Oleh: Frans Hendra Winarta
(Agustus 2004)
Menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-59, kita diingatkan kembali kepada perjuangan dan cita-cita para pendiri (founding fathers) negara Indonesia yang ingin menjadikan negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan negara kesatuan. Konsep nation state yang dicita-citakan telah diilhami oleh pendapat Ernest Renan tentang sekumpulan manusia karena mengalami peristiwa yang sama, merasa senasib dan sepenanggungan telah memutuskan untuk hidup dalam satu kesatuan kenegaraan untuk masa-masa yang akan datang, atau dikenal dengan konsep nation state (kebangsaan). Dalam konsep nation state tidak dipersoalkan asal usul, keturunan, ras, etnisitas, warna kulit dan latar belakang lainnya. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan bentuk perwujudan konsep nation state tersebut. Konsep ini kemudian dituangkan dalam lambang negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) yang menyadari bahwa secara alami kita sudah berbeda, baik suku, ras, warna kulit, keturunan, agama, sosial budaya, dan ekonomi tetapi toh kita ingin bersatu dalam perbedaan tersebut.
Ironisnya, walaupun setiap tahun kita merayakan HUT kemerdekaan Indonesia, namun kesatuan dan integritas bangsa Indonesia belum tercapai seutuhnya. Perlakuan diskriminasi, khususnya terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, masih berlangsung secara formal dan informal yang justru merupakan contradictio in terminis dari konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity) itu sendiri. Terlebih lagi, hakekat suatu negara hukum belum dijalankan dengan maksimal sehingga masih belum ada perlakuan sama dihadapan hukum (equality before the law) terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dan sebenarnya secara umum kepada semua warga negara Indonesia. Hal ini terjadi sebagai akibat dari warisan politik devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh kolonial Belanda dengan cara membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan penduduk berdasarkan pada ras, yaitu [1] Golongan Eropa, [2] Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) seperti Tionghoa, India, dan Arab, [3] Golongan Pribumi (Inlanders). Pengelompokan tersebut diatur secara sistematis melalui peraturan Regerings Reglement (RR) jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling (Stb. 1855-270 jo. Stb. 1925-415 jo. Stb. 1925-447) maupun dalam Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb. 1910-126).
Ketiga golongan penduduk tersebut masing-masing hidup secara eksklusif dan mempunyai peran serta kondisi ekonomi dan strata sosial yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Pembagian ini jelas lebih menguntungkan Belanda dan golongan pribumi yang paling dirugikan, sedangkan golongan Tionghoa merupakan kelompok yang terpisah karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda, seperti sistem opsir (Kapitan Cina), sistem pemukiman dan pas jalan, membuat orang Tionghoa menjadi tidak berbaur. Perbedaan strata sosial kemudian dipergunakan oleh kolonial Belanda untuk menerapkan politik devide et impera dengan cara mengadu domba antara golongan pribumi dengan etnis Tionghoa, dimana seolah-olah golongan pribumi itu inferior, tidak dapat dipercaya, tidak jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis Tionghoa. Sebaliknya etnis Tiongoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, mau menang sendiri, eksklusif, kikir dan srigala ekonomi. Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa. Tujuan politik pecah belah (devide and conquer) tentunya adalah untuk kepentingan survival kaum penjajah agar bisa langgeng menguasai wilayah jajahan.
Kebencian yang ditanamkan tersebut masih dirasakan sampai saat ini, karena Orde Baru selama 32 tahun berkuasa di Indonesia telah mempraktekkan kembali politik devide et impera dengan melakukan pengkotakan penduduk dan menciptakan perbedaan-perbedaan dalam kelompok masyarakat, misalnya dikotomi Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil, mayoritas dan minoritas, pribumi dan non pribumi, dan seterusnya yang tidak kalah seriusnya. Secara sistematis dan konsisten, Orde Baru juga telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa sehingga banyak dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadikan mereka makhluk yang paling a politis. Takut berpolitik, takut bicara politik, takut bersikap dalam politik dan segala trauma politik pasca 30 September 1965. Pada masa itu diciptakan situasi dimana peluang bisnis diberikan sebesar-besarnya kepada etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai golongan oportunis dengan mendekati penguasa tanpa memperdulikan nasib masyarakt sekitarnya, sehingga menimbulkan kesan salah seolah-seolah etnis Tionghoa secara keseluruhan telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Stereo type yang diciptakan seperti inilah yang membahayakan dan bertentangan dengan konsep nation yang menjadi cita-cita bersama sebagai bangsa modern.
Selain itu, tindakan-tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dilegitimasikan oleh rejim Orde Baru melalui berbagai peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, diantaranya:
1 SE. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 mengenai Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina;
2 Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina;
3 Instruksi Mendagri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng;
4 SE Presidium Kabinet RI No. SE-06/Pres-Kab/6/1967 mengenai Penggantian Istilah Tiongkok dan Tionghoa Menjadi Cina;
5 Instruksi Presiden No. 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC);
6 Kep. Presidium No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama Bagi WNI Memakai Nama Cina; dan sebagainya.
Produk-produk hukum di atas jelas menekan kehidupan sosial budaya dan mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia dengan dilakukannya pelarangan terhadap huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, pembatasan perayaan Imlek dan arak-arakannya (Cap Gome), upacara di Klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina. Perkawinan antara pemeluk Kong Hu Cu tidak diakui sah oleh negara karena hanya 5 (lima) agama yang diakui negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu). Ganti nama dan asimilasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan patriotisme dan nasionalisme turut mendorong kebijakan anti Tionghoa. Hal ini jelas menimbulkan kesan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan etnis Tionghoa adalah buruk dan harus dihindari. Padahal faktanya jauh sebelum Belanda mendarat di Nusantara, akulturasi budaya dan pembauran sudah terjadi. Hal ini dapat dilihat antara lain dari budaya Betawi, Cirebon dan Bali yang dipengaruhi unsur budaya Tionghoa.
Peraturan-peraturan di atas jelas sengaja dibuat oleh Orde Baru untuk membatasi hak-hak asasi etnis Tionghoa di Indonesia. Dikeluarkannya banyak peraturan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia merupakan bentuk nyata tindakan pemerintah Indonesia yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa sebagai warga negaranya sendiri dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia berupa diskriminasi oleh negara terhadap warga negaranya sendiri (state sponsored racial discrimination/apartheid). Tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia oleh rejim Orde Baru terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dapat dikategorikan sebagai cultural genocide. Budaya Tionghoa yang secara alami sudah berbaur (diambil alih) oleh budaya setempat dicoba untuk dipisahkan.
Satu lagi perlakuan diskriminatif adalah pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang memang merupakan salah satu peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dan telah menjadi masalah yang berlarut-larut. Walaupun pada awalnya kebijakan SBKRI lebih berlatar belakang kepada hukum internasional dalam hal proses naturalisasi warga negara asing menjadi warga negara Indonesia, namun dalam prakteknya kebijakan SBKRI tersebut ditafsirkan dan berlaku pada bagi WNI dari etnis Tionghoa. Dengan kata lain, SBKRI adalah bentuk lain dari apartheid atau state sponsored racial discrimination, yang diekspresikan melalui perangkat hukum dan kebiasaan. Bahkan seiring dengan perkembangan waktu, masalah SBKRI beralih menjadi sumber KKN sehingga semakin sulit dihapuskan dalam prakteknya sehari-hari, walaupun telah dikeluarkan peraturan untuk meniadakan SBKRI bagi etnis Tionghoa di Indonesia.
Namun hal yang lebih disayangkan adalah sampai dengan amandemen keempat UUD 1945, tidak diadakan perubahan pada Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 dimana masih terdapat kata “Indonesia asli”. Definisi “asli” juga tidak jelas apa arti dan maknanya secara hukum. Belajar dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia, maka menurut hemat saya ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tersebut justru berpotensi untuk menimbulkan kembali peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Menyambut HUT kemerdekaan RI ke-49, maka diskriminasi oleh negara terhadap warga negaranya sendiri atau lebih tepat politik pecah belah ini harus diakhiri, karena setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum (equality before the law) dan hak warga negara tersebut tidak boleh dilanggar, dirampas atau dikurangi oleh siapapun termasuk oleh negara. Karena itu, segala usaha untuk mencabut setiap peraturan dan ketentuan yang mengandung sifat diskriminatif seharusnya dimulai dari undang-undang dasarnya itu sendiri sebagai hukum tertinggi suatu negara, sehingga semua peraturan perundang-undangan dibawahnya dapat dieliminasi secara hukum.
Menjelang HUT Kemerdekaan ke-59 kita harus berani bertanya apakah kita akan mengakhiri politik pecah belah yang diwarisi dari pemerintahan kolonial atau akan kita langgengkan politik pecah belah dan menjadikan cita-cita negara kebangsaan dan Bhineka Tunggal Ika sebagai utopia.
Tulisan ini telah dimuat di Suara Pembaruan (28/07/04)
0 comments:
Post a Comment