Wednesday, January 5, 2011

LIPUTAN PKI

Menguak Tragedi 1965, Salahkah?

Bermula dari rencana Lembaga Penelitian Korban Peristiwa (LPKP) 1965, untuk menggelar Kongres I di Magetan pada 11-13 Januari lalu. Dengan mengundang berbagai warga masyarakat Indonesia yang turut menjadi korban (atau keluarga korban) kekerasan tahun 1965 dari berbagai daerah, LPKP berusaha mencari penjelasan yang memadai tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 itu. Tetapi belum lagi acara dimulai, aparat kepolisian keburu membubarkannya. Beberapa elemen Muslim turut mendukung pembubaran tersebut.
Koordinator Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI) Magetan Wagimun menyatakan; “Kami khawatir kegiatan tersebut dijadikan pembenar bangkitnya ideologi komunis. Jika kegiatan itu tetap dilanjutkan, kami akan mengerahkan ribuan massa umat Islam untuk menggagalkan kegiatan tersebut.”(Radar Madiun, 13 Januari 2003). Dengan nada yang lebih keras, Ketua Forum Anak-anak Korban Kekerasan PKI Dr. H. Ahmad Fauzi mengatakan; “Dr Ciptaning harus sadar, bahwa masyarakat Indonesia menolak PKI dan faham komunismenya.” (Radar Madiun, 17 Januari 2003). Dr. Ciptaning yang dimaksud adalah dr. Ribka Ciptaning Proletariat, Ketua LPKP yang baru-baru ini merilis bukunya yang berjudul; Aku Bangga Jadi Anak PKI
Peristiwa G30S/PKI', hampir semua orang pernah menyebut kata-kata ini. Tetapi tak banyak yang mengetahui secara persis, apa, mengapa dan bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi. Semua orang berkisah dengan versinya masing-masing. Yang semakin membuat generasi muda pusing adalah, ternyata antara satu versi dengan versi yang lain sering tumpang tindih, tidak nyambung bahkan saling bertentangan. Jadi manakah yang benar?
Yang jelas tragedi 1965 telah menimbulkan korban yang sangat besar dari berbagai pihak. Beberapa kisah yang diungkap dalam Kajian Multikultur kali ini hanya bermaksud menggambarkan, betapa kekerasan itu menghampiri orang-orang yang mungkin tidak bersalah dan--ironisnya pula--mereka yang melakukan tindak kekerasan itu pun sebetulnya merupakan korban dari 'ketidakmengertian' yang lebih besar.
Contohnya apa yang dialami Praka Sjamsul (63) ini. Saat peristiwa 1965 meledak, ia tercatat anggota tentara aktif, dari kesatuan Korem 081 Madiun Bagian Perhubungan. Mestinya ia selamat, karena ia tentara, bukan aktivis politik. Tetapi nyatanya, ia ditangkap satu peleton gabungan aparat bersenjata lengkap, lalu dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun. Pada tahun 1967, Sjamsul menerima SK dari Pangdam VIII/Brawidjaja Nomor Kep-87/7/1967 yang ditandantangani Mayjen M. Jasin, yang intinya menyatakan bahwa Sjamsul tidak terlibat dalam peristiwa G30S/PKI, dan semua hak-haknya akan diperoleh kembali.
Namun dua tahun kemudian, 1969, keluar Surat Perintah Pelaksanaan No. Prinlak/39/6/1969 yang dikeluarkan oleh Perwira Perhubungan Kodam VIII/Brawidjaja Letkol Pitojo (NRP. 13226), yang intinya memerintahkan tiga prajurit TNI, Yaitu: Pelda Tarmin, Praka Sjamsul dan Serma Soehardi, untuk diberhentikan secara tidak hormat dari dinas TNI, karena nyata-nyata tersangkut G30S/PKI. Terhitung sejak 1 April 1969, seluruh hak-hak ketiga prajurit ini di TNI dihapus, sambil menunggu keputusan resmi. Tetapi hingga kini surat keputusan resmi itu tidak pernah diterimanya.
Apa yang dilakukan Praka Sjamsul sehingga ia dijebloskan ke tahanan militer? Sjamsul sendiri tidak mengetahui, karena tidak pernah ada meja pengadilan untuk dirinya. Dia hanya menduga, mungkin persoalannya adalah, tepat di depan rumahnya saat itu terpampang sebuah papan nama bertuliskan “Pemuda Rakyat Madiun”. Padahal sekretariat “Pemuda Rakyat Madiun” itu bukan di rumahnya, melainkan di sebuah rumah yang terletak di belakang rumahnya. Sjamsul sendiri mengaku, karena kesibukannya di dinas kemiliteran, ia tidak begitu kenal dengan para pemuda aktivis Pemuda Rakyat tersebut.

Horor
Tragedi 1965, meninggalkan bayangan kelam bagi banyak orang. Banyak kisah berserak di laci ingatan para pelaku kekerasan, korban, maupun saksi mata. Rangkaian kisah itu, bagi anak-anak muda yang tak pernah menyaksikan langsung kejadian itu, mungkin akan terasa bak cerita horor yang mengerikan. Wongso Maidi (75 tahun) dan Sarbi (71 tahun), keduanya dari daerah Madiun menceritakan, pada suatu pagi, di bulan November 1965, Kepala Desa setempat yang bernama Marlen menyuruh warga untuk menggali lubang, di komplek kuburan Combang, tanpa diberi tahu untuk apa.
Tetapi pada dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, rumahnya diketuk beberapa orang berseragam hijau. Mereka meminta Wongso untuk menunjukkan tempat galian yang tadi pagi dibuatnya. Dengan tubuh gemetar, Wongso lalu mengantarkan beberapa orang berbaju loreng tersebut, sambil mengarak 19 orang yang ditali kedua ibu jarinya. Sampai di tempat tujuan, Wongso bergegas menjauh dari lubang yang ditunjukkannya. Namun ia mendengar dengan jelas suara keras yang memerintahkan agar ke-19 orang itu berbaris bergiliran empat-empat menghadap ke lubang. Dengan prosesi yang serba cepat, tubuh ke-19 orang itu pun masuk ke dalam galian, dalam keadaan kepala terpenggal. Acapkali terdengar erangan kesakitan, karena beberapa diantara mereka yang ditebas kepalanya belum sepenuhnya tewas.
Ada cerita yang beredar luas di Desa Kembangan, bahwa menurut saksi mata yang tak mau disebut namanya, saat para algojo menebaskan pedangnya, ternyata kepala korban tak putus dengan sempurna. Sehingga korban sempat berjalan di tepi sungai sambil berkata, “Kenek opo aku kok embok kenekno? Aku salah opo? (Kenapa aku kamu perlakukan begini? Salahku apa?)”. Tak berapa lama, ia pun menemui ajalnya, seperti yang ditirukan oleh Sutopo, warga Magetan.
Kejadian di Desa Kalangketi juga terasa miris. Saat itu, dari 19 orang yang hendak dibunuh, ada seorang kiai bernama Kasan Simin. Ketika akan digorok lehernya, ia berkata kepada sang alogojo. “Engko disik, aku tak shalat (nanti dulu, aku mau Shalat).” Begitu selesai menjalankan shalat, ia pun lantas ditebas lehernya.
Di Bojonegoro, seperti dituturkan Suyitno (55 tahun) warga Desa Bangilan, Kecamatan Kapas, pada bulan Nopember 1965, sekitar jam 20.00 WIB, ia menyaksikan sekitar 40 orang digelandang menuju ke pekuburan massal Desa Bangilan. Mereka dikumpulkan di tepi jalan dengan pengawalan empat orang tentara dan beberapa orang sipil (kebanyakan dari Ansor). Penggorokan dilakukan oleh dua orang secara bergilir. Tetapi sebelum digorok tubuh mereka dipukul dengan rotan besar sehingga tidak berdaya, agar saat digorok tidak melakukan gerakan yang tak terkontrol.
Salah seorang algojo saat itu, Hasyim (80 tahun) warga Bangilan, mengatakan ia bersama teman-temannya melakukan eksekusi dengan dipimpin Kamituwo Basyir, di dua desa, Desa Bangilan dan Desa Sembung, dengan total korban 80 orang. Situs pembantaian di Desa Bangilan itu hingga kini masih nampak, karena berbentuk gundukan tanah dengan diameter 30 meter, dikelilingi area persawahan. Menurut Hasysim yang juga anggota Ansor, saat itu ia diperintahkan oleh Pimpinan Ansor dan Kodim Bojonegoro untuk membawa orang-orang yang dianggap PKI atau simpatisannya yang telah dikumpulkan di Giling Pari (Redriying).
Tak ada yang mengetahui dengan pasti, berapa ribu jumlah korban jiwa pada peristiwa 1965 itu. Yang ada hanyalah serpihan-serpihan ingatan yang terus membekas. Seperti yang diungkapkan salah seorang korban dan saksi mata, Sjamsul. Masih kuat tertanam dalam ingatannya, setiap pagi, saat ia membuang sampah di sungai Madiun, tak jauh dari Rumah Tahanan Militer (RTM), pada bulan Nopember 1965, ia melihat antara 15 hingga 20 mayat tanpa kepala.
Sariem (65) warga Madiun, juga masih ingat, setiap malam tak kurang dari dua truk mengangkut orang dari rumah tahanan Gestrik, Dusun Dungus, Kecamatan Wungu, untuk kemudian dieksekusi di hutan Grape. Semula mereka ini dibunuh dengan cara ditembak. Tetapi karena suara tembakan ini menimbulkan trauma di kalangan warga sekitar, akhirnya eksekusi dilakukan dengan cara tebas pedang. Dan mayatnya langsung dibuang ke sungai. “Mantun digorok, badanipun dibucal wonten lepen gede, sampek toyanipun samben dinten niku warnane abrit. (Setelah dipenggal kepalanya, tubuhnya dibuang di sungai, sampai airnya setiap hari berwarna merah),” tutur Sariem.
Ada ratusan tempat yang telah diidentifikasi sebagai tempat pembantaian pada tragedi 1965. Salah satunya ada di Luweng Tikus, Dusun Kaliwaru, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, Blitar Selatan. Albertus Suryo Wicaksono dari Yayasan Kasih Perdamaian, Jakarta, yang memimpin penggalian Luweng Tikus menyatakan, di tempat itu banyak sekali korban. “Mereka adalah korban Operasi Trisula yang dilakukan tentara dengan mengerahkan seluruh kekuatan sipil kontra PKI. Mereka berhasil memprovokasi penduduk untuk mencari, menangkap dan membunuh orang-orang yang dianggap PKI. Jika warga berhasil menunjukkan atau membunuh tokoh PKI, maka warga mendapat hadiah berupa ternak, beras dan lain-lain,” ucap Suryo.
Tidak hanya rakyat kecil. Sejumlah pejabat pun banyak yang menjadi korban kekerasan 1965. Menurut keterangan Sjamsul yang dibenarkan Slamet sewaktu keduanya di RTM, pada tanggal 11 Agustus 1966, para Bupati yang menjadi simpatisan PKI, yaitu Kardiono (Bupati Madiun), Suherman (Bupati Ngawi), Sutomo (Bupati Trenggalek), dan Sumadi (Walikota Madiun). Mereka ini diambil dari RTM lalu dibawa ke Wilangan, Nganjuk, lantas diekskusi. Masih di tahun yang sama, tepatnya 12 Desember 1966, pukul 11.00, ada sekitar 19 orang, termasuk dr Rahmat (dokter Rumah Sakit Madiun) serta Yubagyo (Walikota Madiun) diambil dari RTM untuk dipindahkah. dr Rahmat kemudian diekskusi di Bagadung, Nganjuk, sedangkan Yubagyo diekskusi di Lengkong, Kertosono.

Agenda bersama
Ribuan korban sudah jatuh. Mereka yang terbunuh tak mungkin dihidupkan kembali. Bersamaan dengan itu, jutaan rakyat Indonesia, hingga kini masih terus dihinggapi dendam dan syakwasangka, akibat peristiwa yang tak pernah mereka mengerti pula. Jika demikian halnya, bukankah memang penting untuk mencari kejelasan duduk persoalan yang menyelimuti tragedi 1965 itu? Bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Apalagi untuk mengobarkan dendam.
Sebaliknya, untuk mencari titik masuk rekonsiliasi, saling memaafkan satu sama lain, mengingat mereka--baik yang membantai atau dibantai--pada hakekatnya adalah sama-sama korban. Korban ketidak-mengertian, dan korban konflik elite politik saat itu. Inilah barangkali agenda bersama bangsa ini; mencari kejelasan sejarah untuk kemudian saling memaafkan. Sudah sepantasnya kita mendukung upaya rekonsiliasi seperti itu, bukan malah menjegalnya.

Artikel Bersangkutan

1 comments:

Sastro blogsaid...

tanya gan, walikota madiun sumadi dan yubagyo di bawa tentara dan di eksekusi kenapa... Kalau bupati kardiono memang berasal dari calon bupati Partai K I

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila