Oleh Abdurrahman Wahid
KITA dibuat tertegun dengan kenyataan bahwa dalam proses pembangunannya bangsa ini didominasi orang kaya/elite. Tidak punya uang, maka harus “mengalah” dari mereka yang lebih beruntung. Pendidikan dan sebagainya hanya menganakemaskan mereka yang kaya.
Dikotomi kaya-miskin ini berlaku di hampir semua bidang kehidupan. Nah, bagi mereka yang merasa tertinggal, mengakibatkan munculnya rasa marah dan dendam. Pemerintah turut bersalah dalam hal ini, karena mengambil pihak yang salah untuk dijadikan panutan.
Untuk menutupi hal itu, lalu mereka mengambil sikap yang juga salah, yaitu membiarkan salah pengertian satu sama lain antarkelompok melalui politik yang berat sebelah. Contohnya, dibiarkan saja suara berdengung dari garis keras yang meminta pembubaran kelompok minoritas, tanpa memberikan pembelaan kepada mereka.
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
Kaum minoritas agama pun meragukan iktikad baik pemerintah dalam melindungi hak-hak mereka. Memang, terucap janji pemerintah untuk melindungi hak-hak minoritas. Namun, tentunya pemulihan perlindungan itu tidak berupa sikap berdiam diri saja terhadap gangguan yang muncul di mana-mana dalam dasawarsa tahun ini.
Ketika Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) diserang kanan-kiri, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak ada pihak mana pun yang memperjuangkan hak mereka yang dilindungi UUD 1945. Baru setelah berbulan-bulan lamanya hal itu dikoreksi, dengan pengambilan sikap yang benar terhadap GAI.
Kalau dulu kita pernah disibukkan dengan hubungan antara ajaran Islam dan semangat keagamaan yang sempit, sehingga lahirlah pertentangan kultural antara keduanya, maka sekarang ini justru terjadi suatu hal yang tidak kita duga sama sekali; pertentangan antara ajaran Islam dan modernisasi. Saat ini, kita tersentak oleh “penegasan” MUI bahwa Islam perlu dibela terhadap kesalahan-kesalahan anggapan atasnya.
Karena itu, ada usulan agar karya seni seperti film Perempuan Berkalung Sorban dilarang.Penulis sendiri sebagai orang pondok pesantren tidak melihat pembelaan seperti itu diperlukan. Mana batas yang wajar dari yang tidak, itulah yang harus kita cari. Dinasti Sriwijaya memerintahkan penyerangan atas Jawa Tengah, melalui pelabuhan Pekalongan.
Hasilnya adalah munculnya Borobudur sebagai manifestasi agama Buddha yang dianut sebagian besar penduduk Sriwijaya. Namun, mereka juga menyaksikan munculnya cara baru beragama di Jawa,yaitu kaum Hindu-Buddha.Dia bertahan terus hingga abad ke-15 Masehi, terutama dengan memunculkan Kerajaan Majapahit. Tentu saja,pemunculannya didahului semakin mantapnya peradaban Hindu sebelum itu.
Sementara peradaban itu sendiri didahului peradaban lokal, seperti yang dibawakan Raja Prabu Saka di Medang Kamulan (di Malang Selatan). Jelaslah dari uraian di atas, bahwa perkembangan budaya yang terjadi di negeri kita sangat terpengaruh oleh dialog-dialog antaragama dan budaya, yang masih terus berjalan hingga saat ini.
Nah, kesediaan kita berdialog tentang hal itu juga sangat diperlukan,minimal untuk memetakan masa lampau kita sendiri dan untuk mengetahui banyaknya warisan budaya yang kita terima. Penguasaan atas warisan budaya itu sangat berharga,bukan?
KITA dibuat tertegun dengan kenyataan bahwa dalam proses pembangunannya bangsa ini didominasi orang kaya/elite. Tidak punya uang, maka harus “mengalah” dari mereka yang lebih beruntung. Pendidikan dan sebagainya hanya menganakemaskan mereka yang kaya.
Dikotomi kaya-miskin ini berlaku di hampir semua bidang kehidupan. Nah, bagi mereka yang merasa tertinggal, mengakibatkan munculnya rasa marah dan dendam. Pemerintah turut bersalah dalam hal ini, karena mengambil pihak yang salah untuk dijadikan panutan.
Untuk menutupi hal itu, lalu mereka mengambil sikap yang juga salah, yaitu membiarkan salah pengertian satu sama lain antarkelompok melalui politik yang berat sebelah. Contohnya, dibiarkan saja suara berdengung dari garis keras yang meminta pembubaran kelompok minoritas, tanpa memberikan pembelaan kepada mereka.
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
Kaum minoritas agama pun meragukan iktikad baik pemerintah dalam melindungi hak-hak mereka. Memang, terucap janji pemerintah untuk melindungi hak-hak minoritas. Namun, tentunya pemulihan perlindungan itu tidak berupa sikap berdiam diri saja terhadap gangguan yang muncul di mana-mana dalam dasawarsa tahun ini.
Ketika Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) diserang kanan-kiri, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tidak ada pihak mana pun yang memperjuangkan hak mereka yang dilindungi UUD 1945. Baru setelah berbulan-bulan lamanya hal itu dikoreksi, dengan pengambilan sikap yang benar terhadap GAI.
Kalau dulu kita pernah disibukkan dengan hubungan antara ajaran Islam dan semangat keagamaan yang sempit, sehingga lahirlah pertentangan kultural antara keduanya, maka sekarang ini justru terjadi suatu hal yang tidak kita duga sama sekali; pertentangan antara ajaran Islam dan modernisasi. Saat ini, kita tersentak oleh “penegasan” MUI bahwa Islam perlu dibela terhadap kesalahan-kesalahan anggapan atasnya.
Karena itu, ada usulan agar karya seni seperti film Perempuan Berkalung Sorban dilarang.Penulis sendiri sebagai orang pondok pesantren tidak melihat pembelaan seperti itu diperlukan. Mana batas yang wajar dari yang tidak, itulah yang harus kita cari. Dinasti Sriwijaya memerintahkan penyerangan atas Jawa Tengah, melalui pelabuhan Pekalongan.
Hasilnya adalah munculnya Borobudur sebagai manifestasi agama Buddha yang dianut sebagian besar penduduk Sriwijaya. Namun, mereka juga menyaksikan munculnya cara baru beragama di Jawa,yaitu kaum Hindu-Buddha.Dia bertahan terus hingga abad ke-15 Masehi, terutama dengan memunculkan Kerajaan Majapahit. Tentu saja,pemunculannya didahului semakin mantapnya peradaban Hindu sebelum itu.
Sementara peradaban itu sendiri didahului peradaban lokal, seperti yang dibawakan Raja Prabu Saka di Medang Kamulan (di Malang Selatan). Jelaslah dari uraian di atas, bahwa perkembangan budaya yang terjadi di negeri kita sangat terpengaruh oleh dialog-dialog antaragama dan budaya, yang masih terus berjalan hingga saat ini.
Nah, kesediaan kita berdialog tentang hal itu juga sangat diperlukan,minimal untuk memetakan masa lampau kita sendiri dan untuk mengetahui banyaknya warisan budaya yang kita terima. Penguasaan atas warisan budaya itu sangat berharga,bukan?
0 comments:
Post a Comment