Oleh Abd Moqsith Ghazali
Gaza luluh lantak. Setelah tiga pekan digempur dan dibombardir Israel melalui darat, laut, dan udara, kawasan yang hanya dihuni 1,5 juta orang itu porak poranda.
Diperkirakan 14 persen dari bangunan-bangunan penting, rata dengan tanah. Ribuan rumah penduduk, ratusan kendaraan bermotor, berpuluh gedung pemerintah, rumah sakit, gedung sekolah-perguruan tinggi, dan tempat-tempat ibadah menjadi puing, tak bisa difungsikan lagi.
Gaza gelap gulita, karena jaringan listrik terputus. Masyarakat kesulitan memperoleh air bersih, karena instalasi air banyak yang rusak. Kerugian material diperkirakan mencapai angka Rp 15 triliun lebih.
Jelas bukan hanya kerugian material. Bombardir Israel di Jalur Gaza juga telah menewaskan kurang lebih 1.300 orang dan 5.000 lainnya terluka. Televisi Al-Jazeera menyiarkan, kemungkinan jumlah korban akan bertambah, seiring dengan terus ditemukannya mayat di reruntuhan bangunan.
Bau bangkai dan kotoran menusuk hidung. Para korban bukan hanya dari pasukan Hamas, melainkan juga dari masyarakat sipil tak berdosa, seperti bayi, anak-anak, kaum perempuan, dan manula. Yang meninggal dunia tak hanya yang beragama Islam, melainkan juga yang Kristen. Para korban itu mungkin terdiri dari guru, dokter, advokat, pedagang, buruh, direktur perusahaan, dan sebagainya.
Kini, puluhan ribu orang mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Mereka pun tak mudah untuk kembali, karena rumah tinggalnya telah hangus dilalap bom canggih Israel.
Krisis Gaza menelan ongkos tak sedikit. Belum lagi, efek psikologis yang timbul pascapembantaian Israel. Trauma akan diderita oleh anak-anak yang melihat orangtuanya mati mengenaskan akibat hantaman peluru tentara Israel. Trauma yang sama akan dialami para istri yang kehilangan sang suami sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.
Trauma akut dialami oleh mereka yang seluruh harta bendanya terbakar dan sanak keluarganya meninggal dunia. Tak bisa dimungkiri, perang ini potensial menyuburkan kemarahan, dendam, dan kebencian, terutama dari warga Gaza. Ratapan kemarahan tak mudah dihapus dalam memori mereka, bahkan akan terwariskan hingga ke beberapa generasi berikutnya. Krisis Gaza kian kompleks dan bersifat multidimensional.
Tolak Relawan Perang
Bagaimana kita membaca konflik Israel-Palestina ini dan apa yang mesti dilakukan menuju perdamaian abadi di sana? Pertama, kita mesti meletakkan konflik dan perang Israel-Palestina sebagai konflik politik dan bukan sebagai konflik agama. Persisnya, bukan konflik antara Yahudi dan Islam, tetapi konflik perebutan lahan yang menyertakan harkat dan martabat sebuah bangsa.
Palestina tak hanya dihuni orang-orang Islam. Dari empat juta penduduk Palestina, 9 persennya adalah umat Yahudi, 2,4 persen umat Kristiani, dan 88 persen adalah umat Islam. Bahkan, dari 1,5 juta penduduk Jalur Gaza, 0,7 persennya beragama Kristen.
Kerap diberitakan perihal keberatan dan penolakan para rabi Yahudi Ortodoks dan pendeta Kristen atas penyerangan Israel ke Jalur Gaza ini. Tokoh-tokoh agama non-Muslim di Indonesia turut mengutuk kebiadaban Israel itu.
Dengan demikian, pengiriman relawan jihad untuk melawan orang Yahudi dan Kristen luput sasaran. Sebab, orang Yahudi dan Kristen pun menjadi korban dari pertikaian berpuluh tahun di Palestina. Dalam waktu gencatan senjata sepihak Israel dan Hamas yang mulai berjalan tiga hari ini, yang dibutuhkan warga Gaza bukan roket dan bom, tetapi kiriman makanan dan obat-obatan yang diharapkan bisa menyembuhkan luka fisiknya.
Pascapenyerangan ini, Gaza juga membutuhkan kehadiran para psikolog, psikiater, dan mungkin juga rohaniawan yang bisa membantu mengobati luka batin korban. Pengiriman dokter dengan berbagai spesialisasinya makin dibutuhkan. Sebab, penyakit yang timbul seusai penyerbuan semakin banyak.
Menurut Zainuddin al-Malibari, seperti dijelaskan Syatha al-Dimyathi dalam I`anah al-Thalibin (jilid IV, hlm. 182) jihad adalah memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang meliputi sandang, pangan, dan papan. Jihad dalam konteks krisis Gaza sekarang bisa diterjemahkan dalam wujud pemenuhan kebutuhan pokok itu dan bukan dalam bentuk pengiriman relawan perang.
Kedua, penyerangan Israel ke Gaza mesti dilihat dari perspektif hukum dan HAM. Terang benderang bahwa di sana ada pelanggaran HAM berat. Alasan pembelaan diri oleh pihak Israel atas lemparan roket Hamas ke kawasan selatan Israel telah melampaui batas proporsinya.
Beberapa lemparan roket Hamas ditebus dengan ribuan nyawa masyarakat sipil di Jalur Gaza. Jika korban warga Gaza melebihi angka seribu, maka korban tentara Israel, menurut Hamas, berjumlah 80 orang, bahkan menurut Israel hanya 13 orang. Ini kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Setelah Jalur Gaza diblokade dari berbagai sudut oleh Israel yang menyebabkan kondisi Gaza kian rapuh, maka Hamas bereaksi dengan mengirimkan roket. Namun, Israel membalasnya dengan membabi buta. Tindakan membabi buta telah melanggar hukum perang yang mempersyaratkan bahwa perang tak boleh menghancurkan fasilitas umum dan tak boleh menyerang masyarakat sipil. Israel juga menggunakan fosfor putih yang nyata dilarang penggunaannya ketika perang.
Dengan mengacu pada hukum internasional, seperti Statuta Roma, Konvensi Hague, dan Konvensi Jenewa 1949, penjahat perang Israel, seperti PM Israel Ehud Olmert, Menteri Pertahanan Ehud Barak, dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni, perlu dibawa ke Mahkamah Internasional.
Dengan adanya pengadilan yang tegas terhadap para penjahat perang ini, diharapkan dendam dan kebencian akan bisa diminimalkan. Tanpa ada sanksi hukum terhadap pelaku, rekonsiliasi antara warga Palestina dan Israel akan sulit diselenggarakan.
Rekonsiliasi hanya mungkin terjadi ketika hukum sudah ditegakkan terhadap mereka yang melanggar aturan dan konsensus internasional.
Batas Wilayah
Ketiga, para pihak yang berperang harus segera kembali ke meja perundingan untuk mendiskusikan batas-batas kewilayahan yang selama ini menjadi biang sengketa. Perlu dibicarakan, misalnya, mekanisme dan teknis pengembalian secara bertahap tanah-tanah yang dirampas Israel dari tangan Palestina.
Hamas pun perlu realistis untuk tak meminta kembali ke tahun sebelum 1948, ketika Negara Israel belum berdiri. Israel tak perlu mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Yahudi yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania, apalagi Israel Raya yang terhampar dari Sungai Nil hingga Eufrat. Sebab, ambisi itu hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi warga sipil.
Israel tak bisa mengacu pada Deklarasi Oslo, yang artinya menepiskan eksistensi Hamas. Hamas bukan variabel yang mesti dimusnahkan, akan tetapi faktor yang penting diajak berunding bagi terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel.
Melalui meja perundingan itu, diharapkan terbit sebuah solusi yang adil untuk para pihak yang bertikai. Jika kelak ditemukan kerangka dan konsensus baru antara Palestina (termasuk Hamas) dan Israel tentang pembagian wilayah, maka pasukan internasional perlu dibentuk dengan mandat khusus dan otoritas mutlak untuk menjaga batas teritorial tersebut, sehingga perdamaian di kawasan Israel-Palestina bisa berjalan. Ini memang perkara sulit, tapi bukan tak mungkin untuk dilakukan.
Gaza luluh lantak. Setelah tiga pekan digempur dan dibombardir Israel melalui darat, laut, dan udara, kawasan yang hanya dihuni 1,5 juta orang itu porak poranda.
Diperkirakan 14 persen dari bangunan-bangunan penting, rata dengan tanah. Ribuan rumah penduduk, ratusan kendaraan bermotor, berpuluh gedung pemerintah, rumah sakit, gedung sekolah-perguruan tinggi, dan tempat-tempat ibadah menjadi puing, tak bisa difungsikan lagi.
Gaza gelap gulita, karena jaringan listrik terputus. Masyarakat kesulitan memperoleh air bersih, karena instalasi air banyak yang rusak. Kerugian material diperkirakan mencapai angka Rp 15 triliun lebih.
Jelas bukan hanya kerugian material. Bombardir Israel di Jalur Gaza juga telah menewaskan kurang lebih 1.300 orang dan 5.000 lainnya terluka. Televisi Al-Jazeera menyiarkan, kemungkinan jumlah korban akan bertambah, seiring dengan terus ditemukannya mayat di reruntuhan bangunan.
Bau bangkai dan kotoran menusuk hidung. Para korban bukan hanya dari pasukan Hamas, melainkan juga dari masyarakat sipil tak berdosa, seperti bayi, anak-anak, kaum perempuan, dan manula. Yang meninggal dunia tak hanya yang beragama Islam, melainkan juga yang Kristen. Para korban itu mungkin terdiri dari guru, dokter, advokat, pedagang, buruh, direktur perusahaan, dan sebagainya.
Kini, puluhan ribu orang mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Mereka pun tak mudah untuk kembali, karena rumah tinggalnya telah hangus dilalap bom canggih Israel.
Krisis Gaza menelan ongkos tak sedikit. Belum lagi, efek psikologis yang timbul pascapembantaian Israel. Trauma akan diderita oleh anak-anak yang melihat orangtuanya mati mengenaskan akibat hantaman peluru tentara Israel. Trauma yang sama akan dialami para istri yang kehilangan sang suami sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.
Trauma akut dialami oleh mereka yang seluruh harta bendanya terbakar dan sanak keluarganya meninggal dunia. Tak bisa dimungkiri, perang ini potensial menyuburkan kemarahan, dendam, dan kebencian, terutama dari warga Gaza. Ratapan kemarahan tak mudah dihapus dalam memori mereka, bahkan akan terwariskan hingga ke beberapa generasi berikutnya. Krisis Gaza kian kompleks dan bersifat multidimensional.
Tolak Relawan Perang
Bagaimana kita membaca konflik Israel-Palestina ini dan apa yang mesti dilakukan menuju perdamaian abadi di sana? Pertama, kita mesti meletakkan konflik dan perang Israel-Palestina sebagai konflik politik dan bukan sebagai konflik agama. Persisnya, bukan konflik antara Yahudi dan Islam, tetapi konflik perebutan lahan yang menyertakan harkat dan martabat sebuah bangsa.
Palestina tak hanya dihuni orang-orang Islam. Dari empat juta penduduk Palestina, 9 persennya adalah umat Yahudi, 2,4 persen umat Kristiani, dan 88 persen adalah umat Islam. Bahkan, dari 1,5 juta penduduk Jalur Gaza, 0,7 persennya beragama Kristen.
Kerap diberitakan perihal keberatan dan penolakan para rabi Yahudi Ortodoks dan pendeta Kristen atas penyerangan Israel ke Jalur Gaza ini. Tokoh-tokoh agama non-Muslim di Indonesia turut mengutuk kebiadaban Israel itu.
Dengan demikian, pengiriman relawan jihad untuk melawan orang Yahudi dan Kristen luput sasaran. Sebab, orang Yahudi dan Kristen pun menjadi korban dari pertikaian berpuluh tahun di Palestina. Dalam waktu gencatan senjata sepihak Israel dan Hamas yang mulai berjalan tiga hari ini, yang dibutuhkan warga Gaza bukan roket dan bom, tetapi kiriman makanan dan obat-obatan yang diharapkan bisa menyembuhkan luka fisiknya.
Pascapenyerangan ini, Gaza juga membutuhkan kehadiran para psikolog, psikiater, dan mungkin juga rohaniawan yang bisa membantu mengobati luka batin korban. Pengiriman dokter dengan berbagai spesialisasinya makin dibutuhkan. Sebab, penyakit yang timbul seusai penyerbuan semakin banyak.
Menurut Zainuddin al-Malibari, seperti dijelaskan Syatha al-Dimyathi dalam I`anah al-Thalibin (jilid IV, hlm. 182) jihad adalah memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang meliputi sandang, pangan, dan papan. Jihad dalam konteks krisis Gaza sekarang bisa diterjemahkan dalam wujud pemenuhan kebutuhan pokok itu dan bukan dalam bentuk pengiriman relawan perang.
Kedua, penyerangan Israel ke Gaza mesti dilihat dari perspektif hukum dan HAM. Terang benderang bahwa di sana ada pelanggaran HAM berat. Alasan pembelaan diri oleh pihak Israel atas lemparan roket Hamas ke kawasan selatan Israel telah melampaui batas proporsinya.
Beberapa lemparan roket Hamas ditebus dengan ribuan nyawa masyarakat sipil di Jalur Gaza. Jika korban warga Gaza melebihi angka seribu, maka korban tentara Israel, menurut Hamas, berjumlah 80 orang, bahkan menurut Israel hanya 13 orang. Ini kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Setelah Jalur Gaza diblokade dari berbagai sudut oleh Israel yang menyebabkan kondisi Gaza kian rapuh, maka Hamas bereaksi dengan mengirimkan roket. Namun, Israel membalasnya dengan membabi buta. Tindakan membabi buta telah melanggar hukum perang yang mempersyaratkan bahwa perang tak boleh menghancurkan fasilitas umum dan tak boleh menyerang masyarakat sipil. Israel juga menggunakan fosfor putih yang nyata dilarang penggunaannya ketika perang.
Dengan mengacu pada hukum internasional, seperti Statuta Roma, Konvensi Hague, dan Konvensi Jenewa 1949, penjahat perang Israel, seperti PM Israel Ehud Olmert, Menteri Pertahanan Ehud Barak, dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni, perlu dibawa ke Mahkamah Internasional.
Dengan adanya pengadilan yang tegas terhadap para penjahat perang ini, diharapkan dendam dan kebencian akan bisa diminimalkan. Tanpa ada sanksi hukum terhadap pelaku, rekonsiliasi antara warga Palestina dan Israel akan sulit diselenggarakan.
Rekonsiliasi hanya mungkin terjadi ketika hukum sudah ditegakkan terhadap mereka yang melanggar aturan dan konsensus internasional.
Batas Wilayah
Ketiga, para pihak yang berperang harus segera kembali ke meja perundingan untuk mendiskusikan batas-batas kewilayahan yang selama ini menjadi biang sengketa. Perlu dibicarakan, misalnya, mekanisme dan teknis pengembalian secara bertahap tanah-tanah yang dirampas Israel dari tangan Palestina.
Hamas pun perlu realistis untuk tak meminta kembali ke tahun sebelum 1948, ketika Negara Israel belum berdiri. Israel tak perlu mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Yahudi yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania, apalagi Israel Raya yang terhampar dari Sungai Nil hingga Eufrat. Sebab, ambisi itu hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi warga sipil.
Israel tak bisa mengacu pada Deklarasi Oslo, yang artinya menepiskan eksistensi Hamas. Hamas bukan variabel yang mesti dimusnahkan, akan tetapi faktor yang penting diajak berunding bagi terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel.
Melalui meja perundingan itu, diharapkan terbit sebuah solusi yang adil untuk para pihak yang bertikai. Jika kelak ditemukan kerangka dan konsensus baru antara Palestina (termasuk Hamas) dan Israel tentang pembagian wilayah, maka pasukan internasional perlu dibentuk dengan mandat khusus dan otoritas mutlak untuk menjaga batas teritorial tersebut, sehingga perdamaian di kawasan Israel-Palestina bisa berjalan. Ini memang perkara sulit, tapi bukan tak mungkin untuk dilakukan.
0 comments:
Post a Comment