Tuesday, March 9, 2010

Balada Resah Adinda (karya Prasidya Ilvan Yahdi)

Prakata : cerpen karya Prasidya Ilvan Yahdi ini sebenarnya bagus. Hanya saja judulnya kurang pas dengan isi cerita. Kenapa ada kata ‘Balada”? Kenapa bukan DUKA HATI ADINDA? Bukankah dalam cerpen ini banyak melukiskan perasaan sedih Adinda? Bukan resah. Tetapi, sedih karena ia ditinggal pergi oleh ayahnya yang mati dibakar. Kemudian dalam penulisan tanda baca, huruf besar dan kata masih banyak kesalahan. Misalnya :

I. “Bunuh teroris itu! bakar dia, bakar rumahnya.

Seharusnya adalah : “Bunuh teroris itu! Bakar dia! Bakar rumahnya!”

Kalimat itu adalah kalimat orang yang sedang berteriak marah, jadi gunakan tanda seru. Bukan tanda koma.

II. “Ada apa ribut-ribut bapak-bapak ibu-ibu?” pekik Pak Darso di hadapan puluhan orang yang mengepung rumahnya.

Seharusnya : “Ada apa ribut-ribut bapak-bapak ibu-ibu?” Tanya Pak Darso di hadapan puluhan orang yang mengepung rumahnya.

Kata ‘Pekik’ berarti berteriak atau menjerit. Tidak tepat digunakan dalam kalimat ketika pak Darso sedang keheranan dan bertanya kepada orang-orang yang mengepungnya. Kalau toh mau menggambarkan pak Darso yang bertanya dengan cara berteriak, gunakan saja kata TERIAK pak Darso. Itu lebih tepat ketimbang pekik.

Itu hanya beberapa contoh kesalahan kecil tapi cukup penting. Selanjutnya, bandingkan saja naskah awal kamu dengan cerpen yang sudah saya revisi dan diposting di blog ini. Perhatikan, beberapa tanda baca yang sudah saya perbaiki.

Tetapi, dari sisi ide cerita sih sudah oke. Begitu pula penggunaan bahasanya.


Balada Resah Adinda

Muram nian malam yang cerah ini,rasa-rasanya seluruh penduduk malam enggan untuk menunjukkan batang hidungnya. Begitu pun dengan Adinda,seorang anak petani miskin berusia 10 tahun yang tinggal di sebuah gubuk kecil di dusun Tegalrejo bersama Ibu dan 2 orang adik kecilnya.

Malam ini bertepatan dengan hari ke-40 Ayahnya tercinta.Pak Darso, meninggal. Di usia nya yang ke 45, Pak Darso meninggalkan istri dan ketiga anak-anaknya yang masih kecil sendirian mengarungi ganasnya rimba kehidupan.

Tepat 40 hari yang lalu, dada kurus Adinda seolah tersengat jutaan ton listrik tatkala mendengar ayah yang selalu menceritakan dongeng sebelum ia dan adiknya tidur itu telah tiada.Ya,Pak Darso, telah tiada. Tapi tak ada yang lebih menyakitkan tatkala menyaksikan bahwa Ayah tercintanya itu meniggal karena di bakar oleh massa kampungnya sendiri. Matanya menerawang...

Malam itu Seperti biasa , Pak Darso menceritakan dongeng kepada anak-anaknya sebelum ia tidur, malam ini dongengnya tentang Maling Kundang, kisah seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Tatkala Pak Darso selesai membaca dongeng,ternyata anak-anaknya sudah tertidur lelap.Dicium lembut kening ketiga buah hatinya itu seraya berdoa untuk kebaikan mereka. Malam itu ia berniat untuk mengkatamkan Al-Qur’an, sejauh ini ia masih membaca dan mengkaji surah Ar-Rahman. Namun, tiba-tiba “Prang !!!”, terdengar suara benda keras menghantam kaca depan rumahnya,spontan ia berlari kearah sumber suara dan didapatinya sebuah batu besar yang menghantam kaca jendela rumahnya.

“Astagfirullah”pekiknya dalam hati.Tak sampai di situ kekagetannya, secara tiba-tiba muncullah puluhan orang yang membawa obor dengan pakaian hitam,laki-laki dan perempuan, sambil berteriak :

“Bunuh teroris itu! Bakar dia! Bakar rumahnya!”

Pak Darso kaget bukan kepalang, tapi ia masih bertindak tenang. Ia mengenali beberapa orang yang berkumpul di depan rumahnya. Salah satunya Pak Puji, tetangganya.Tak pelak, suara ribut dan gaduh itu sampai juga ke telinga Bu Lastri,istrinya dan ketiga anaknya. Bergegas mereka menuju sumber suara sembari bertanya dalam hati, “ada apa gerangan?”

“Ada apa ribut-ribut bapak-bapak ibu-ibu?” Tanya Pak Darso di hadapan puluhan orang yang mengepung rumahnya.

“Pak Darso, cepat tinggalkan kampung ini, atau kami akan bakar bapak hidup-hidup !!” Teriak salah satu orang pengepung itu. Dengan sedikit meraba, Pak Darso meyakini bahwa yang berbicara tadi adalah Pak Puji, tetangga sebelah rumahnya.

“Ada apa ini? Apa salah saya? Saya tak mengerti maksud kalian? Sungguh!”

“Sudah Darso, jangan mengelak lagi. Kami tahu, kamu adalah TERORIS. Kampung ini tidak menerima teroris , cepat pergi atau kamu akan kami bakar !!” teriak Pak Puji.

“Astagfirullah, teganya kalian memfitnah saya !” bela Pak Darso.

“Kami tahu, kamu adalah antek-anteknya gembong teroris nomor Wahid Nurdin M. Top, dan kemarin kami melihat kamu bertemu dengannya dan kamu juga telah mengajarkan faham islam yang tidak benar kepada anak-anak kami!” Teriak pak Puji lagi.

“Tapi...” potong Pak Darso. Belum selesai ia berbicara, puluhan orang itu telah menyeretnya dan membopongnya ke lapangan sepak bola di kampung itu. Malam itu adalah malam penghakiman untuk seorang TERORIS.

Apa yang terjadi sungguh di luar nalar manusia. Nampaknya orang-orang yang membawa Pak Darso telah mengalami trance atau kesurupan. Mereka bertindak sudah tidak layaknya manusia. Mereka menyeret Pak Darso di tanah dan sesampainya di lapangan, mereka menyiramkan minyak tanah di sekujur tubuh pak Darso. Tak ada yang bisa Pak Darso lakukan, kecuali menjerit dan berteriak seraya bermunajat lirih dalam hati, ”Ya Allah !!! Ada apa ini?”

Di belakangnya, menyaksikan dengan penuh pilu anak-anak dan istri Pak Darso. Mereka menjerit histeris melihat pemimpin mereka diperlakuakan layaknya binatang .

Akhirnya tibalah saat yang paling memilukan pada malam itu. Pak Puji mengeluarkan sekotak korek api kayu dan mulai menyalakannya, dengan perlahan ia melemparkan 3 batang korek api ke sekujur tubuh ringkih Pak Darso.

Api membumbung tinggi. Malam itu adalah malam penghakiman bagi seorang manusia yang di sangka teroris Malam itu seorang anak manusia diperlakukan layaknya ayam yang terkena virus flu burung.Dibakar. Bau sangit daging manusia menyeruak di kegelapan malam. Memilukan hati, megoyak jiwa, merobek nurani.

Tubuh Pak Darso menggelinjang kepanasan. Ia berguling kesana-kemari untuk memadamkan api di sekujur tubuhnya. Tapi percuma, api telah terlanjur memakan dirinya. Selang 3 menit kemudian, tubuh Pak Darso tidak lagi bergerak. Ia diam. Api ciptaan Tuhan telah menghanguskan dirinya dan membawanya pergi dari dunia yang fana ini. Orang-orang yang tengah kesurupan itu seketika diam. Mereka terpaku memandangi tubuh gosong Pak Darso, dan mereka tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Tak jelas mengapa. Nampaknya mereka mulai menyadari apa yang telah mereka perbuat. Sekejap kemudian mereka membubarkan diri dan hilang dalam pekatnya malam itu.

Adinda mematung. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa kejamnya manusia. Ia menjadi saksi dari kematian orang yang amat dicintainya. Sementara itu, Bu Lastri dengan menggendong Santi dan Sinta, anak kembarnya yang berusia 11 bulan, berlari menuju tubuh suaminya yang telah gosong sambil berteriak histeris.

“Abi !!!! Abi !!! Abi !!!......Abi !!! Abi !!! Bangun Abi !! Apa salahmu Abi? Apa salahmu?” Pekik histeris Bu lastri memecah keheningan malam itu ditambah jerit menyayat hati dari dua bayi mungil Sinta dan Santi

Adinda masih terdiam. Ia bingung. Ia bingung dengan semua yang terjadi. Yang ada di pikirannya adalah saat dimana ayahnya membacakan dongeng Malin Kundang untuk dirinya dan kedua adiknya serta saat dimana ayahnya mencium hangat kening Adinda dan adiknya. Ia tak percaya kalau orang yang selalu menjadi tempat bersandar dan mengeluh serta bercengkrama dan bercanda ini telah tiada. Ia tak percaya kalau Abi tercintanya telah meninggalkan ia selamanya.

“Siapa yang akan membacakan dongeng untuk Dinda, Sinta dan Santi? Siapa yang akan mencium kening Dinda sebelum tidur? Siapa yang akan menceritakan kisah-kisah Nabi kepada Dinda? Siapa yang mengajari Dinda mengaji?” Pikiran-pikiran itu terus membayang di benak Adinda. Tak terasa, sebulir air mata menetes di pipinya.Air mata itu terasa sangat berat untuk menyusuri halusnya pipi Dinda. Disusul air mata-air mata berikutnya. Kini pipi Adinda telah di banjiri Air mata.

“Dinda...kamu kenapa sayang?”tanya Bundanya.
“Eh,,gak apa apa bunda. Tadi mata Dinda kemasukan debu. He he he…..”Jawab Dinda seraya menyeka air matanya.

“Kamu rindu sama Abi ya?” tanya Bundanya.

“Sedikit Bunda, tapi udah gak lagi kok. Bunda, aku pergi ke dapur dulu ya. Kayaknya nasinya udah mateng tuh.” Jawab Adinda seraya berlari ke dapur.

Bundanya menyadari bahwa, anak perempuannya itu masih merindukan Abinya. Tak terasa sebulir air mata membasahi pipinya. Namun dengan segera ia menyekanya.

Malam ini adalah malam ke- 40 kepergian Pak Darso. Rencanaya mereka akan mengadakan pengajian di gubuk kecil mereka. Sedari pagi, Bu Lastri sudah repot berbelanja ke pasar untuk menyiapkan makanan berkat untuk para undangan yang hadir.

“Din, nitip Sinta sama Santi dulu ya. Bunda mau belanja ke pasar buat 40 harian Abi mu. ” Kata Bu Lastri.

“Siap Bunda ! Sinta sama Santi aman di tangan Dinda. Dinda akan ngemong Sinta dan Santi dengan baik. He he he …” kata Dinda tegas sembari tertawa.

Malam harinya, acara 40 harian Pak Darso dimulai. Undangan yang hadir cukup banyak, sampai-sampai para undangan duduk di luar gubuk yang ditempati Adinda. Malam itu sungguh syahdu, lantunan ayat-ayat Al-Qur’an di lantukan, Doa yang teramat khusyuk di sematkan kepada almarhum. Pada pukul 21.00 acara selesai. Bu Lastri dengan dibantu oleh beberapa undangan membersihkan rumah.
****
“Bunda, kenapa Abi dibakar orang?” tanya Dinda kepada Bundanya ketika akan beranjak ke peraduan setelah selesai merapihkan jamuan.

Bundanya kaget bukan kepalang. “Eh,,,kenapa Dinda tanya hal itu, sayang?” tanya Bundanya balik kepada buah hatinya itu.

“Dinda bingung, bunda. Abi kan orang baik, tapi kenapa dia dibakar sama orang? Apa salah Abi, bunda?” desak Adinda.

“Sayang.., ” patah-patah Bundanya menjawab. “Abi kamu itu orang baik. Dia orang yang soleh tapi banyak orang yang fitnah dia. Sayang,ini tanda cinta Allah untuk Abi.” Jawab Bundanya.

“Kok bisa Bunda...? Kalau Allah sayang, kenapa Abi dibakar? Abi kasian, bunda!! Enggak Ada lagi yang bacain dongeng buat Dinda. Enggak ada lagi yang cium kening Dinda saat Dinda tidur. Gak ada lagi yang......” Belum selesai Dinda berbicara, Bundanya langsung mendekap dan memeluknya. Dinda pun menangis sesunggukan. Kali ini dia tidak berbohong pada ibunya. Dia menangis bukan karena ada debu yang hinggap di matanya, tapi karena kerinduaan dirinya yang teramat mendalam kepada Ayah yang amat dicintainya itu.Di umurnya yang kesepuluh, Dinda telah mengalami cobaan berat.

“Sayang....Allah sayang sama Abi dan Dinda, itulah cara Allah meningkatkan derajat hambanya yang saleh. Dinda, bunda yakin, Abi kamu sekarang sedang bahagia di alam baka sana. Beliau akan selalu tersenyum kepada kita. Dinda, Abi kamu sebenarnya tidak pernah pergi. Dia selalu ada sini.” Kata Bundanya sembari menunjuk dadanya.

“Sayang, yakinlah bahwa Allah itu selalu memberi yang terbaik kepada hambanya. Apalagi kamu anak yang saleh. Dinda sayang, Abi kamu akan selalu bersama kita, dia akan abadi di hati kita. Ia punya tempat tersendiri di hati kamu yang suci itu, sayang.Ia ada disana. Makanya, setiap shalat kamu berdoa ya sama Allah supaya Abi kamu bahagia di sana,, ya sayang.” Ujar Bundanya bijak.

“Bunda.... ” Ujar Adinda.

“Iya, sayang...” Bunda menoleh.

“Bunda,,semalam aku mimpi bertemu Abi. Abi mukanya sangat cerah. Beliau tersenyum. Katanya, salam buat Bunda sama adik-adik.” Ujar Dinda.

“Dinda...sayang...” Bunda tak dapat melanjutkan kata-katanya. Tak terasa air mata wanita itu membasahi pipi dan bajunya.Kali ini bunda tidak dapat menahan perasaan yang bergemuruh di hatinya. Sebenarnya sedari tadi ia ingin menumpahkan lelehan air matanya. Tapi selalu bisa ditahan. Namun kali ini rasanya air mata itu sendiri yang keluar dari mata lentiknya.Terasa kerinduan yang amat mendalam kepada laki-laki yang amat dicintainya itu. Didekapnya Adinda semakin erat.

“Dinda..sampaikan ke Abi, Waalaikum salam. Salam sayang dari Bunda ya…” kata Bunda sembari sesunggukan.

“Iya Bunda. Kata Abi, beliau janji mau ketemu Bunda dan Dinda setiap malam dan mau ngajak Dinda main dan bacain dongeng lagi buat Dinda.” Seulas senyum terlihat dari bibir mungil Adinda. Anak berusia 10 tahun yang begitu tegar ditinggal Abi tercintanya.

“Iya Sayang...nanti malam Bunda juga mau ketemu sama Abi...” Ujar Bundanya menahan isak tangis.

“Bunda..aku ngantuk. Aku mau buru-buru ketemu Abi. Bunda..kita tidur yuk!” Kata Dinda sembari tersenyum simpul,walaupun masih bercucuran air mata dari mata mungilnya. Kali ini Adinda menangis merindukan Abinya, bermain bersama Abinya dan juga mencium kening Abinya.

Malam itu keluarga kecil yangt telah ditinggal pergi Sinar kehidupannya menangis. Menangis untuk bersyukur kepada Penciptanya atas segala Rahmat dan kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada keluarga mereka.

Secercah cahaya menerangi kesucian interaksi anak dan Ibu di malam itu. Malam itu seulas senyum terpancar dari bibir mungil Adinda. Ia bertekad nanti malam ia akan bermain bersama Abinya tercinta.

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila