Dengan kata lain, ajaran Locke menghasilkan negara konstitusional dan bukan negara absolut tanpa batas. Dengan teorinya ini, Locke patut disebut sebagai “Bapak Hak-Hak Asasi Manusia”.
Kontrak Sosial
Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidak tentraman dan ketidak amanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Meskipun mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam keadaan alamiah, berbagai kekurangan dari kondisi tersebut mendorong manusia untuk bersatu dalam masyarakat politik. Karena manusia adalah bebas, sederajat dan merdeka. Berarti bahwa tidak ada orang tanpa persetujuannya bisa dibenarkan tunduk pada otoritas politik orang lain. Dan untuk menghukum orang-orang yang menganggu masyarakat tersebut, maka yang dibutuhkan adalah masyarakat politik, dimana setiap orang menyarahkan kekuasaan alamiahnya kepada masyarakat tersebut.
Locke mengemukakan beberapa sifat dari kontrak sosial: Pertama, prinsip menggerakan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran tetapi keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Kedua, individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang substansil, tetapi hanya hak untuk melaksanakan hukum alam. Ketiga, hak yang diserahkan individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu tetapi kepada seluruk komunitas. Kontrak adalah perjanjian untuk membentuk satu masyarakat politik. Masyarakat politik adalah pembuat dan sekaligus pewaris keputusan ini. Sebagai pembuat, ia menetapkan batas-batas kekuasaan, sebagai pewaris, ia adalah penerima manfaat yang berasl dari pelaksanaan kekuasaan tersebut
Locke mengutamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral sebagai esensi dari terbangunnya kontrak sosial, bahkan menempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal ini menegaskan bahwa Locke memandang hak asasi sebagai referensi utama dalam menetapkan sebuah aturan. Kehadiran negara sebagai lembaga yang disepakati untuk melegitimasi (mengkonstitusionalkan) hukum alamiah tersebut. Meskipun konsep ini masih bersifat umum, akan tetapi konsep ini diyakini merupakan mata air inspirasi tumbuhnya sistem demokrasi di negara-negara di dunia.
Pemerintahan yang Terbatas
Deskripsi Locke tentang perjanjian sosial (kontrak sosial) menjadi landasan yang prinsipil dan filosofis dalam melihat proses pembentukan sebuah negara. Locke bahkan menegaskan tentang pentingnya memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik . Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan.
Locke mempunyai empat pembatasan khusus dari kekuasaan legislatif:Pertama, Ia wajib mengikuti hukum alam yang menjadi hukum abadi bagi semua orang, baik pembuat hukum atau orang lain. Kedua, Ia harus bertindak sesuai dengan hukum dan tidak boleh sewenag-wenang. Ketiga, Ia tidak bisa menetapkan pajak terhadap harta milik rakyat tanpa persetujuan mereka. Keempat, Ia tidak mendelegasikan kekuasaan membuat hukum kepada pihak lain.
Gagasan Locke tentang kedaulatan rakyat merupakan ide kritis untuk menciptakan iklim negara yang demokratis. Perkembangan untuk menempatkan rakyat sebagai subyek terpenting dalam negara melalui konsep kedaulatan rakyat masih belum mampu lepas dari kekuasaan negara yang bersifat mutlak. Mereka yang memegang jabatan atau duduk di kursi kekuasaan masih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Sepanjang sejarah, negara hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa dan menduduki posisi dominan dari pada warga negaranya. Bahkan, justru lebih banyak mengabaikan hak-hak dasar warganya, atas nama negara. Bukan hanya eksekutif, penyalahgunaan kekuasaan juga terjadi di kalangan legislatif dengan beragam motif. Dalam perkembangannya di masa demokrasi modern, tujuan untuk menciptakan negara yang demokratis disadari tidak dapat digantungkan pada para penguasa semata. Kedaulatan rakyat masih memerlukan kajian yang mendalam, sehingga esensi dari kontrak sosial dapat lebih optimal berjalan dalam sebuah negara. Hal ini dapat tercermin pada keberadaan institusi partai politik yang keberadaannya ambivalen dengan kekuasaan. Yang terjadi, justru tawar menawar kekuasaan dan intrik politik antara eksekutif dan legislatif, dan akhirnya mengabaikan kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara.
Tujuan Pemerintah
Terkait erat dengan masalah kekuasaan yang terbatas adalah masalah tujuan pemerintahan. Ia yakin bahwa perlindungan milik adalah tugas pokok, jika bukan satu-satunya dari negara. Locke menjelaskan bahwa ketika ia menggunakan istilah property (milik), yang ia maksudkan adalah kehidupan, kebebasan dan estate. Locke tidak membedakan antara kedudukan relatif dari hak milik dan nilai-nilai manusia. Kedua kategori ini ditempatkan pada tempat yang sama, ia hanya sekilas menyinggung konsepsi tradisional tentang hirarki nilai dengan tingkatan hak yang berbeda.
Sebagaimana kebanyakan pengikut Whigs pada masanya, Locke bukanlah pendukung laissez faire tetapi ia adalah mercantilist. Ia tidak yakin bahwa hubungan ekonomi akan seimbang dan menyesuaikan diri dangan sendirinya. Ia menganggap bahwa beberapa regulasi oemerintah mengenai perdagangan adalah perlu untuk melindungi dan menopang kepentingan perdagangan. Meskipun demikian, fungsi pemerintah pada dasarnya bersifat negatif dari pada positif. Locke berbicara tentang kebaikan bersama, tetapi penjelasannya tentang masalah ini bersifat ambigu dan tidak memuaskan, dan penekanannya hampir sepenuhnya pada insiatif individu dan hak individu, dengan mengabaikan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama.
Kekuasaan Mayoritas
Jauh sebelum abad ke-18, prinsip bahwa pemerintahan harus didasarkan persetujuan rakyat sudah tercakup dalam pemikiran Barat. Locke menjadikan teori ini sebagai landasan pokok dalam pemecahannya terhadap masalah kewajiban warga negara. Setelah perjanjian sosial tercapai, unsur persetujuan individu hilang dan digantikan dengan kehendak mayoritas, kemudian Locke berargumentasi bahwa hak-hak individu tidak mengalami ancaman serius dalam kekuasaan mayoritas dibandingkan dalam absolutisme monarki, sebuah argumen yang didukung oleh pangalaman sejarah.
Meski Locke bersiteguh atas prinsip kekuasaan mayoritas, tetapi dijelaskannya bahwa suatu pemerintahan tidaklah memiliki kekuasaan tanpa batas. Mayoritas harus tidak merusak hakikat hak-hak manusia. Suatu pemerintahan hanya dapat dibenarkan merampas hak milik atas perkenan yang diperintah. (Di Amerika, gagasan ini dinyatakan dalam slogan, "Tidak ada pajak tanpa adanya perwakilan.")
Hukum Alam
Jika kekuasaan sipil dibatasi oleh hukum, hasil logis dan akhir dari filsafat politiknya pasti tergantung pada pemahamannya terhadap watak hukum ini. Perlu diingat bahwa hobbes memandang hukum alam sebagai konklusi atau teorema semata yang berakhir pada self-preservation. Hukumini tidak mengikat sampai ia dijadikan hukum sipil oleh kekuasaan yang berdaulat. Locke sebaliknya, berpendirian bahwa terdapat ketentuan moral tertentu yang ditetapkan oleh tuhan yang bersifat Valid apakah diketahui pemerintah atau tidak.
Satu-satunya perbedaan pentiang dan krusial antara Locke dan Hobbes dalam pendekatan mereka pada negara adalah pendirian Lovke menyangkut watak yang mengukat dari hukum alam yang terlepas dari hukum sipil. Pendekatan Locke terhadap pengetahuan manusia, lebih khususnya pada kemampuan manusia untuk mengetahui hukum moral sangat dibatasi. Empirisme Locke yang kaku menyebabkannya menolak setiap habitus prinsip-prinsip moral dalam diri manusia dan menolak bahwa hukumalam bisa diketahui dari kecenderungan alamiah manusia pada kebenaran dan kebajikan.
Organisasi Pemerintahan
Teori sebab akibat yang bersifat praktis, meskipun tidak menyeluruh dan bersifat umum, dirancang untuk membangun pemerintahan yang konstitusional melalui pembentukan lembaga-lembaga pengawas konstitusional menghadapi kekuasaan yang arbitrer. Garis besar pemikirannya adalah keyakinan bahwa pemerintahan masyarakat politik harus dibangun sedemikian rupa sehingga paling tidak ia tidak bisa melakukan penindasan terhadap warga negaranya. Locke bermaksud mengedepankan karangka kerja ideal bagi organisasi pemerintahan dalam penyelesaian konstitusional tahun 1688. Penyelesaian ini menempatkan Parlemen pada kedudukan tertinggi, namun tetap mempertahankan raja sebagai eksekutif utama dengan hak-hak prerogatif dan kekuasan khusus.
Locke berada dalam satu barisan teoris yang berpendapat bahwa salah satu kelemahan manusia adalah kecenderungan orang-orang yang berkuasa untuk meraih kekuasaan yang lebih besar. Legislatif dalam skema pemerintah Locke dari waktu kewaktu diplih oleh suara rakyat. Namun demikian, kekuasannya dibatasi oleh kebaikan umum masyarakat, jika mengabaikannya rakyat mempunyai hak untuk menolaknya. Meskipun lembaga legislatif dipilih oleh rakyat, tidak diperlukan adanya hak pilih yang merata, Locke tidak lebih demokrat dibandingkan anggota Whig lain pada jamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ubaidillah, A. 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Ham, dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat. 2001, Jakarta: PT Rremedia Pustaka
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik. Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern. 2005. Pustaka Pelajar
0 comments:
Post a Comment