Al Andang L Binawan
Bukan rahasia lagi, budaya hukum belum berkembang dengan baik di republik ini. Secara umum, pokok masalahnya terbagi dua. Pertama, produk hukumnya tidak cukup memuaskan. Kedua, pelaksanaannya juga amat memprihatinkan. Sebagai akibat, hukum biasanya dipandang oleh kebanyakan orang sebagai sesuatu yang mengancam daripada membantu. Untuk mengatasinya, kaitan dengan nilai-nilai HAM perlu diperkuat. Itulah yang akan diusulkan, khususnya dalam kaitan Hari HAM 10 Desember ini.
Tak perlu dipertanyakan lagi, fungsi hukum adalah menjamin keadilan dan ketertiban masyarakat. Dari situ, dengan gampang orang tahu bahwa kesesakan yang ditimbulkan oleh hukum karena, setidaknya di republik ini, terlalu menekankan fungsi kedua. Hukum hanya difungsikan sebagai pagar daripada garis panduan arah. Yang kemudian dirasakan, orang sumpek hidup karena sekat-sekat pembatas. Beberapa gejala umum di bawah ini menunjukkan hal itu.
Gejala pertama yang menampakkan minimnya jaminan keadilan tampak dalam produk hukum. Sinyalemen Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia (Kompas, 13/11/2004) patut diperhatikan. Menurut pengamatan PSHK, lembaga legislatif periode 1999-2004 telah menghasilkan 172 undang-undang, pencapaian yang luar biasa dibandingkan dengan pencapaian Dewan Perwakilan Rakyat periode sebelumnya.
Hanya, perlu dicatat, mutu undang-undang itu diragukan. Mutu yang dimaksud tentu bukan hanya sekadar mutu teknis perumusan, tetapi juga muatan keadilan yang diusung. Jika melihat prosesnya saja relatif "kacau", ditambah campur tangan eksternal, mutu produk undang-undang itu layak diragukan. Bertubi-tubinya tuntutan peninjauan kembali atas undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi adalah gejala lain.
Gejala pertama yang menampakkan minimnya jaminan keadilan tampak dalam produk hukum. Sinyalemen Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia (Kompas, 13/11/2004) patut diperhatikan. Menurut pengamatan PSHK, lembaga legislatif periode 1999-2004 telah menghasilkan 172 undang-undang, pencapaian yang luar biasa dibandingkan dengan pencapaian Dewan Perwakilan Rakyat periode sebelumnya.
Hanya, perlu dicatat, mutu undang-undang itu diragukan. Mutu yang dimaksud tentu bukan hanya sekadar mutu teknis perumusan, tetapi juga muatan keadilan yang diusung. Jika melihat prosesnya saja relatif "kacau", ditambah campur tangan eksternal, mutu produk undang-undang itu layak diragukan. Bertubi-tubinya tuntutan peninjauan kembali atas undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi adalah gejala lain.
Gejala kedua, aneka tuntutan perbaikan kinerja hakim, jaksa, polisi, dan pengacara jelas menunjukkan bagaimana penegakan hukum tidak berjalan semestinya. Kekecewaan masyarakat terhadap penegak hukum bisa tercermin dalam jajak pendapat Kompas (29/11) lalu: terhadap polisi, 59,1 persen responden; terhadap hakim 56,2 persen; terhadap jaksa 54,8 persen, dan terhadap advokat dan pengacara 46,8 persen. Ditambah lagi, arogansi penegak hukum yang mengambinghitamkan pengemudi bus Garuda dalam "tragedi tol Jagorawi" Rabu (17/11/2004), serta pengosongan paksa SLTP Negeri 56 Jakarta dengan mengatasnamakan hukum, membuat hukum tampil sebagai sarana pemaksaan. Wajar jika orang menjadi sumpek di dalamnya.
Kesumpekan itu kian menjadi-jadi jika tidak sedikit orang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang bisa bebas dari tuntutan hukum. Hal ini bukan hanya memberi kesan, hukum itu mahal, tetapi juga makin menampilkan hukum adalah pagar pelindung orang-orang gedean. Segala bentuk liputan kriminalitas dalam televisi memperbesar kesan itu karena kebanyakan dari mereka yang bisa dijerat hukum adalah orang-orang kecil.
Cakrawala HAM
Salah satu faktor yang ikut berpengaruh dalam penekanan berlebihan fungsi hukum sebagai penjaga ketertiban adalah relatif kaburnya isi dan makna keadilan itu. Kekaburan itu pula yang memunculkan gagasan keadilan legal prosedural, yang antara lain tampak dalam formalisme dan positivisme hukum. Gagasan keadilan seperti ini pada gilirannya menyokong fungsi untuk ketertiban tadi.
Kaburnya makna keadilan sebagai dalih penekanan berlebihan pada ketertiban atau kepastian sekarang ini tidak lagi bisa dipertahankan. Dalam hal ini Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 10 Desember 1948, yang lalu diikuti The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966, bisa dikatakan menjawab kebutuhan isi dan makna keadilan itu. Benar, International Bill of Rights ini (sebutan untuk ketiga dokumen itu) perlu disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat tertentu, tetapi setidaknya kesepakatan komunitas internasional ini bisa dijadikan acuan.
Yang perlu disadari dari dokumen internasional itu adalah ada dua gagasan keadilan yang dikristalkan. Di satu sisi keduanya tampak bertolak belakang, tetapi di sisi lain, justru dengan menyadari keterbatasan masing-masing, keduanya saling melengkapi dan karena itu tidak terpisahkan.
Gagasan keadilan yang diusung ICCPR adalah keadilan yang minimal. Artinya, yang dicita-citakan adalah adanya kebebasan individu yang tidak dicampuri pihak lain. Kesan minimalnya tampak dalam tidak diperlukannya campur tangan pihak lain, termasuk negara. Negara dianggap sebagai peronda malam. Sifat minimal ini menampakkan kesan ICCPR sebagai batas.
Kritik terhadap gagasan keadilan ini, selain sifat minimal, adalah sifat borjuisnya. Yang dimaksud adalah keadilan seperti ini hanya bisa dimiliki orang-orang yang secara ekonomis mampu. Karena itu, keadilan yang dicita-citakan menjadi mahal. Jika tidak hati-hati, penekanan pada hak-hak sipil dan politik membuat makin kuatnya kesumpekan hukum yang sudah terjadi.
ICESCR punya warna keadilan yang berbeda dengan ICCPR karena gagasan keadilannya bukan lagi minimal, meski tidak bisa disebut maksimal. Dengan menekankan hak hidup, hak akan pendidikan, hak akan pekerjaan yang layak, hak atas perumahan, dan beberapa hak lagi, ICCPR menyentuh keadilan yang didambakan rakyat banyak, bukan hanya mereka yang mampu.
Perlunya campur tangan positif dari pihak luar, khususnya pemerintah, juga memberi warna bahwa keadilan yang diusung ICESCR bukan keadilan minimal belaka. Disini, ICESCR tampak sebagai panduan dan arah.
Pijar Yang Melegakan
Lepas dari masalah keterbatasan negara dalam memenuhi hak-hak warganya, gagasan keadilan yang cukup konkret itu, apalagi bukan sekadar keadilan minimal, bisa menjadi pijar harapan dalam kesumpekan hukum tadi. Tentu saja diandaikan di sini, gagasan keadilan dalam The International Bill of Rights tadi, khususnya ICESCR, karena sifatnya yang mengarahkan, bukan hanya menjadi batas, sungguh dijadikan cakrawala bagi hukum kita. Akan lebih baik jika kovenan ini segera diratifikasi dan dijadikan acuan resmi seluruh produk hukum kita.
Dalam penegakan, ratifikasi itu pun menjadi penting pertama-tama karena akan ada kontrol dari luar (meski masih relatif lemah) dalam upaya menjamin dan memenuhi hak-hak yang tercantum dalam ICESCR. Kedua, pasal-pasal ICESCR diharapkan akan dijadikan premis mayor yang obyektif dalam penalaran hukum. Dengan premis mayor yang obyektif dan positif (tertulis), diharapkan "ruang bermain hakim" dalam merumuskan amar putusan menjadi lebih sempit dan kemudian bisa pula dikontrol secara obyektif. Dari sini, diharapkan muncul suatu hukum yang lebih melegakan dan suatu dorongan berkembangnya budaya hukum dalam masyarakat kita.
Tentu, masih banyak masalah yang menghadang. Tetapi, dengan keyakinan bahwa The International Bill of Rights, khususnya ICESCR, bisa memberi sedikit pijar harapan dalam membangun hukum yang melegakan, perlulah dilakukan langkah yang konkret. Meratifikasi ICESCR adalah langkah awal, dan tidak akan begitu saja menyelesaikan masalah. Tetapi, tanpa langkah awal ini, kesumpekan masih akan bergelayut dalam wajah hukum kita dan budaya hukum hanya akan menjadi utopia.
Al Andang L Binawan Pengajar STF Driyarkara, Jakarta
Document by A Rifa’i Tedjo HP.081.334567010 Mail : fai_193@yahoo.com
Kesumpekan itu kian menjadi-jadi jika tidak sedikit orang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang bisa bebas dari tuntutan hukum. Hal ini bukan hanya memberi kesan, hukum itu mahal, tetapi juga makin menampilkan hukum adalah pagar pelindung orang-orang gedean. Segala bentuk liputan kriminalitas dalam televisi memperbesar kesan itu karena kebanyakan dari mereka yang bisa dijerat hukum adalah orang-orang kecil.
Cakrawala HAM
Salah satu faktor yang ikut berpengaruh dalam penekanan berlebihan fungsi hukum sebagai penjaga ketertiban adalah relatif kaburnya isi dan makna keadilan itu. Kekaburan itu pula yang memunculkan gagasan keadilan legal prosedural, yang antara lain tampak dalam formalisme dan positivisme hukum. Gagasan keadilan seperti ini pada gilirannya menyokong fungsi untuk ketertiban tadi.
Kaburnya makna keadilan sebagai dalih penekanan berlebihan pada ketertiban atau kepastian sekarang ini tidak lagi bisa dipertahankan. Dalam hal ini Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 10 Desember 1948, yang lalu diikuti The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966, bisa dikatakan menjawab kebutuhan isi dan makna keadilan itu. Benar, International Bill of Rights ini (sebutan untuk ketiga dokumen itu) perlu disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat tertentu, tetapi setidaknya kesepakatan komunitas internasional ini bisa dijadikan acuan.
Yang perlu disadari dari dokumen internasional itu adalah ada dua gagasan keadilan yang dikristalkan. Di satu sisi keduanya tampak bertolak belakang, tetapi di sisi lain, justru dengan menyadari keterbatasan masing-masing, keduanya saling melengkapi dan karena itu tidak terpisahkan.
Gagasan keadilan yang diusung ICCPR adalah keadilan yang minimal. Artinya, yang dicita-citakan adalah adanya kebebasan individu yang tidak dicampuri pihak lain. Kesan minimalnya tampak dalam tidak diperlukannya campur tangan pihak lain, termasuk negara. Negara dianggap sebagai peronda malam. Sifat minimal ini menampakkan kesan ICCPR sebagai batas.
Kritik terhadap gagasan keadilan ini, selain sifat minimal, adalah sifat borjuisnya. Yang dimaksud adalah keadilan seperti ini hanya bisa dimiliki orang-orang yang secara ekonomis mampu. Karena itu, keadilan yang dicita-citakan menjadi mahal. Jika tidak hati-hati, penekanan pada hak-hak sipil dan politik membuat makin kuatnya kesumpekan hukum yang sudah terjadi.
ICESCR punya warna keadilan yang berbeda dengan ICCPR karena gagasan keadilannya bukan lagi minimal, meski tidak bisa disebut maksimal. Dengan menekankan hak hidup, hak akan pendidikan, hak akan pekerjaan yang layak, hak atas perumahan, dan beberapa hak lagi, ICCPR menyentuh keadilan yang didambakan rakyat banyak, bukan hanya mereka yang mampu.
Perlunya campur tangan positif dari pihak luar, khususnya pemerintah, juga memberi warna bahwa keadilan yang diusung ICESCR bukan keadilan minimal belaka. Disini, ICESCR tampak sebagai panduan dan arah.
Pijar Yang Melegakan
Lepas dari masalah keterbatasan negara dalam memenuhi hak-hak warganya, gagasan keadilan yang cukup konkret itu, apalagi bukan sekadar keadilan minimal, bisa menjadi pijar harapan dalam kesumpekan hukum tadi. Tentu saja diandaikan di sini, gagasan keadilan dalam The International Bill of Rights tadi, khususnya ICESCR, karena sifatnya yang mengarahkan, bukan hanya menjadi batas, sungguh dijadikan cakrawala bagi hukum kita. Akan lebih baik jika kovenan ini segera diratifikasi dan dijadikan acuan resmi seluruh produk hukum kita.
Dalam penegakan, ratifikasi itu pun menjadi penting pertama-tama karena akan ada kontrol dari luar (meski masih relatif lemah) dalam upaya menjamin dan memenuhi hak-hak yang tercantum dalam ICESCR. Kedua, pasal-pasal ICESCR diharapkan akan dijadikan premis mayor yang obyektif dalam penalaran hukum. Dengan premis mayor yang obyektif dan positif (tertulis), diharapkan "ruang bermain hakim" dalam merumuskan amar putusan menjadi lebih sempit dan kemudian bisa pula dikontrol secara obyektif. Dari sini, diharapkan muncul suatu hukum yang lebih melegakan dan suatu dorongan berkembangnya budaya hukum dalam masyarakat kita.
Tentu, masih banyak masalah yang menghadang. Tetapi, dengan keyakinan bahwa The International Bill of Rights, khususnya ICESCR, bisa memberi sedikit pijar harapan dalam membangun hukum yang melegakan, perlulah dilakukan langkah yang konkret. Meratifikasi ICESCR adalah langkah awal, dan tidak akan begitu saja menyelesaikan masalah. Tetapi, tanpa langkah awal ini, kesumpekan masih akan bergelayut dalam wajah hukum kita dan budaya hukum hanya akan menjadi utopia.
Al Andang L Binawan Pengajar STF Driyarkara, Jakarta
Document by A Rifa’i Tedjo HP.081.334567010 Mail : fai_193@yahoo.com
3 comments:
Pendidikan Network Indonesia - Informasi Pendidikan Beasiswa Forum ...
Pendidikan Net ini dimaksudkan untuk merangkum informasi Pendidikan, Beasiswa, Forum Guru & Siswa, Perkembangan Pendidikan dan Manajemen Berbasis Sekolah ...
Sertifikasi Guru - Menganai Kami - Uji Sertifikasi - Halaman 2
www.pendidikan.net
Selamat Datang di Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Terdapat profil lembaga, publikasi, laporan, bahan pendidikan HAM, agenda kegiatan dan berita.
www.komnasham.go.id
My Little Blog Exposed
Blogger,Ham Radio Operator, Blog Maker Interest on QRP, Antenna Design, eBook, GPS, Online Money Maker QTH : Taman Sutera, Kajang ...
http://9w2pga.blogspot.com/
Post a Comment