Wednesday, March 10, 2010

Nadia dan Bayi Berkepala Botak (karya RIZKI PI)

Prakata : Cerpen kiriman RIZKI PI patut diacungi jempol. Akhir kisah tak diduga. Bahasa yang digunakan juga enak dibaca. Semuanya terjalin dengan rapi. Sudah pantas dikirim ke majalah wanita seperti : Femina dan Kartini. Hanya ada satu yang perlu diperbaiki : Kata Tuhan harus diawali huruf besar ya?


Aku berkesempatan melihat sosok wanita itu pagi ini di saat ia dengan anggunnya melangkah pasti membuka pintu pagar. Rambut ikal sebahunya terjuntai dengan mantap. Kemeja putih lengan panjang tampak sangat pas melekat dengan tubuh jenjangnya. Dengan balutan rok selutut berwarna hitam semakin mempertegas betapa ia begitu dapat membuat para pemuda di komplek ini sangat memujanya. Bagian paling penting dalam penggambaran menakjubkan wanita ini adalah terletak pada wajahnya. Semua bagian pada wajahnya terletak proporsional sehingga semua pria dan wanita baik tua maupun muda akan setuju bahwa wanita ini memang cantik. Dari jarak empat meter dari pagar rumahnya, aku dapat memperhatikan setiap kedip matanya. Ia hanya mengedip ketika ia butuh untuk mengedip. Rahang itu terpancang kuat, sangat percaya diri. Aku sudah dapat memastikan pendapatku tentang dia. Wanita ini tak hanya anggun tetapi juga kokoh. Aku tidak sedang memujanya seperti bocah ingusan yang baru memasuki masa remajanya. Tidak pula seperti para pria lajang di komplek ini yang hanya bisa bermulut besar di belakang Nadia. Ya, aku hampir lupa menyebutkan nama wanita ini, Nadia namanya.

Aku hanya mengaguminya. Hanya itu. Ibuku pun setuju jika aku mengaguminya daripada aku mengagumi artis remaja yang pamer tubuh untuk menutupi kekosongan otaknya. Nadia pintar, semua orang tak perlu meragukan hal itu. Lulusan universitas negri ternama di negara ini dan universitas ternama di Amerika. Berkarir di sebuah perusahaan multinasional, walaupun aku lupa apa pekerjaannya, namun ibu selalu mengatakan jikalau wanita itu punya kedudukan baik di perusahaan tersebut. Tentunya baik di sini tidak berarti biasa-biasa saja, ‘baik’ berarti ‘di atas baik’. Kamu harus kayak mba Nadia kalau besar nanti, biar engga bergantung sama orang lain. Biar engga kelimpungan kalo ditinggal suami. Pesan ibu sering kali seperti itu. Aku pikir-pikir tidak apa juga kalau aku memakai dia sebagai idolaku, tidak akan pula mengurangi nilai harga diriku, toh pada akhirnya aku memang butuh idola. Jadilah aku memutuskan bahwa Nadia akan menjadi idolaku!

“Wening, mau berangkat sekolah?” ia menatapku dengan dahi berkerut.

“Hah? Ng..iya kayaknya mbak”, dan aku sukses menjawab dengan gugup. Seharusnya aku mengeluarkan kalimat bernada mantap seperti, Iya, aku selalu bersemangat ke sekolah. Hah, jawaban sampah! Setidaknya aku bisa menunjukkan jikalau aku dapat lebih baik daripadanya di kemudian hari, walaupun ia tetap menjadi idolaku.

“Emang engga kesiangan?”

Apa tadi dia bilang tetang ‘kesiangan’? Oh, Tuhan, sudah hampir masuk sekolah dan aku masih bengong di komplek sekitar rumahku, bodohnya!
***
Aku masih menatap kosong lembaran berisi gambar dan tulisan di halaman ini. Ada sebuah gambar pohon besar yang kububuhkan banyak kata di cabangnya. Aku memberi nama pohon ini pohon harapan. Aku meletakkan beberapa hal yang harus aku capai di tahun ini pada rantingnya. Ketika salah satu dari mereka telah aku raih, aku akan mencoret kata pada ranting tersebut. Aku begitu merasa puas setiap kali harus mencoret kata demi kata. Seperti aku menikmati kehidupanku dengan sepenuhnya.

Malam ini kubuka kembali halaman ini dengan maksud mencoret salah satu frase yang bertuliskan ‘go to Japan’. Namun ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Aku memperhatikan batang pohon harapanku kalau-kalau ada kemungkinan aku menggambar satu cabang pohon lagi darinya. Hah, apa pula yang aku pikirkan ini! Tentu saja aku tidak akan menggambar apapun di luar dari waktu yang telah ditetapkan. Jika pun ada yang harus aku tambahkan, aku harus melakukannya tahun depan. Aku tidak boleh merencanakan kembali di saat proses sedang berlangsung. Memangnya kamu serius tidak ingin menikah, Nadia? Pertanyaan Retno kembali mengusikku. Jelas saja aku tidak ingin menikah. Aku sudah tegaskan hal itu berkali-kali padanya. Aku memang menyukai anaknya, tapi bukan berarti aku merubah prinsipku. Kenapa pula ia tanyakan hal itu lagi kepadaku? Apa karena ia merasa menang mempunyai hidup yang lebih berisi dibandingkan denganku? Berisi? Apa selama ini hidupku tak berisi? Kosong? Tentu saja tidak! Aku bisa gambarkan itu ke seluruh dunia dengan data-data yang akurat. Tetapi memang harus ku akui, terasa berbeda menatap mata Retno belakangan ini. Seperti tampak lebih bulat berisi dengan komponen padat yang membuatnya terlihat lebih cerah dan merona. Kenapa malam ini aku terlalu sering mengulang kata ‘berisi’? Benar-benar mengganggu. Aku harus lekas tidur dengan pikiran rileks untuk mendapatkan kualitas tidur yang maksimal untuk rapat esok hari. Tapi bayangan tentang hari itu tiba-tiba muncul kembali. Bayangan yang ingin aku robek dan aku buang ke tempat sampah. Bayangan yang memicu mual setiap kali kata ‘pernikahan’ mampir di benakku. Oh Tuhan, mohon singkirkan sejenak bayangan ini. Aku harus berpikir hal-hal yang menenangkan agar mudah tidur, maka aku biarkan bayangan itu muncul dan menelusup ke dalam mimpiku.
***
Aku masih merasa sesak. Oksigen terasa sulit merasuk ke dalam paru-paru ku, tak seperti air mata ku yang meleleh lancar menganak sungai. Pandangan ku terasa kabur tertutup kaca air. Tak apalah, toh aku sedang tak ingin melihat apa-apa, jika perlu tak ingin mengingat apa-apa. Kalau pun bisa, aku tidak ingin berada dimana-mana. Aku ingin tersuruk di kasur kamar ku membiarkan lelehan mata ku meluncur sesuka hatinya. Tapi kenyataannya aku terjebak di dalam keramaian, di suatu tempat makan umum. Beberapa pasang mata memandangi ku dengan aneh, atau mungkin jijik, terserah! Sebaiknya mereka membuat diri mereka lebih berarti dengan mengambilkan ku tabung oksigen karena aku masih merasa sulit bernafas!

“Nad, kamu enggak apa-apa?” pria di depanku tampak khawatir dan merasa bersalah karena telah mengabarkan berita itu di tempat ini. Setelah puas membasuh mata ku dengan banyak tisu, aku mulai memakan spaghetti keju yang belum kusentuh sejak 1 jam yang lalu. Aku merasa sangat lapar, sehingga aku makan dengan cepat. Tak perduli jika mulut ku menjadi begitu penuh dan aku kembali tidak bisa bernafas dan lebih parah dari itu, aku juga tidak bisa menelan! Aku meneguk lemon tea dengan cepat. Aku ingin semua berlalu dengan cepat sampai aku tidak sempat merasakan apapun tentang hari ini, seperti tak berasanya spaghetti keju yang ku dorong dengan lemon tea barusan. Setelah mulut, piring dan gelas di depan ku kosong, aku sempatkan sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam. Mencoba tidak berpura-pura tentang hari ini. Aku merasa ragu tentang kita, tentang perasaanku, tentang kamu. Ya, aku sudah mendapatkan gambaran seluruhnya. Dia ingin meninggalkanku setelah aku memantapkan hidupku bersamanya. Sudah kulepaskan beasiswa S2 demi untuk menerima lamaran pernikahan darinya. Sudah dua bulan kami persiapkan pernikahan kami dan apa tadi dia berbicara tentang ragu? Kemana ragu itu selama empat tahun ini? Aku mencoba menatap wajah pria di depan ku yang mengunyah makanannya dengan hati-hati. Aku tahu, aku bisa mengendalikan diriku dengan sangat baik. Aku tahu, aku hanya butuh waktu untuk merasa sedih dan merasa kehilangan, bukankah ini momen yang tepat untuk merasa sedih? Aku tahu, aku bisa mempelajari keadaan ini dengan sangat baik. Aku pun juga tahu, ada bagian-bagian dari seseorang yang harus dicoba untuk dimengerti dan dihargai. Aku tahu, aku sudah dapat mengendalikan diriku dengan lebih baik.

“Romi, aku berharap kita tidak pernah bertemu sebelumnya.”

***
Aku berjalan beberapa langkah di belakang Retno dan aku masih menatap lekat wajah bulat yang sedang bertengger di bahu Retno. Ia juga melakukan hal yang kira-kira sama denganku, menatap wajahku dengan terkadang memamerkan gusinya yang tak bergigi walaupun sudah ku seram-seramkan mimik wajahku. Tidak cukupkah wajahku membuatnya takut? Sudahlah, memang mungkin para bayi memliki serbuk sihir alami yang dapat membuat orang-orang di sekitarnya merasa butuh memperhatikannya. Sesekali ia melambai-lambaikan lengannya yang berjari mini seolah ingin menggapaiku, entah apa maksudnya, kebetulan aku tidak merencanakan mempelajari bahasa bayi. Lelah memperhatikan bayi lelaki yang tak berhenti membuka mulutnya, aku memilih untuk memperhatikan nomor-nomor ruangan yang berjajar di kiri-kanan ku. Aroma racikan kimia memenuhi lorong yang kami lewati, khas rumah sakit. Retno dan Jayanti masih terus berjalan beriringan beberapa langkah di depanku meninggalkanku berjalan sendiri. Aku tidak tahu persis ruangan dimana temanku dirawat, toh aku juga sebenarnya tidak terlalu berkeinginan menengoknya. Bukan karena aku ingin bersikap tidak ramah padanya, mengenai hal itu aku dapat memastikan jikalau setiap orang yang pernah mengenalku pasti menilai aku wanita yang sangat ramah. Tapi ini adalah satu hal yang berbeda. Aku mengunjungi teman yang baru saja selesai melahirkan. Aku lelah bertemu dengan bayi setelah malam tadi aku bermimpi banyak bayi botak berterbangan bagai kelopak bunga yang ditiup angin musim gugur.

Tiba-tiba gerakan Retno dan Jayanti melambat pertanda ruangan sudah ditemukan. Kami memasuki ruangan dengan muka yang dipasang ramah dan turut berbahagia. Kegiatan dilanjutkan dengan menanyakan kabar dan si Ibu baru menjawab dengan berseri-seri untuk kemudian menceritakan proses ketika akan melahirkan. Aku memperhatikan makhluk yang tengkurap menggeliat di atas tubuh temanku itu. Kulitnya coklat kemerahan. Dengan mata yang mengatup, ia tampak asyik menyusu pada dada ibunya. Aku memperhatikan ketiga temanku bercerita dengan mata yang sama dengan yang ku temui pada Retno kala itu, bulat dan merona. Aku seperti tersihir di dalam tiga pasang bola mata yang semakin lama semakin membulat memenuhi ruangan sempit berbau obat ini. Aku tidak merasa sesak, aku mengambang pada sesuatu yang bergelombang. Aliran darahku mengarus begitu tergesa-gesa dengan arus yang juga bergelombang sehingga memompa jantungku begitu cepat berdetak dengan irama yang membuatku terisak. Aku terisak seperti mereka yang juga terisak dalam kalimat memuji Tuhan. Aku jadi seperti mereka. Bercerita seperti mereka. Tertawa seperti mereka. Dan seketika aku ingin seperti mereka. Aku ingin punya anak! Bu, Pak, Nadia sudah bilang berulang kali, Nadia tidak akan menikah baik dengan pria yang bapak pilihkan atau dengan pria yang akan datang pada Nadia! Aku pernah melontarkan kalimat itu pada orangtua ku, sudah tentu aku tidak akan mengingkarinya. Tetapi bagaimana dengan gelombang ini? Bagaimana dengan mata bulat mereka yang ingin juga kumiliki? Bagaimana dengan bayi berkepala botak itu? Baiklah! Setelah berpamitan sebentar pada mereka, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat yang dapat meloloskan tujuanku, mempunyai anak!
***
Malam ini, di meja makan, aku memperhatikan dengan serius cerita yang ibu sampaikan padaku. Tentang kisah heroik Nadia yang tak sengaja bertemu bayi yang ditinggal ibunya di rumah sakit ketika ia menjenguk temannya yang baru saja melahirkan. Bayi itu baru keluar beberapa hari dan sang ibu yang kejam melarikan diri dari rumah sakit, diduga karena bayi itu lahir tanpa seorang bapak. Malangnya nasib bayi itu. Kejamnya sang ibu! Mengagumkannya Nadia! Aku sudah memutuskan! Aku akan memasuki universitas terbaik di negri ini dan juga aku akan memasuki universitas terbaik di Amerika lalu aku akan bekerja dengan gaji yang besar dan kemudian aku akan membangun sebuah panti untuk bayi-bayi yang ditinggal kabur oleh ibu mereka.
***
Pada surat kabar nasional tertulis di halaman depan:

Seorang ibu melaporkan Rumah Sakit tempat ia melahirkan karena diduga telah menukar bayinya dengan bayi lain yang telah meninggal sebelumnya.

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila