Mengapakah digunakan istilah NU-PKB dalam tulisan ini? Karena NU memiliki begitu banyak warga yang memberikan suara dalam pemilu tahun ini, melalui berbagai peserta pemiilu. Baik dalam pemilu legislativ, maupun pemilu capres-cawapres putaran pertama dan kedua. Namun, yang masih merupakan problem justru adalah warga NU kebanyakan dan mereka terkait dengan PKB. Dengan kata lain, para warga NU yang ada di PPP, PDI-P, Partai Golkar dan lain-lain, dapat menerima/mengikuti keputusan para pemimpin parpol-parpol mereka. Sementara yang tidak dapat menerima keputusan para pemimpin mereka, bergabung dengan warga NU-PKB atau mengikuti “keterpecahan” para pemimpin PKB. Cara meninjau seperti ini, sangatlah rasional, dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Jadi, kita tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh para warga pemilih PKB dari NU.
Dalam tubuh PKB sendiri ada dua buah pendapat utama, yaitu mereka akan memberikan suara dalam pemilu capres-cawapres putaran kedua 20 September 2004 yang akan datang, dan mereka yang tidak akan memberikan suara alias Golput. Penulis sendiri sebagai Ketua Umum Dewan Syura PKB jelas akan melakukan tindakan Golput, sebagai protes atas kecerobohan, kecurangan, manupulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi penyelenggara rangkaian pemilu tersebut. Sementara mereka yang memberikan suara itu, akan terbagi menjadi pemberi suara untuk Mega-Hasyim (Emha), atau untuk Susilo Bambang Yudoyono – Muhammad Yusuf Kalla (SBY-MJK).
Memang dahulu ada “perkiraan” dari staf penulis, bahwa pihak golput akan mencapai sekitar 60% dari mereka terdaftar sebagai para pemilih. Kita tidak tahun, apakah apakah perkiraan di atas masih berlaku atau tidak.
Perubahan itu dapat saja berupa kenaikan atau penurunan jumlah mereka yang tadinya akan bersikap golput. Mengapakah demikian? Karena cara-cara yang digunakan para pemimpin pendukung Emha maupun SBY-MJK dapat saja dinilai baik atau justru sebaliknya, oleh para pemilih itu. Dapat dinilai terlalu agresif dan berwatak “memaksa”, atau justru memang demikian kebutuhannya. Ini adalah bagian yang paling sulit diterka oleh para pengamat dan peneliti. Memang benar apa yang dikatakan orang, bahwa sebuah pemilu adalah “munculnya hati nurani” ke atas permukaan. Apa yang tadinya tidak tampak lalu muncul ke permukaan begitu saja, terkadang berupa “pemberontakan” yang tidak disangka-sangka, terkadang pula menjadi ‘pengukuhan pendapat’ yang tidak diketahui/perkirakan sebelumnya.
Walaupun demikian, suara golput yang cukup besar, akan menentukan langkah-langkah bangsa ini berikutnya. Kalau suara golput menjadi pemenang (katakanlah 60% seperti diperkirakan semula), maka pemenang pemilu presiden adalah minoritas, dan harus memperhitungkan suara mayoritas itu, atau apa yang diperkirakan sebagai kehendak-kehendaknya. Sebaliknya, kalau suara golput itu lebih kecil dari ‘perolehannya’ dalam pemilu putaran pertama maka “keharusan” melakukan perubahan-perubahan dalam sistem politik kita tidak memperoleh dorongan yang kuat
Sebagaimana diketahui dalam pemilu putaran pertama, menurut orang dalam dilingkungan KPU sendiri, capaian golput adalah 38% dari jumlah para pemilih yang tercatat. Karenanya pemilu putaran kedua ini dapat dilihat sebagai pemberian kepercayaan kepada pemerintah, atau sebaliknya.
Tetapi penulis ingin melihat masalah ini dari sudut lain, yaitu dari tegaknya demokrasi “yang sebenarnya” di negeri kita. Ada 2 macam pandangan dalam hal ini, yang menjadi latar belakang dalam melihat pemilu presiden tahap berikutnya. Pertama, pandangan bahwa rangkaian pemilu tahun 2004, telah meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi yang penuh di kemudian hari. Karena itu, digunakan istilah “Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat” dan sebagainya. Dalam pandangan ini, betapapun banyaknya kekurangan dan kesalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, ia adalah tahapan yang harus dilalui bangsa ini dalam perjalanan menuju demokrasi. Katakanlah, ini sebagai pandangan positif tentang penyelenggaraan rangkaian pemilu pada tahun ini, sehingga tidak perlu diselenggarakan pemilu lagi hingga tahun 2009 nanti.
Sebaliknya, pandangan kedua menilai rangkaian pemilu tahun ini adalah lelucon yang tidak lucu dalam kehidupan bangsa kita. Dasar-dasar demokrasi, mengharuskan adanya kejujuran dari pihak penyelenggara, dalam hal ini KPU. Tanpa kejujuran seperti itu, pemilu hanya akan menghasilkan para pemenang yang tidak jujur pula, para pemimpin yang dihasilkan oleh rangkaian kegiatan pemilu itu sendiri hanya akan membela kepentingan masing-masing, dan tidak dapat diharapkan memimpin bangsa ini di masa-masa sulit, yang akan dihadapi oleh bangsa ini. Dalam pandangan ini, proses berpemilu akan sangat menentukan masa depan bangsa, daripada hasilnya. Proses dan hasil tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran berdemokrasi oleh bangsa manapun.
Tergantung kepada rakyat akan mengambil pilihan mana diantara kedua pandangan di atas. Jika mengikuti pandangan pertama, maka mereka akan memberikan suara kepada kedua pasanagan capres dalam kegiatan di atas. Kalau mengikuti pandangan kedua, suara golput akan bertambah lebih besar dari perkiraan 60% jumlah pemilih. Penulis mengikuti paham kedua ini, karena ia sejak dulu memang yakin bahwa demokrasi yang benar hanya kan terwujud melalui cara-cara yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Menurut pandangannya kejujuran peyelenggaraan pemilu menjadi syarat mutlak yang tidak dapat ditinggalkan. Memang hidup berdemokrasi adalah sesuatu yang berproses sangat panjang (80-90 tahun), tetapi kalau permulannya keliru hasil akhirnya juga akan salah.
Dalam pandangan penulis, tanggungjawab atas “ketidakpastian” yang ada saat ini bukan hanya pada kalangan para pimpinan PKB saja. Pengurus NU di berbagai tingkatan, ataupun para ulama yang harus memimpin masyarakat, kesemuanya memiliki tanggung jawab yang sama kepada masa depan bangsa kita. Karena itu, para pemimpin NU-PKB harus menentukan pilihan mereka sendiri diantara kedua macam “tuntutan” di atas. Ini menghendaki agar para pemimpin dan pengurus itu tidak memikirkan kepentingan mereka sendiri, melainkan mementingkan tegaknya demokrasi dalam kehidupan bangsa. Ini adalah hal yang sangat sulit dilakukan, karena pada umumnya para pemimpin tidak hanya mementingkan “kepentingan umat.” Bukankah sangat sulit untuk meninggalkan pandangan lama dengan pandangan yang baru?
Saat ini, NU-PKB ditunggu-tunggu oleh bangsa kita, sebagai pembawa demokrasi. Ketentuan fiqh bahwa seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan orang banyak, justru menimbulkan diktum fiqh: “Tindakan dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah). Ini berarti, baik para pemimpin rakyat awam maupun para ulama yang berjuang untuk demokrasi (bukanya untuk kepentingan diri sendiri), harus memahami proses itu. Sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilaksanakan, bukan?
Dalam tubuh PKB sendiri ada dua buah pendapat utama, yaitu mereka akan memberikan suara dalam pemilu capres-cawapres putaran kedua 20 September 2004 yang akan datang, dan mereka yang tidak akan memberikan suara alias Golput. Penulis sendiri sebagai Ketua Umum Dewan Syura PKB jelas akan melakukan tindakan Golput, sebagai protes atas kecerobohan, kecurangan, manupulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi penyelenggara rangkaian pemilu tersebut. Sementara mereka yang memberikan suara itu, akan terbagi menjadi pemberi suara untuk Mega-Hasyim (Emha), atau untuk Susilo Bambang Yudoyono – Muhammad Yusuf Kalla (SBY-MJK).
Memang dahulu ada “perkiraan” dari staf penulis, bahwa pihak golput akan mencapai sekitar 60% dari mereka terdaftar sebagai para pemilih. Kita tidak tahun, apakah apakah perkiraan di atas masih berlaku atau tidak.
Perubahan itu dapat saja berupa kenaikan atau penurunan jumlah mereka yang tadinya akan bersikap golput. Mengapakah demikian? Karena cara-cara yang digunakan para pemimpin pendukung Emha maupun SBY-MJK dapat saja dinilai baik atau justru sebaliknya, oleh para pemilih itu. Dapat dinilai terlalu agresif dan berwatak “memaksa”, atau justru memang demikian kebutuhannya. Ini adalah bagian yang paling sulit diterka oleh para pengamat dan peneliti. Memang benar apa yang dikatakan orang, bahwa sebuah pemilu adalah “munculnya hati nurani” ke atas permukaan. Apa yang tadinya tidak tampak lalu muncul ke permukaan begitu saja, terkadang berupa “pemberontakan” yang tidak disangka-sangka, terkadang pula menjadi ‘pengukuhan pendapat’ yang tidak diketahui/perkirakan sebelumnya.
Walaupun demikian, suara golput yang cukup besar, akan menentukan langkah-langkah bangsa ini berikutnya. Kalau suara golput menjadi pemenang (katakanlah 60% seperti diperkirakan semula), maka pemenang pemilu presiden adalah minoritas, dan harus memperhitungkan suara mayoritas itu, atau apa yang diperkirakan sebagai kehendak-kehendaknya. Sebaliknya, kalau suara golput itu lebih kecil dari ‘perolehannya’ dalam pemilu putaran pertama maka “keharusan” melakukan perubahan-perubahan dalam sistem politik kita tidak memperoleh dorongan yang kuat
Sebagaimana diketahui dalam pemilu putaran pertama, menurut orang dalam dilingkungan KPU sendiri, capaian golput adalah 38% dari jumlah para pemilih yang tercatat. Karenanya pemilu putaran kedua ini dapat dilihat sebagai pemberian kepercayaan kepada pemerintah, atau sebaliknya.
Tetapi penulis ingin melihat masalah ini dari sudut lain, yaitu dari tegaknya demokrasi “yang sebenarnya” di negeri kita. Ada 2 macam pandangan dalam hal ini, yang menjadi latar belakang dalam melihat pemilu presiden tahap berikutnya. Pertama, pandangan bahwa rangkaian pemilu tahun 2004, telah meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi yang penuh di kemudian hari. Karena itu, digunakan istilah “Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat” dan sebagainya. Dalam pandangan ini, betapapun banyaknya kekurangan dan kesalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, ia adalah tahapan yang harus dilalui bangsa ini dalam perjalanan menuju demokrasi. Katakanlah, ini sebagai pandangan positif tentang penyelenggaraan rangkaian pemilu pada tahun ini, sehingga tidak perlu diselenggarakan pemilu lagi hingga tahun 2009 nanti.
Sebaliknya, pandangan kedua menilai rangkaian pemilu tahun ini adalah lelucon yang tidak lucu dalam kehidupan bangsa kita. Dasar-dasar demokrasi, mengharuskan adanya kejujuran dari pihak penyelenggara, dalam hal ini KPU. Tanpa kejujuran seperti itu, pemilu hanya akan menghasilkan para pemenang yang tidak jujur pula, para pemimpin yang dihasilkan oleh rangkaian kegiatan pemilu itu sendiri hanya akan membela kepentingan masing-masing, dan tidak dapat diharapkan memimpin bangsa ini di masa-masa sulit, yang akan dihadapi oleh bangsa ini. Dalam pandangan ini, proses berpemilu akan sangat menentukan masa depan bangsa, daripada hasilnya. Proses dan hasil tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran berdemokrasi oleh bangsa manapun.
Tergantung kepada rakyat akan mengambil pilihan mana diantara kedua pandangan di atas. Jika mengikuti pandangan pertama, maka mereka akan memberikan suara kepada kedua pasanagan capres dalam kegiatan di atas. Kalau mengikuti pandangan kedua, suara golput akan bertambah lebih besar dari perkiraan 60% jumlah pemilih. Penulis mengikuti paham kedua ini, karena ia sejak dulu memang yakin bahwa demokrasi yang benar hanya kan terwujud melalui cara-cara yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Menurut pandangannya kejujuran peyelenggaraan pemilu menjadi syarat mutlak yang tidak dapat ditinggalkan. Memang hidup berdemokrasi adalah sesuatu yang berproses sangat panjang (80-90 tahun), tetapi kalau permulannya keliru hasil akhirnya juga akan salah.
Dalam pandangan penulis, tanggungjawab atas “ketidakpastian” yang ada saat ini bukan hanya pada kalangan para pimpinan PKB saja. Pengurus NU di berbagai tingkatan, ataupun para ulama yang harus memimpin masyarakat, kesemuanya memiliki tanggung jawab yang sama kepada masa depan bangsa kita. Karena itu, para pemimpin NU-PKB harus menentukan pilihan mereka sendiri diantara kedua macam “tuntutan” di atas. Ini menghendaki agar para pemimpin dan pengurus itu tidak memikirkan kepentingan mereka sendiri, melainkan mementingkan tegaknya demokrasi dalam kehidupan bangsa. Ini adalah hal yang sangat sulit dilakukan, karena pada umumnya para pemimpin tidak hanya mementingkan “kepentingan umat.” Bukankah sangat sulit untuk meninggalkan pandangan lama dengan pandangan yang baru?
Saat ini, NU-PKB ditunggu-tunggu oleh bangsa kita, sebagai pembawa demokrasi. Ketentuan fiqh bahwa seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan orang banyak, justru menimbulkan diktum fiqh: “Tindakan dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah). Ini berarti, baik para pemimpin rakyat awam maupun para ulama yang berjuang untuk demokrasi (bukanya untuk kepentingan diri sendiri), harus memahami proses itu. Sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilaksanakan, bukan?
1 comments:
THE GUSDURIANS: FORUM PECINTA, PENERUS & PENGEMBANG PEMIKIRAN GUS DUR
Sahabat, munajat Ibn Atho'illah As Sakandary sangat relevan dg kondisi kita yg mencekam: "Ya Allah, Engkau adalah dzat yg telah memancarkan cahaya-2 di dalam hati kekasih Mu. Engkau telah menghilangkan rasa keduniaan dari hati orang-2 yg cinta kepada Mu. Engkau adalah dzat yang menenteramkan mereka sekiranya dunia meresahkan mereka. Engkau memberi petunjuk mereka hingga menjadi nyata jalan kebenaran.
Post a Comment