Oleh Satjipto Rahardjo
PERTANYAAN itu dilontarkan karena pendidikan hukum nyaris tak pernah disentuh di tengah ingar-bingar sorotan buruknya penampilan hukum kita, baik oleh kalangan domestik maupun internasional.
Lazimnya orang hanya menyoroti hal-hal "konvensional", seperti institusi, sistem, dan perilaku, tetapi tidak ada yang menyoalkan "kontribusi" pendidikan hukum terhadap kejadian serta praktik-praktik negatif dan destruktif terhadap hukum di Indonesia kini. Apakah pendidikan hukum harus ada di luar carut-marut hukum dewasa ini dan tidak ada hubungan sama sekali? Atau kita perlu membawa pendidikan hukum ke tengah masalah bangsa kini? Itulah yang menjadi pokok bahasan tulisan ini.
Dari mana pelaku berasal?
Pembicaraan mengenai peran pendidikan hukum dimulai dengan pertanyaan, "dari mana para aktor hukum sekarang berasal?", terutama hakim, jaksa, dan advokat. Hampir dapat dipastikan, bagian terbesar dari mereka berasal dari "pabrik-pabrik" dalam negeri, alias fakultas hukum di Indonesia, negeri maupun swasta.
Para pelaku atau profesional itu mengalami inisiasi bertahun-tahun, sebelum dinyatakan lulus sebagai sarjana hukum. Dengan demikian, mereka memiliki paspor ke dalam praktik sebagai legal professionals.
Selama bertahun-tahun mereka tidak hanya diekspos terhadap pengetahuan dan seluk-beluk hukum, tetapi secara agak dramatis, juga mengalami "penyucian otak". Proses seperti itu bisa terjadi karena pendidikan hukum tidak hanya memberi informasi, tetapi sudah sampai kepada pengubahan cara pandang dan berpikir.
Menjalani masa inisiasi, mengutip Unger, adalah masuk ke alam otonomi hukum, termasuk otonomi dalam metodologi. Dengan demikian, maka menjalankan hukum adalah menerapkan suatu metodologi atau cara berpikir yang khusus, yang biasa disebut legal thinking.
Mereka yang sudah mengalami inisiasi dan "cuci-otak" itulah yang lalu menjalankan peran sebagai pelaku hukum. Bisa dibayangkan bagaimana erat kaitan antara pendidikan hukum dan pengemban profesi, seperti advokat, hakim, dan jaksa. Berdasar uraian itu, tentunya amat tidak pantas untuk mengucilkan (peran) pendidikan hukum dalam mewarnai dunia dan praktik hukum Indonesia dewasa ini.
Tradisi penjaga "status quo"
Pembicaraan mengenai peran pendidikan hukum dimulai dengan pertanyaan, "dari mana para aktor hukum sekarang berasal?", terutama hakim, jaksa, dan advokat. Hampir dapat dipastikan, bagian terbesar dari mereka berasal dari "pabrik-pabrik" dalam negeri, alias fakultas hukum di Indonesia, negeri maupun swasta.
Para pelaku atau profesional itu mengalami inisiasi bertahun-tahun, sebelum dinyatakan lulus sebagai sarjana hukum. Dengan demikian, mereka memiliki paspor ke dalam praktik sebagai legal professionals.
Selama bertahun-tahun mereka tidak hanya diekspos terhadap pengetahuan dan seluk-beluk hukum, tetapi secara agak dramatis, juga mengalami "penyucian otak". Proses seperti itu bisa terjadi karena pendidikan hukum tidak hanya memberi informasi, tetapi sudah sampai kepada pengubahan cara pandang dan berpikir.
Menjalani masa inisiasi, mengutip Unger, adalah masuk ke alam otonomi hukum, termasuk otonomi dalam metodologi. Dengan demikian, maka menjalankan hukum adalah menerapkan suatu metodologi atau cara berpikir yang khusus, yang biasa disebut legal thinking.
Mereka yang sudah mengalami inisiasi dan "cuci-otak" itulah yang lalu menjalankan peran sebagai pelaku hukum. Bisa dibayangkan bagaimana erat kaitan antara pendidikan hukum dan pengemban profesi, seperti advokat, hakim, dan jaksa. Berdasar uraian itu, tentunya amat tidak pantas untuk mengucilkan (peran) pendidikan hukum dalam mewarnai dunia dan praktik hukum Indonesia dewasa ini.
Tradisi penjaga "status quo"
Pendidikan (tinggi) hukum Indonesia dimulai sejak didirikan Rechtshogeschool di Jakarta, 1924. Tujuannya mendidik dan menghasilkan tenaga yang akan mengabdi dan melanggengkan penjajahan Belanda atas negeri ini.
Pendidikan dan pembelajaran bagaimana menjalankan hukum yang berlaku menjadi porsi utama pendidikan hukum di masa kolonial. Secara jujur ingin dikatakan, paradigma penjaga status quo itu hingga kini belum banyak berubah.
Sepertinya perubahan menjadi bangsa dan negara merdeka, mempunyai undang-undang dasar sendiri, dan perubahan besar lain, nyaris tak menyentuh pendidikan hukum kita. Rancangannya, pendidikan hukum di dan untuk negara koloni. Misal, selama berpuluh tahun sejak kemerdekaan, orientasi pendidikan dan keilmuan hukum diarahkan ke Belanda, seperti Leiden dan Utrecht.
Memang di Belanda kita bisa menemukan kekayaan luar biasa arsip dan dokumen tentang Indonesia. Namun, itu tidak sama dengan membiarkan cara berpikir dan menjalankan hukum secara "kolonial". Tidak ada niat melarang belajar ke Belanda, tetapi itu perlu didasari kesadaran akan paradigma baru hukum serta pendidikan hukum Indonesia. Jadi, semuanya tergantung diri sendiri.
Akibat fatal Bila direnungkan, di tengah perubahan di Indonesia sejak lebih setengah abad lalu, penyelenggaraan pendidikan hukum dengan paradigma status quo berakibat cukup fatal. Ketika kita ingin melakukan perubahan, ternyata masih harus menyandarkan diri pada tenaga-tenaga yang berkapasitas "penjaga status quo".
Maka tidak mengherankan, Bung Karno yang ingin segera melihat bangsa dan negara cepat berubah sesudah merdeka melontarkan kalimat "Met juristen kan men geen revolutie maken". Dengan sedikit variasi dikatakan, "Dengan para ahli hukum penjaga status quo, jangan berharap akan lahir hukum dan putusan progresif".
Reformasi merupakan momentum amat bagus untuk menguji kebenaran pernyataan tentang "akibat fatal pendidikan itu". Reformasi menghendaki KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dikalahkan di Indonesia. Karena kita bangsa yang beradab, maka perang melawan KKN tidak boleh dilakukan telanjang (street justice, people justice) tetapi secara beradab, yaitu melalui hukum (sic!)
Ketika pemberantasan korupsi didorong masuk ke koridor hukum, muncul sinisme baru, "Indonesia masuk golongan negara paling korup di dunia, kendati tanpa koruptor". Susah untuk tidak mengatakan, itulah prestasi penegakan hukum di Indonesia.
Lagi-lagi kita mencurigai mentalitas dan berpikir status quo sebagai salah satu faktor penting yang menyebabkan keadaan katastrofik. Kita mengamati, betapa banyak profesional hukum tidak berani keluar dari penjara "kata-kata" undang-undang, sehingga hukum menjadi safe haven, suatu pelabuhan yang aman untuk berlindung bagi koruptor.
Tidak semua
Tidak semua pelaku hukum di Indonesia berpikir dan berperilaku sebagai penjaga status quo. Jumlah mereka tidak banyak. Sekadar menyebut beberapa nama di kalangan para hakim: Adi Andoyo Soetjipto, Bismar Siregar, dan Benyamin Mangkudilaga. Di antara hakim yang lebih muda, Abdulrahman Saleh, Artidjo Alkostar, dan Teguh Haryanto (maaf kepada para hakim yang progresif yang namanya tidak tercantum).
Mereka produk pendidikan status quo. Namun rupanya, dalam perjalanan karier mampu mengembangkan diri dan membebaskan dari "cap status quo", seperti mantan Hakim Agung Bismar yang selalu mendahulukan nurani dan keadilan di atas undang-undang.
Pendidikan hukum progresif
Telah dicoba menunjukkan pentingnya peran pendidikan hukum dalam ikut membangun hukum negeri ini. Yang dimaksud dengan peran di sini adalah yang positif, sebab selama ini masih banyak kekurangan dunia pendidikan hukum, sehingga belum bisa mengharapkan sebagai salah satu pilar pembangunan hukum di Indonesia.
Artinya, perubahan perlu dilakukan dan sebaiknya segera dilaksanakan. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Maka bila tidak dilakukan segera, hasilnya harus ditunggu lebih lama lagi. Bangsa dan negara yang mengalami krisis berat ini tidak bisa dibiarkan menunggu terlalu lama.
Di sini disarankan usaha ke arah membangun "pendidikan hukum progresif" sebagai lawan dari "pendidikan status quo". Beberapa ciri pendidikan progresif adalah pendidikan kreatif, responsif, protagonis, berwatak pembebasan, singkatnya berorientasi kepada Indonesia dan kebutuhan Indonesia.
Satu kelemahan menonjol dalam pendidikan hukum kini adalah sifatnya yang amat teknologis. Ini amat tidak mendukung kebutuhan bangsa dan negara Indonesia untuk keluar dari krisis. Pendidikan seperti itu terlalu menekankan keterampilan sehingga "menghasilkan ahli-ahli tanpa nurani".
Terus terang, pendidikan hukum kita adalah pendidikan yang termasuk kategori "miskin nurani". Padahal, untuk mengatasi krisis ini, kita lebih memerlukan pelaku hukum dengan nurani dan berani mewujudkannya dalam tindakan daripada teknolog-teknolog semata. Aspek nurani ingin dijabarkan dalam gereget (compassion), penuh empati terhadap bangsa, serta protagonis.
Kita berusaha melakukan pembebasan dari sifat liberal dan dari pendidikan sebagai tipe institusi menara gading. Tentunya diperlukan kerja keras dan banyak perubahan serta perombakan akan terjadi, bahkan sampai pada aras paradigma.
Tetapi itulah ongkos yang harus dikeluarkan agar pendidikan hukum kita tidak hanya menjadi penonton, tidak berkualitas penjaga status quo, tetapi memberi dukungan aktif dan selalu mencari jalan keluar bagi kebangkitan bangsanya.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Undip Semarang.
Pendidikan dan pembelajaran bagaimana menjalankan hukum yang berlaku menjadi porsi utama pendidikan hukum di masa kolonial. Secara jujur ingin dikatakan, paradigma penjaga status quo itu hingga kini belum banyak berubah.
Sepertinya perubahan menjadi bangsa dan negara merdeka, mempunyai undang-undang dasar sendiri, dan perubahan besar lain, nyaris tak menyentuh pendidikan hukum kita. Rancangannya, pendidikan hukum di dan untuk negara koloni. Misal, selama berpuluh tahun sejak kemerdekaan, orientasi pendidikan dan keilmuan hukum diarahkan ke Belanda, seperti Leiden dan Utrecht.
Memang di Belanda kita bisa menemukan kekayaan luar biasa arsip dan dokumen tentang Indonesia. Namun, itu tidak sama dengan membiarkan cara berpikir dan menjalankan hukum secara "kolonial". Tidak ada niat melarang belajar ke Belanda, tetapi itu perlu didasari kesadaran akan paradigma baru hukum serta pendidikan hukum Indonesia. Jadi, semuanya tergantung diri sendiri.
Akibat fatal Bila direnungkan, di tengah perubahan di Indonesia sejak lebih setengah abad lalu, penyelenggaraan pendidikan hukum dengan paradigma status quo berakibat cukup fatal. Ketika kita ingin melakukan perubahan, ternyata masih harus menyandarkan diri pada tenaga-tenaga yang berkapasitas "penjaga status quo".
Maka tidak mengherankan, Bung Karno yang ingin segera melihat bangsa dan negara cepat berubah sesudah merdeka melontarkan kalimat "Met juristen kan men geen revolutie maken". Dengan sedikit variasi dikatakan, "Dengan para ahli hukum penjaga status quo, jangan berharap akan lahir hukum dan putusan progresif".
Reformasi merupakan momentum amat bagus untuk menguji kebenaran pernyataan tentang "akibat fatal pendidikan itu". Reformasi menghendaki KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dikalahkan di Indonesia. Karena kita bangsa yang beradab, maka perang melawan KKN tidak boleh dilakukan telanjang (street justice, people justice) tetapi secara beradab, yaitu melalui hukum (sic!)
Ketika pemberantasan korupsi didorong masuk ke koridor hukum, muncul sinisme baru, "Indonesia masuk golongan negara paling korup di dunia, kendati tanpa koruptor". Susah untuk tidak mengatakan, itulah prestasi penegakan hukum di Indonesia.
Lagi-lagi kita mencurigai mentalitas dan berpikir status quo sebagai salah satu faktor penting yang menyebabkan keadaan katastrofik. Kita mengamati, betapa banyak profesional hukum tidak berani keluar dari penjara "kata-kata" undang-undang, sehingga hukum menjadi safe haven, suatu pelabuhan yang aman untuk berlindung bagi koruptor.
Tidak semua
Tidak semua pelaku hukum di Indonesia berpikir dan berperilaku sebagai penjaga status quo. Jumlah mereka tidak banyak. Sekadar menyebut beberapa nama di kalangan para hakim: Adi Andoyo Soetjipto, Bismar Siregar, dan Benyamin Mangkudilaga. Di antara hakim yang lebih muda, Abdulrahman Saleh, Artidjo Alkostar, dan Teguh Haryanto (maaf kepada para hakim yang progresif yang namanya tidak tercantum).
Mereka produk pendidikan status quo. Namun rupanya, dalam perjalanan karier mampu mengembangkan diri dan membebaskan dari "cap status quo", seperti mantan Hakim Agung Bismar yang selalu mendahulukan nurani dan keadilan di atas undang-undang.
Pendidikan hukum progresif
Telah dicoba menunjukkan pentingnya peran pendidikan hukum dalam ikut membangun hukum negeri ini. Yang dimaksud dengan peran di sini adalah yang positif, sebab selama ini masih banyak kekurangan dunia pendidikan hukum, sehingga belum bisa mengharapkan sebagai salah satu pilar pembangunan hukum di Indonesia.
Artinya, perubahan perlu dilakukan dan sebaiknya segera dilaksanakan. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Maka bila tidak dilakukan segera, hasilnya harus ditunggu lebih lama lagi. Bangsa dan negara yang mengalami krisis berat ini tidak bisa dibiarkan menunggu terlalu lama.
Di sini disarankan usaha ke arah membangun "pendidikan hukum progresif" sebagai lawan dari "pendidikan status quo". Beberapa ciri pendidikan progresif adalah pendidikan kreatif, responsif, protagonis, berwatak pembebasan, singkatnya berorientasi kepada Indonesia dan kebutuhan Indonesia.
Satu kelemahan menonjol dalam pendidikan hukum kini adalah sifatnya yang amat teknologis. Ini amat tidak mendukung kebutuhan bangsa dan negara Indonesia untuk keluar dari krisis. Pendidikan seperti itu terlalu menekankan keterampilan sehingga "menghasilkan ahli-ahli tanpa nurani".
Terus terang, pendidikan hukum kita adalah pendidikan yang termasuk kategori "miskin nurani". Padahal, untuk mengatasi krisis ini, kita lebih memerlukan pelaku hukum dengan nurani dan berani mewujudkannya dalam tindakan daripada teknolog-teknolog semata. Aspek nurani ingin dijabarkan dalam gereget (compassion), penuh empati terhadap bangsa, serta protagonis.
Kita berusaha melakukan pembebasan dari sifat liberal dan dari pendidikan sebagai tipe institusi menara gading. Tentunya diperlukan kerja keras dan banyak perubahan serta perombakan akan terjadi, bahkan sampai pada aras paradigma.
Tetapi itulah ongkos yang harus dikeluarkan agar pendidikan hukum kita tidak hanya menjadi penonton, tidak berkualitas penjaga status quo, tetapi memberi dukungan aktif dan selalu mencari jalan keluar bagi kebangkitan bangsanya.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Undip Semarang.
0 comments:
Post a Comment