Oleh : Denny Indrayana (Dosen Hukum Tata Negara UGM, Kandidat Doktor di University of Melbourne)
BAHWASANYA sistem presidensial berpotensi membawa kesialan sudah disampaikan Juan J Linz dan Arturo Valenzuela (1994). Mereka berargumentasi, sistem presidensial tidak dapat mendukung demokrasi. Sistem pemerintahan tersebut relatif tidak stabil. Scott Mainwairing (1991) sepakat. Setelah melakukan penelitian di banyak negara Amerika Latin, Mainwairing berkesimpulan, sistem presidensial akan lebih sial bila dipadukan dengan sistem multipartai.
Bagaimana dengan Indonesia?
Setelah Perubahan Pertama hingga Keempat UUD 1945, Indonesia lebih menganut sistem presidensial murni. Presiden dipilih langsung. Masa jabatannya juga lebih pasti. Presiden tidak dapat diberhentikan semata-mata karena masalah politik, atau karena kehilangan dukungan parlemen. Kejadian yang menimpa Presiden Abdurrahman Wahid, karenanya, relatif lebih sulit terulang. Terutama, karena sekarang dalam proses pemakzulan presiden harus melibatkan pertimbangan yuridis dari Mahkamah Konstitusi, di samping MPR dan DPR.
Sialnya, sistem presidensial murni itu kawin dengan sistem multipartai. Apakah perkawinan sial menurut Mainwairing ini bisa menjadi penghambat demokratisasi di Indonesia?
Sistem presidensial dipilih dalam proses perubahan konstitusi lebih karena alasan romantis-politis. Andrew Ellis (2002) menyatakan, sebenarnya tidak ada perdebatan yang intensif untuk menentukan pilihan antara sistem presidensial dan parlementer. Lebih jauh, Ellis mengatakan, di kala pembahasan amandemen di MPR, sebenarnya tidak ada penjelasan mendalam tentang apakah sistem presidensial. Sindrom sistem parlementer yang dicitrakan telah gagal diterapkan di era 1950-an, adalah sebab utama mengapa sistem presidensial dipilih oleh MPR.
Sedangkan sistem multipartai hadir sebagai suatu keniscayaan. Setelah terkekang secara politis di bawah rezin otoriter Soeharto, menjamurnya partai politik adalah merupakan panggilan alam politik yang tidak dapat dihindarkan. Rekayasa hukum dalam undang-undang partai politik 2003 yang memberikan syarat berat bagi pembentukan partai politik, karenanya adalah kebijakan hukum yang tepat. Pengetatan syarat parpol itu, ditambah dengan dinaikkannya electoral threshold bagi peserta pemilu, adalah upaya hukum untuk menciptakan sistem kepartaian yang lebih sederhana. Meski pembatasan itu terkesan tidak demokratis, ia tetap lebih baik dibandingkan sistem penyatuan paksa partai-partai di masa awal Orde Baru.
Syarat dukungan suara parlemen, yang dinaikkan dari 3% ke 20% untuk mendaftar menjadi calon presiden di pemilu 2009, juga merupakan upaya hukum untuk menciptakan presidensial yang lebih efektif. Meski, dalam praktek, syarat ini pun bisa menimbulkan masalah.
Tanpa demokratisasi partai politik, disertai pendidikan politik bagi rakyat yang serius - agar menjadi pemilih yang lebih bertanggungjawab - pemilu presiden 2009 akan kembali dikuasai partai-partai besar pemenang pemilu 2004. Kondisi demikian adalah bagaikan memakan buah simalakama: sistem kepartaian sederhana yang menunjang pemerintahan presidensial mungkin terbentuk; namun, dengan berkuasanya partai-partai yang cenderung korup maka jalan menuju negara demokratis masih cenderung merupakan impian daripada kenyataan. (Perlu dicatat bahwa syarat dukungan parlemen yang lebih tinggi di pemilu 2009 ini jauh lebih baik dibandingkan proposal amandemen UUD 1945 yang diajukan Golkar dalam pembahasan Perubahan Keempat. Proposal Golkar mensyaratkan hanya dua partai pemenang pemilu yang dapat mengajukan calon presiden sejak pemilu 2004. Untungnya, proposal yang syarat kepentingan politik jangka pendek itu tidak didukung partai lain sehingga tidak dapat disahkan menjadi aturan konstitusi).
TIDAK ada jalan lain, untuk menciptakan sistem presidensial yang efektif dan demokratis, di samping mendorong terciptanya sistem kepartaian sederhana, pendidikan politik rakyat harus menjadi agenda mendesak bagi Indonesia. Namun, itu adalah program jangka panjang, dalam jangka pendek adakah yang bisa dilakukan untuk menciptakan sistem presidensial 2004-2009 yang mendorong demokratisasi Indonesia dari masa pemerintahan otoriter Soeharto?
Hasil pemilu legislatif 2004 membawa kabar baik dan kabar buruk. Kabar buruknya, pemilu tersebut masih dimenangkan partai-partai lama yang cenderung penghambat demokratisasi. Kabar baiknya, hanya 24 partai yang menjadi peserta pemilu, turun separuh dari 48 partai di pemilu 1999. Lebih jauh, dari 24 partai itu, hanya 7 partai yang melewati electoral threshold. Dengan demikian, seharusnya, pemilu 2009 akan diikuti oleh lebih sedikit parpol. Artinya, upaya menuju sistem kepartaian yang lebih sederhana sudah benar arahnya.
Sialnya, arah yang benar itu tidak didukung dengan lahirnya pasangan-pasangan calon presiden yang ideal. Seharusnya, platform politik menjadi pertimbangan utama dalam membentuk pasangan capres-cawapres, serta koalisi partai pendukungnya. Sayangnya yang terjadi adalah perkawinan yang absurd.
Setelah mendeklarasikan kerjasama gerakan antikorupsi antara NU-Muhammadiyah, Hasyim Muzadi masih bersedia menjadi cawapres Megawati. Padahal, dalam hal korupsi, Megawati tidak memperlihatkan kebijakan yang tegas. Izin pemeriksaan Jaksa Agung dalam kasus korupsi yang tidak juga dikeluarkan Megawati adalah indikator utama lemahnya komitmen pemberantasan korupsi Megawati Taufik Kiemas. Sikap yang sama diambil oleh Solahuddin Wahid, Wakil Ketua Komnas HAM, yang bersedia menjadi cawapres Wiranto. Padahal Wahid sendiri pernah diberitakan menyatakan bahwa, Wiranto harus bertanggung jawab dalam suatu kasus kejahatan HAM. Dalam hal koalisi, pilihan PKB untuk mendukung Wiranto juga patut disayangkan. Pilihan itu menyebabkan PKB menjadi satu perahu dengan partai Golkar dan PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa, partai yang dinakhodai keluarga Cendana), dua partai yang banyak politisinya adalah penyokong pemerintahan otoriter Orde Baru.
Pilihan-pilihan politik di atas menyebabkan koalisi bersih, yang sempat digagas beberapa kalangan sebelum pemilu legislatif, gagal tercipta. Sekali lagi kubu reformis lebih terpolarisasi ketimbang terkonsolidasi. Hal ini adalah kabar buruk bagi demokratisasi. Bau restorasi, proses reinkarnasi pemerintahan otoriter, lebih kencang tercium.
Hal lain, sistem multi partai menyebabkan tidak ada parpol yang menang mutlak pemilu. Dari para capres yang muncul, kemungkinan lahir dua kategori presidensial: presiden sial (minority president) dan presiden sialan (majority president). Presiden sial muncul karena presiden terpilih nantinya tidak didukung oleh kekuatan politik yang memadai di parlemen. Pemerintahan semacam ini cenderung tidak efektif. Presiden sialan adalah presiden yang relatif mempunyai dukungan lebih besar di parlemen, namun karena merupakan gabungan kelompok politisi anti reformasi, maka presiden yang nantinya terpilih lebih banyak membawa kesialan daripada kemujuran.
Lahirnya sistem presidensial yang demokratis dan efektif (effective president), karenanya, cenderung merupakan hal yang mustahil. Dengan kondisi demikian, setelah memilih siapapun menjadi presiden nantinya, para pemilih yang bertanggung jawab harus menyelamatkan demokratisasi Indonesia dengan mengambil posisi tegas sebagai: oposisi.
0 comments:
Post a Comment