Malam minggu yang lalu aku asyik jalan-jalan ke Supermal bersama mamaku. Belanja sana belanja sini, dapatlah baju-baju murah dan bagus. Lalu sekitar jam 18:15 kami mulai lapar, maka kami menuju resto favorit kami: Qua-Li. Tapi, kami baru ingat kalo waktu itu adalah waktu buka puasa. Semua meja sudah ditempati orang. Jadilah kami harus antre, sambil memilih menu agar nanti saat meja kami sudah siap, kami sudah selesai memesan. Untungnya tak lama kemudian kami sudah bisa duduk manis.
Sambil menunggu makanan kami datang, aku memperhatikan orang yang lalu lalang di mal yang ramai, juga macam-macam tipe orang yang mengantre seperti kami tadi. Nah, ternyata menarik juga untuk mengamati kebiasaan atau budaya antre ini!
Perlu diketahui bahwa resto ini tempatnya terbuka, dalam artiansemua orang bisa langsung nyelonong masuk ke deretan meja-meja tanpa melalui meja untuk antre. Yang menjaga antrean ini cuma seorang staf. Ada sepasang suami istri dan anak kecil mereka mendekat ke kerumunan antre. Mereka diberitahu oleh si staf bahwa mereka harus menunggu sebentar. Mungkin karena kasihan pada si istri yang lagi hamil, atau memang mereka sedang puasa dan tak sabar untuk berbuka, si suami melihat-lihat ke deretan meja, lalu diam-diam nyelonong lewat sisi lain resto menuju ke sebuah meja yang sedang dibersihkan pelayan. Mereka sekeluarga lantas dengan tenang duduk di situ.
Yang kelabakan tentu saja si staf yang menjaga antrean, saat ia menunjukkan meja itu pada sepasang cewek-cowok yang tiba gilirannya untuk mendapat meja. Maka si staf terpaksa berjalan ke meja itu, dan berkata pada keluarga yang lancang itu, bahwa untuk dapat meja harus antre! Si suami dengan tampang tak berdosa malah pura-pura baru tahu kalau ia harus antre. Di sisi lain resto juga ada kejadian serupa yang sempat aku perhatikan.
Lalu aku juga perhatikan ada sebuah keluarga, yang ketika aku masih antre sudah mulai makan. Hingga aku sudah mau membayar, mereka baru selesai. Padahal aku menunggu makananku tiba saja ada 20 menitan. Berarti mereka makannya lebih dari 40 menit! Padahal resto begitu ramai dan yang mengantre banyak sekali. Memang sih, mereka membayar untuk makan di situ dan berhak tetap duduk di situ selama belum selesai. Tapi, kalau mereka punya sedikit solidaritas kepada orang lain, paling tidak mereka bisa mempercepat acara makan mereka sehingga tempatnya bisa diberikan pada orang lain.
Solidaritas menurutku adalah berpikir di luar diri kita sendiri. Saat kita sama-sama berada di sebuah situasi yang sama, kita juga harus menyadari bahwa orang lain juga merasakan apa yang kita rasakan. Saat harus antre di resto yang penuh misalnya, kita merasa capek menunggu dan perut sudah lapar. Apalagi buat mereka yang sedang berpuasa. Bagaimana perasaan kita andai kita menyaksikan ada keluarga yang sudah selesai makan tapi malah tetap duduk dan asyik ngobrol sambil merokok, sementara kita sudah capek berdiri? Nah, begitu jugalah perasaan orang lain yang sedang menunggui kita!
Kalau kita memang ingin ngobrol selain makan, carilah tempat yang lebih tidak crowded. Di cafe misalnya. Kalau kita memang hanya ingin makan, sebaiknya setelah selesai makan kita langsung meninggalkan tempat dan memberi kesempatan buat yang lain untuk makan juga. Itulah contoh solidaritas dalam hidup sehari-hari.
Setelah makan, aku dan mamaku pulang naik taxi. Di sini lagi-lagi kami harus mengantre, meski tak lama, bersama seorang wanita bule. Tadinya kupikir wanita bule itu tiba lebih dulu ketimbang kami. Makanya ketika satu taxi sudah datang, aku diam saja karena kupikir itu taxi buat dia. Tapi, sambil tersenyum simpatik ia merentangkan tangan untuk menyilakan kami naik taxi itu. Awalnya aku tetap menolak, tapi karena petugas yang mengatur mengatakan bahwa kamilah yang datang duluan, barulah aku naik ke taxi itu sambil tak lupa mengucapkan 'thank you' pada si bule yang masih tersenyum ramah.
Nah, betapa berbedanya pengalamanku ini dengan apa yang kusaksikan di resto tadi. Budaya mengantre agaknya sudah tertanam dalam kehidupan orang-orang di negeri barat sana. Bagaimana dengan di negara kita? Bila kita ingin berubah, haruslah dimulai dari diri sendiri, lalu ajarkan pada anak-anak kita. Hanya dengan begitulah kita bisa menerapkan solidaritas dalam hidup sehari-hari. Ingat, solidaritas itu juga salah wujud rasa kasih terhadap orang lain loh!
Bagaimana pendapat atau pengalaman kalian?
Ditulis oleh: Fanda
Sambil menunggu makanan kami datang, aku memperhatikan orang yang lalu lalang di mal yang ramai, juga macam-macam tipe orang yang mengantre seperti kami tadi. Nah, ternyata menarik juga untuk mengamati kebiasaan atau budaya antre ini!
Perlu diketahui bahwa resto ini tempatnya terbuka, dalam artiansemua orang bisa langsung nyelonong masuk ke deretan meja-meja tanpa melalui meja untuk antre. Yang menjaga antrean ini cuma seorang staf. Ada sepasang suami istri dan anak kecil mereka mendekat ke kerumunan antre. Mereka diberitahu oleh si staf bahwa mereka harus menunggu sebentar. Mungkin karena kasihan pada si istri yang lagi hamil, atau memang mereka sedang puasa dan tak sabar untuk berbuka, si suami melihat-lihat ke deretan meja, lalu diam-diam nyelonong lewat sisi lain resto menuju ke sebuah meja yang sedang dibersihkan pelayan. Mereka sekeluarga lantas dengan tenang duduk di situ.
Yang kelabakan tentu saja si staf yang menjaga antrean, saat ia menunjukkan meja itu pada sepasang cewek-cowok yang tiba gilirannya untuk mendapat meja. Maka si staf terpaksa berjalan ke meja itu, dan berkata pada keluarga yang lancang itu, bahwa untuk dapat meja harus antre! Si suami dengan tampang tak berdosa malah pura-pura baru tahu kalau ia harus antre. Di sisi lain resto juga ada kejadian serupa yang sempat aku perhatikan.
Lalu aku juga perhatikan ada sebuah keluarga, yang ketika aku masih antre sudah mulai makan. Hingga aku sudah mau membayar, mereka baru selesai. Padahal aku menunggu makananku tiba saja ada 20 menitan. Berarti mereka makannya lebih dari 40 menit! Padahal resto begitu ramai dan yang mengantre banyak sekali. Memang sih, mereka membayar untuk makan di situ dan berhak tetap duduk di situ selama belum selesai. Tapi, kalau mereka punya sedikit solidaritas kepada orang lain, paling tidak mereka bisa mempercepat acara makan mereka sehingga tempatnya bisa diberikan pada orang lain.
Solidaritas menurutku adalah berpikir di luar diri kita sendiri. Saat kita sama-sama berada di sebuah situasi yang sama, kita juga harus menyadari bahwa orang lain juga merasakan apa yang kita rasakan. Saat harus antre di resto yang penuh misalnya, kita merasa capek menunggu dan perut sudah lapar. Apalagi buat mereka yang sedang berpuasa. Bagaimana perasaan kita andai kita menyaksikan ada keluarga yang sudah selesai makan tapi malah tetap duduk dan asyik ngobrol sambil merokok, sementara kita sudah capek berdiri? Nah, begitu jugalah perasaan orang lain yang sedang menunggui kita!
Kalau kita memang ingin ngobrol selain makan, carilah tempat yang lebih tidak crowded. Di cafe misalnya. Kalau kita memang hanya ingin makan, sebaiknya setelah selesai makan kita langsung meninggalkan tempat dan memberi kesempatan buat yang lain untuk makan juga. Itulah contoh solidaritas dalam hidup sehari-hari.
Setelah makan, aku dan mamaku pulang naik taxi. Di sini lagi-lagi kami harus mengantre, meski tak lama, bersama seorang wanita bule. Tadinya kupikir wanita bule itu tiba lebih dulu ketimbang kami. Makanya ketika satu taxi sudah datang, aku diam saja karena kupikir itu taxi buat dia. Tapi, sambil tersenyum simpatik ia merentangkan tangan untuk menyilakan kami naik taxi itu. Awalnya aku tetap menolak, tapi karena petugas yang mengatur mengatakan bahwa kamilah yang datang duluan, barulah aku naik ke taxi itu sambil tak lupa mengucapkan 'thank you' pada si bule yang masih tersenyum ramah.
Nah, betapa berbedanya pengalamanku ini dengan apa yang kusaksikan di resto tadi. Budaya mengantre agaknya sudah tertanam dalam kehidupan orang-orang di negeri barat sana. Bagaimana dengan di negara kita? Bila kita ingin berubah, haruslah dimulai dari diri sendiri, lalu ajarkan pada anak-anak kita. Hanya dengan begitulah kita bisa menerapkan solidaritas dalam hidup sehari-hari. Ingat, solidaritas itu juga salah wujud rasa kasih terhadap orang lain loh!
Bagaimana pendapat atau pengalaman kalian?
Ditulis oleh: Fanda
0 comments:
Post a Comment