Oleh : Ubaydillah, AN
Kemenangan Diri Itu Kunci
Istilah kalah-menang ini sangat kerap kita munculkan dalam praktek hubungan dengan orang lain (relationship). Hubungan di sini bisa termasuk hubungan dalam wilayah publik (mitra bisnis, rekan profesi, dosen, dst) dan hubungan dalam wilayah privat (suami-istri, keluarga, sahabat, dst). Bentuknya pun bisa berupa materi dan non materi, bisa dalam bentuk hasil atau dalam bentuk proses.
Dorongan untuk mendapatkan kemenangan itu, kalau menurut Horney (Our Inner Conflict, 1945), termasuk salah satu kebutuhan manusia atau termasuk naluri bawaan dari semua orang. Menurutnya, kebutuhan manusia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga:
1. Manusia butuh bergerak mendekati orang lain untuk mendapatkan cinta, penerimaan, kasih sayang, penghormatan, dst
2. Manusia butuh bergerak menjauhi orang lain untuk mendapatkan kebebasan, kemandirian, ketenangan, dst
3. Manusia butuh bergerak menentang orang lain untuk menunjukkan kekuatan, kemenangan, atau kehebatan, dst
Namun begitu, namanya juga bawaan. Bawaan itu adalah potensi. Potensi itu bahan baku. Karenanya, bisa membahayakan dan bisa menguntungkan. Ini tergantung bagaimana potensi itu diolah atau "dididik". Seseorang yang saya kenal, sebut saja namanya A, menyadari bahwa hubungannya dengan orang lain itu akhirnya kalah, meskipun dulunya ia selalu menganggap itu kemenangan.
Sewaktu masih muda, si A ini merasa punya temparemen tinggi dan perfeksionis. Dengan darah mudanya, ia selalu punya standar bahwa orang lainlah yang harus mengerti siapa dirinya. Ditambah dengan penguasaan skill nya yang tinggi, standar itu sangat sempurna untuk diterapkan. Sedikit saja menemukan ketidakberesan pada orang lain, langsung keluar ultimatum. Ini membuat dia sering ganti mitra usaha dan juga sering pindah pekerjaan.
Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata ia berubah pikiran. Kesimpulannya, kemenangan yang ia agungkan dulu, ternyata kurang bisa memberikan kualitas hubungan yang bertahan lama. Dorongan untuk selalu harus menang itu malah menyebabkan kekalahan di kemudian hari. Bentuknya antara lain: relasinya tidak banyak, relasinya hanya bersifat sementara, kurang memiliki pendukung yang loyal, dan seterusnya.
Dari sejumlah kasus serupa yang kerap kita jumpai, kemenangan itu selalu nisbi dan relatif, sejauh itu kita pahami sebagai padanan atas kekalahan orang lain. Kenapa? Selain kerap didorong oleh hawa nafsu, kemenangan dengan mengalahkan orang lain itu akan memunculkan perlawanan. Ini karena tidak ada manusia yang mau dikalahkan. Karena itu, doktrin kesatriaan mengajarkan bahwa sampai pun kita harus menang melawan orang lain, hendaknya jangan sampai membuat harga diri orang lain jatuh.
Supaya kemenangan itu tidak relatif dan tidak nisbi, ajaran kearifan di dunia ini mengajak kita memahami kemenangan bukan seperti itu. Kemenangan itu jangan dipahami sebagai padanan atas kekalahan orang lain, terutama dalam praktek hubungan sehari-hari, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas diri itu adalah bentuk kemenangan yang kita raih dengan menguasai naluri bawaan untuk menang itu supaya tidak membuat kita kalah, nantinya.
"Semakin banyak orang lain yang berhasil kita kalahkan,
seringkali malah membuat posisi kita semakin lemah"
Beberapa Ciri Kemenangan Diri
Orang yang menang atas dirinya itu bukanlah sosok yang tidak pernah maju ke adu kalah-menang dalam hubungan. Orang yang menang atas dirinya itu bukanlah sosok yang terlalu amat baik sehingga mau dijadikan korban oleh orang lain. Orang yang menang atas dirinya itu bukanlah orang yang tidak pernah marah sama orang lain.
Perlu kita ingat bahwa kemenangan diri itu adanya di level hubungan intrapersonal antara kita dan diri kita. Bahwa ada orang lain yang membuka pintu adu kalah-menang, ada orang lain yang merugikan dan menguntungkan, ada orang lain yang perlu dihormati atau dimarahi, itu semua adanya di level hubungan interpersonal antara kita dengan orang lain.
Intinya, orang yang menang atas dirinya itu tetap melakukan hal-hal yang manusiawi atau tetap menghadapi realiatas hidup yang muncul dari konsekuensi hubungan dengan orang lain. Hanya saja, bedanya adalah:
* Pertama, menang atas diri itu berkonsentrasi pada upaya untuk memperjuangkan visi, merealisasikan tujuan jangka pendek atau jangka panjang, atau mengaktualisasikan potensi guna meraih prestasi. Misalnya saja kita menghadapi pertarungan office politic yang sudah sampai pada tingkat saling menjatuhkan. Sejauh kita tetap bisa mengkonsentrasikan pikiran dan tindakan pada visi, tujuan, dan aktualisasi, maka kemenangan sudah kita raih.
* Kedua, menang atas diri itu mempertahankan nilai-nilai yang kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatannya sudah tidak diperdebatkan lagi karena memang sudah mutlak. Dalam beberapa kasus, ini membutuhkan pengorbanan dan seringkali tampak seperti kekalahan. Karena itu, dalam ajaran agamanya, kalau kita malah sial dengan mempertahankan nilai, namanya bukan musibah, melainkan ujian (bala'). Ujian ini adalah moment untuk menguji apakah kita akan commit dan sabar atas inisiatif kita atau hanya setengah-setengah. Kerap ada orang yang mengalami susahnya mencari pekerjaan yang bersih setelah resign atau tobat dari pekerjaan dulu yang kotor. Jika orang ini kalah atas dirinya, dia akan mudah kembali lagi ke pekerjaan lama yang kotor itu. Tapi jika menang, dia akan berhasil melewati ujian. Karena sering ada ujian dan kekalahan ini, makanya Tuhan mewanti-wanti agar jangan sampai orang yang mempertahankan nilai itu tertipu oleh realitas yang temporer dan superfisial.
* Ketiga, menang atas diri itu menyelaraskan kepentingan pribadi, subyektivitas pribadi, atau egoisme hawa nafsu pribadi pada nilai-nilai, ajaran, atau akal sehat. Jadi, kita menomorsatukan nilai sebelum kepentingan. Semua orang pasti punya kepentingan pribadi sebab inipun ada gunanaya. Bedanya, ada yang ditundukkan pada nilai, ajaran, atau akal sehat dan ada yang mengabaikan semua itu. Bukti ketundukan itu sama sekali tidak bisa diukur dari pernyataan kita di depan orang lain, di tempat meeting, atau di depan press, melainkan dari pembuktian yang kita lakukan atas diri kita. Meminjam istilahnya Covey, bukti ketundukan itu bisa dibedakan apakah ketundukan itu pada "Apa" (what is the right) atau pada "Siapa" (pribadi atau lembaga). Kalau kita sudah berhasil tuduk pada "apa" (nilai kebenaran yang sudah tidak diperdebatkan lagi), berarti kemenangan kita semakin bagus.
* Keempat, menang atas diri itu menghindari cara-cara yang merugikan atau yang mencelakakan, baik untuk diri sendiri atau orang lain. Kalau kita kehilangan engagement, motivasi, dan ide-ide perbaikan di kantor gara-gara melihat ketidakadilan, meskipun ini manusiawi, namun sejatinya kita telah kalah oleh diri kita. Mestinya, sambil tetap berupaya menyelesaikan ketidakadilan, kita pun tetap melakukan hal-hal positif untuk diri kita, minimalnya. Menang atas diri itu sebetulnya bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang harus kita tempuh agar bisa mencapai tujuan. Tujuannya adalah memperjuangkan visi, mempertahankan nilai, atau pengembangan diri. Artinya, kalau proses meraih tujuan ini terhenti gara-gara penyimpangan dan pelanggaran orang lain, berarti tujuan dari kemenangan diri itu tidak tercapai.
* Kelima, menang atas diri itu mengambil dan mengeluarkan. Kita akan menang apabila berhasil mengambil pelajaran dari apapun yang menimpa kita untuk diolah menjadi benefit atau profit yang bisa kita keluarkan dari diri kita. Dengan cara ini berarti perbaikan demi perbaikan akan terus muncul.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kemenangan-diri itu punya efek positif bukan semata pada wilayah hubungan intrapersonal, melainkan juga pada domain hubungan interpersonal. Efek positif itu bisa muncul entah dalam rangka untuk mengajak atau menghadapi orang lain sebagai lawan. Misalnya kita ingin mengajak pasangan kita (suami istri) untuk merayakan ulang tahun anak di rumah. Kalau yang kita munculkan itu selera pribadi, lebih-lebih egoisme pribadi, biasanya akan menghadapi perlawanan atau memunculkan selera tandingan.
Tapi kalau yang kita munculkan itu adalah keberpihakan pada nilai-nilai kesederhanaan, kemaslahatan, atau nilai apapun, biasanya itu relatif lebih enak diterima dan lebih kecil potensi munculnya selera tandingan. Tentu saja perlu didukung dengan cara-cara yang baik dalam mengkomunikasikan keberpihakan itu. Bahkan jika keberpihakan ini sudah menjadi budaya hidup, biasanya ini akan dipahami sebagai kharisma. Kharisma akan muncul sebanding dengan keberpihakan kita.
Menurut catatan Terry Orlick (The Wheel of Excellence, 2004), pakar psikologi olahraga, kemenangan-diri itu akan menentukan nasib seorang atlet di atas ring. Tidak semua atlet yang mengalahkan lawan tandingnya itu akan menjadi pemenang. Bisa jadi kemenangan saat itu akan menjadi awal kekalahannya. Begitu juga tidak semua atlet yang dikalahkan di atas ring itu akan kalah selamanya. Bisa jadi kekalahan saat itu adalah jalan menuju kemenangannya.
Dinamika ini akan ditentukan oleh kemenangan diri. Atlet yang kalah di atas ring, namun terus belajar dari kekalahannya, tetap berlatih, tetap menjaga nilai-nilai, atau tetap punya penyikapan yang positif, pasti akan meraih kemenangan nantinya, entah dalam bentuk apapun. Tapi, atlet yang menang di atas ring, namun makin malas latihan, mengabaikan nilai, lebih berkonsentrasi pada pemberitaan press ketimbang latihan, dia akan kalah nantinya.
"Sebelum Anda menjadi warrior, Anda harus menjadi winner"
(Doktrin Samurai)
Dinamika Hubungan
Dalam praktek sehari-hari, hubungan antarmanusia itu sedinamis manusianya. Dinamika hubungan ini kalau mengacu ke pemikirannya Tom Jaap (Enabling Leadership, Achieving Result with People, 1989), bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Konsesi (concession). Kita menyadari perlunya mengalah untuk membuat orang lain merasa menang atau merasa senang (lose-win), baik dalam bentuk sikap atau hasil.
2. Kompromi (compromise). Kita mengajak orang lain untuk bisa sama-sama menerima kerugian (lose-lose), bisa 50%: 50%dan bisa 40: 60, tergantung keadaan.
3. Konsensus (consensus). Kita menciptakan kesepakatan yang win-win, semua pihak merasa menang, atau tidak ada yang dirugikan, minimalnya.
4. Paksaan (Coercion). Kita menggiring orang lain untuk harus kalah atau menciptakan strategi yang membuat kita meraih kemenangan lebih banyak, baik dengan paksaan yang hard atau yang soft. Biasanya ini kerap ditempuh oleh orang yang powerful (posisi di atas) atau powerless (minder atau takut)
Keempat dinamika di atas bisa jadi ada yang kita kondisikan sebagai strategi atau ada yang membuat kita terkondisikan oleh faktor eksternal tertentu. Sejauh itu ditopang oleh kemenangan diri, seperti yang sudah kita bahas ciri-cirinya di muka, maka kemungkinannya hanya ada tiga:
* kita akan sama-sama meraih kemenangan,
* kalau kita kalah, kekalahan itu tidak total atau tidak kalah selamanya, dan
* kalau kita menang, kemenangan itu tidak sampai membuat orang lain jatuh harga dirinya.
"Kekalahan itu sementara sifatnya,
namun akan abadi apabila kita kalah oleh diri kita."
Istilah kalah-menang ini sangat kerap kita munculkan dalam praktek hubungan dengan orang lain (relationship). Hubungan di sini bisa termasuk hubungan dalam wilayah publik (mitra bisnis, rekan profesi, dosen, dst) dan hubungan dalam wilayah privat (suami-istri, keluarga, sahabat, dst). Bentuknya pun bisa berupa materi dan non materi, bisa dalam bentuk hasil atau dalam bentuk proses.
Dorongan untuk mendapatkan kemenangan itu, kalau menurut Horney (Our Inner Conflict, 1945), termasuk salah satu kebutuhan manusia atau termasuk naluri bawaan dari semua orang. Menurutnya, kebutuhan manusia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga:
1. Manusia butuh bergerak mendekati orang lain untuk mendapatkan cinta, penerimaan, kasih sayang, penghormatan, dst
2. Manusia butuh bergerak menjauhi orang lain untuk mendapatkan kebebasan, kemandirian, ketenangan, dst
3. Manusia butuh bergerak menentang orang lain untuk menunjukkan kekuatan, kemenangan, atau kehebatan, dst
Namun begitu, namanya juga bawaan. Bawaan itu adalah potensi. Potensi itu bahan baku. Karenanya, bisa membahayakan dan bisa menguntungkan. Ini tergantung bagaimana potensi itu diolah atau "dididik". Seseorang yang saya kenal, sebut saja namanya A, menyadari bahwa hubungannya dengan orang lain itu akhirnya kalah, meskipun dulunya ia selalu menganggap itu kemenangan.
Sewaktu masih muda, si A ini merasa punya temparemen tinggi dan perfeksionis. Dengan darah mudanya, ia selalu punya standar bahwa orang lainlah yang harus mengerti siapa dirinya. Ditambah dengan penguasaan skill nya yang tinggi, standar itu sangat sempurna untuk diterapkan. Sedikit saja menemukan ketidakberesan pada orang lain, langsung keluar ultimatum. Ini membuat dia sering ganti mitra usaha dan juga sering pindah pekerjaan.
Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata ia berubah pikiran. Kesimpulannya, kemenangan yang ia agungkan dulu, ternyata kurang bisa memberikan kualitas hubungan yang bertahan lama. Dorongan untuk selalu harus menang itu malah menyebabkan kekalahan di kemudian hari. Bentuknya antara lain: relasinya tidak banyak, relasinya hanya bersifat sementara, kurang memiliki pendukung yang loyal, dan seterusnya.
Dari sejumlah kasus serupa yang kerap kita jumpai, kemenangan itu selalu nisbi dan relatif, sejauh itu kita pahami sebagai padanan atas kekalahan orang lain. Kenapa? Selain kerap didorong oleh hawa nafsu, kemenangan dengan mengalahkan orang lain itu akan memunculkan perlawanan. Ini karena tidak ada manusia yang mau dikalahkan. Karena itu, doktrin kesatriaan mengajarkan bahwa sampai pun kita harus menang melawan orang lain, hendaknya jangan sampai membuat harga diri orang lain jatuh.
Supaya kemenangan itu tidak relatif dan tidak nisbi, ajaran kearifan di dunia ini mengajak kita memahami kemenangan bukan seperti itu. Kemenangan itu jangan dipahami sebagai padanan atas kekalahan orang lain, terutama dalam praktek hubungan sehari-hari, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas diri itu adalah bentuk kemenangan yang kita raih dengan menguasai naluri bawaan untuk menang itu supaya tidak membuat kita kalah, nantinya.
"Semakin banyak orang lain yang berhasil kita kalahkan,
seringkali malah membuat posisi kita semakin lemah"
Beberapa Ciri Kemenangan Diri
Orang yang menang atas dirinya itu bukanlah sosok yang tidak pernah maju ke adu kalah-menang dalam hubungan. Orang yang menang atas dirinya itu bukanlah sosok yang terlalu amat baik sehingga mau dijadikan korban oleh orang lain. Orang yang menang atas dirinya itu bukanlah orang yang tidak pernah marah sama orang lain.
Perlu kita ingat bahwa kemenangan diri itu adanya di level hubungan intrapersonal antara kita dan diri kita. Bahwa ada orang lain yang membuka pintu adu kalah-menang, ada orang lain yang merugikan dan menguntungkan, ada orang lain yang perlu dihormati atau dimarahi, itu semua adanya di level hubungan interpersonal antara kita dengan orang lain.
Intinya, orang yang menang atas dirinya itu tetap melakukan hal-hal yang manusiawi atau tetap menghadapi realiatas hidup yang muncul dari konsekuensi hubungan dengan orang lain. Hanya saja, bedanya adalah:
* Pertama, menang atas diri itu berkonsentrasi pada upaya untuk memperjuangkan visi, merealisasikan tujuan jangka pendek atau jangka panjang, atau mengaktualisasikan potensi guna meraih prestasi. Misalnya saja kita menghadapi pertarungan office politic yang sudah sampai pada tingkat saling menjatuhkan. Sejauh kita tetap bisa mengkonsentrasikan pikiran dan tindakan pada visi, tujuan, dan aktualisasi, maka kemenangan sudah kita raih.
* Kedua, menang atas diri itu mempertahankan nilai-nilai yang kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatannya sudah tidak diperdebatkan lagi karena memang sudah mutlak. Dalam beberapa kasus, ini membutuhkan pengorbanan dan seringkali tampak seperti kekalahan. Karena itu, dalam ajaran agamanya, kalau kita malah sial dengan mempertahankan nilai, namanya bukan musibah, melainkan ujian (bala'). Ujian ini adalah moment untuk menguji apakah kita akan commit dan sabar atas inisiatif kita atau hanya setengah-setengah. Kerap ada orang yang mengalami susahnya mencari pekerjaan yang bersih setelah resign atau tobat dari pekerjaan dulu yang kotor. Jika orang ini kalah atas dirinya, dia akan mudah kembali lagi ke pekerjaan lama yang kotor itu. Tapi jika menang, dia akan berhasil melewati ujian. Karena sering ada ujian dan kekalahan ini, makanya Tuhan mewanti-wanti agar jangan sampai orang yang mempertahankan nilai itu tertipu oleh realitas yang temporer dan superfisial.
* Ketiga, menang atas diri itu menyelaraskan kepentingan pribadi, subyektivitas pribadi, atau egoisme hawa nafsu pribadi pada nilai-nilai, ajaran, atau akal sehat. Jadi, kita menomorsatukan nilai sebelum kepentingan. Semua orang pasti punya kepentingan pribadi sebab inipun ada gunanaya. Bedanya, ada yang ditundukkan pada nilai, ajaran, atau akal sehat dan ada yang mengabaikan semua itu. Bukti ketundukan itu sama sekali tidak bisa diukur dari pernyataan kita di depan orang lain, di tempat meeting, atau di depan press, melainkan dari pembuktian yang kita lakukan atas diri kita. Meminjam istilahnya Covey, bukti ketundukan itu bisa dibedakan apakah ketundukan itu pada "Apa" (what is the right) atau pada "Siapa" (pribadi atau lembaga). Kalau kita sudah berhasil tuduk pada "apa" (nilai kebenaran yang sudah tidak diperdebatkan lagi), berarti kemenangan kita semakin bagus.
* Keempat, menang atas diri itu menghindari cara-cara yang merugikan atau yang mencelakakan, baik untuk diri sendiri atau orang lain. Kalau kita kehilangan engagement, motivasi, dan ide-ide perbaikan di kantor gara-gara melihat ketidakadilan, meskipun ini manusiawi, namun sejatinya kita telah kalah oleh diri kita. Mestinya, sambil tetap berupaya menyelesaikan ketidakadilan, kita pun tetap melakukan hal-hal positif untuk diri kita, minimalnya. Menang atas diri itu sebetulnya bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang harus kita tempuh agar bisa mencapai tujuan. Tujuannya adalah memperjuangkan visi, mempertahankan nilai, atau pengembangan diri. Artinya, kalau proses meraih tujuan ini terhenti gara-gara penyimpangan dan pelanggaran orang lain, berarti tujuan dari kemenangan diri itu tidak tercapai.
* Kelima, menang atas diri itu mengambil dan mengeluarkan. Kita akan menang apabila berhasil mengambil pelajaran dari apapun yang menimpa kita untuk diolah menjadi benefit atau profit yang bisa kita keluarkan dari diri kita. Dengan cara ini berarti perbaikan demi perbaikan akan terus muncul.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kemenangan-diri itu punya efek positif bukan semata pada wilayah hubungan intrapersonal, melainkan juga pada domain hubungan interpersonal. Efek positif itu bisa muncul entah dalam rangka untuk mengajak atau menghadapi orang lain sebagai lawan. Misalnya kita ingin mengajak pasangan kita (suami istri) untuk merayakan ulang tahun anak di rumah. Kalau yang kita munculkan itu selera pribadi, lebih-lebih egoisme pribadi, biasanya akan menghadapi perlawanan atau memunculkan selera tandingan.
Tapi kalau yang kita munculkan itu adalah keberpihakan pada nilai-nilai kesederhanaan, kemaslahatan, atau nilai apapun, biasanya itu relatif lebih enak diterima dan lebih kecil potensi munculnya selera tandingan. Tentu saja perlu didukung dengan cara-cara yang baik dalam mengkomunikasikan keberpihakan itu. Bahkan jika keberpihakan ini sudah menjadi budaya hidup, biasanya ini akan dipahami sebagai kharisma. Kharisma akan muncul sebanding dengan keberpihakan kita.
Menurut catatan Terry Orlick (The Wheel of Excellence, 2004), pakar psikologi olahraga, kemenangan-diri itu akan menentukan nasib seorang atlet di atas ring. Tidak semua atlet yang mengalahkan lawan tandingnya itu akan menjadi pemenang. Bisa jadi kemenangan saat itu akan menjadi awal kekalahannya. Begitu juga tidak semua atlet yang dikalahkan di atas ring itu akan kalah selamanya. Bisa jadi kekalahan saat itu adalah jalan menuju kemenangannya.
Dinamika ini akan ditentukan oleh kemenangan diri. Atlet yang kalah di atas ring, namun terus belajar dari kekalahannya, tetap berlatih, tetap menjaga nilai-nilai, atau tetap punya penyikapan yang positif, pasti akan meraih kemenangan nantinya, entah dalam bentuk apapun. Tapi, atlet yang menang di atas ring, namun makin malas latihan, mengabaikan nilai, lebih berkonsentrasi pada pemberitaan press ketimbang latihan, dia akan kalah nantinya.
"Sebelum Anda menjadi warrior, Anda harus menjadi winner"
(Doktrin Samurai)
Dinamika Hubungan
Dalam praktek sehari-hari, hubungan antarmanusia itu sedinamis manusianya. Dinamika hubungan ini kalau mengacu ke pemikirannya Tom Jaap (Enabling Leadership, Achieving Result with People, 1989), bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Konsesi (concession). Kita menyadari perlunya mengalah untuk membuat orang lain merasa menang atau merasa senang (lose-win), baik dalam bentuk sikap atau hasil.
2. Kompromi (compromise). Kita mengajak orang lain untuk bisa sama-sama menerima kerugian (lose-lose), bisa 50%: 50%dan bisa 40: 60, tergantung keadaan.
3. Konsensus (consensus). Kita menciptakan kesepakatan yang win-win, semua pihak merasa menang, atau tidak ada yang dirugikan, minimalnya.
4. Paksaan (Coercion). Kita menggiring orang lain untuk harus kalah atau menciptakan strategi yang membuat kita meraih kemenangan lebih banyak, baik dengan paksaan yang hard atau yang soft. Biasanya ini kerap ditempuh oleh orang yang powerful (posisi di atas) atau powerless (minder atau takut)
Keempat dinamika di atas bisa jadi ada yang kita kondisikan sebagai strategi atau ada yang membuat kita terkondisikan oleh faktor eksternal tertentu. Sejauh itu ditopang oleh kemenangan diri, seperti yang sudah kita bahas ciri-cirinya di muka, maka kemungkinannya hanya ada tiga:
* kita akan sama-sama meraih kemenangan,
* kalau kita kalah, kekalahan itu tidak total atau tidak kalah selamanya, dan
* kalau kita menang, kemenangan itu tidak sampai membuat orang lain jatuh harga dirinya.
"Kekalahan itu sementara sifatnya,
namun akan abadi apabila kita kalah oleh diri kita."
0 comments:
Post a Comment