Thursday, February 10, 2011

Penegakan Hukum atau Komoditas Politik?

Oleh Ismail Saleh SH

ANGGOTA Komisi II DPR, Firman Jaya Deli, menilai kinerja Kejaksaan tidak mencerminkan keseriusan. "Tidak ada paradigma yang jelas dan tegas, terukur, serta akuntabel. Yang ada justru semakin menjadikan tindakan hukum dengan sistem hukum kita hanya semacam instrumen yang bisa diperalat demi kepentingan sesaat." Begitulah ia mengatakan sebagaimana dikutip oleh pers bulan lalu (Kompas, 14/6/2003).
Ismail Saleh SH
Penegakan hukum sesungguhnya bertujuan untuk menegakkan kebenaran obyektif, baik formal maupun material, yang ditopang dengan kaidah berpikir yang masuk akal (logical reasoning).
Dalam perkara HM Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia yang sudah berjalan lima tahun lamanya, ternyata bukan kebenaran obyektif yang ditegakkan, melainkan berubah menjadi pembenaran subyektif untuk membenarkan tindakan hukum yang diambil. Tindakan hukum yang mestinya ditopang dengan pertimbangan yang masuk akal terkesan menjadi tindakan yang akal-akalan saja. Kalau akal sudah mulai ditinggalkan, apalagi nuraninya.

Perkara HM Soeharto sempat dihentikan penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor Prin 081/JA/10/1999 tanggal 11 Oktober 1999. Alasan penghentian penyidikan adalah karena unsur "melawan hukum, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan", memang tidak terdapat cukup bukti dan tidak dapat dibuktikan. Penyidikan terhadap HM Soeharto adalah dalam kedudukannya sebagai ketua yayasan.
Ismail Saleh SH
Namun, dua bulan kemudian, yakni pada tanggal 6 Desember 1999, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan dan Surat Perintah Penyidikan lagi yang isinya antara lain sebagai berikut: "SP3 11 Oktober 1999 adalah semata-mata hanya penyidikan terhadap Yayasan (Dharmais, Supersemar, dan Dakab). Ditemukan hal-hal baru untuk membuka kembali penyidikan karena HM Soeharto selaku Presiden yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan berupa PP dan Keppres, diduga telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan tersebut sebagai sarana untuk menghimpun dana bagi yayasan-yayasan yang diketuainya dan atau untuk kepentingan/keuntungan keluarga dan kroni-kroninya yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara".

Jadi, di sini sudah berubah posisi hukum HM Soeharto, yaitu tidak lagi sebagai ketua yayasan, tetapi berganti selaku Presiden. Kalau sebagai ketua yayasan tidak terdapat cukup bukti, ya... dicari saja kesalahannya selaku Presiden. Ini akal- akalan.
KITA ikuti saja mengenai posisi hukum HM Soeharto dalam kasus tersebut, apakah masuk akal atau tidak. Bertambah kusut atau tidak.

Ternyata rumusan hukumnya macam-macam, yaitu "selama menjabat Presiden" (Surat Perintah Penyidikan tanggal 28/3/2000, 5/5/2000, 23/5/2000, dan 6/6/2000), "sewaktu menjabat Presiden" (Surat Perintah Penahanan Kota 13/4/2000), tetapi dalam Surat Perintah Pengalihan Penahanan Kota menjadi Penahanan Rumah 29 Mei 2000 adalah "baik selaku Presiden maupun selaku Ketua Yayasan". Kok, bisa begitu?
Rumusan itu lebih tidak masuk akal lagi dalam Surat Perintah Penahanan di tingkat Penuntutan tanggal 3 Agustus 2000 yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, yaitu "selaku Ketua Yayasan diduga telah melakukan tindak pidana korupsi/menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan antara lain mengeluarkan peraturan berupa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden." Konstruksi hukum macam apa yang mau dipakai penuntut umum untuk menduga ketua yayasan, HM Soeharto, kok dikatakan telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan dengan mengeluarkan PP dan keppres? Mana ada seorang ketua yayasan mempunyai kekuasaan mengeluarkan PP dan keppres?
Ini sudah kalut cara berpikirnya, tidak bisa membedakan antara HM Soeharto sebagai presiden dan ketua yayasan, apalagi main serampangan saja memosisikan HM Soeharto dengan rumusan "baik selaku Presiden maupun selaku ketua yayasan."

Kalau sudah demikian keadaannya, itu bukan murni penegakan hukum lagi, tetapi sudah ada tendensi ke arah "politisasi hukum." Paradigmanya berubah dari paradigma hukum ke paradigma politik. Dimensi politiknya lebih kental ketimbang dimensi hukumnya. Mengapa demikian?
Dari awal saja sudah tampak warna politiknya dengan adanya TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang pemberantasan KKN terhadap siapa pun juga, termasuk mantan HM Soeharto. Bergulirlah tema KKN yang dipakai sebagai political issue untuk menghabisi Soeharto yang dianggap sebagai representasi Orde Baru.

Sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat untuk Pemberantasan Korupsi kembali mendesak DPR melalui Fraksi Kebangkitan Bangsa untuk membentuk Pansus KKN mantan Presiden Soeharto setelah tanggal 5 Juli lalu mendatangi Fraksi Reformasi (Kompas, 30/6). Ini akal- akalan politik saja.
Dari pada ngurusin perkara HM Soeharto yang menurut pendapat hukum Mahkamah Agung secara yuridis dan medis tidak dapat disidangkan lagi, mengapa tidak mendesak pembentukan Pansus KKN Orde Reformasi yang praktiknya lebih menggila dan mengganas dibandingkan Orde Baru? Dalam era yang digembar-gemborkan supremasi hukum sekarang ini, ternyata politik yang dijadikan panglima, bukan hukum.
Karena itu, Jumhur Hidayat dari Center for Information and Development Studies (CIDES) pernah menyatakan bahwa pengadilan terhadap Pak Harto telah menjadi komoditas politik bagi pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

Apakah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri juga ikut-ikutan menjadikan perkara HM Soeharto sebagai komoditas politik menjelang Sidang MPR dan pemilu yang akan datang? Itu yang patut dipertanyakan.
Ismail Saleh Mantan Jaksa Agung yang Juga Mantan Menteri Kehakiman.

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila