Thursday, March 18, 2010

Romansa Masa SMA (karya Prasidya Ilvan Yahdi)

Prakata : Berikut adalah cerpen karya Prasidya Ilvan Yahdi. Sekali lagi banyak sekali kesalahan dalam penggunaan tanda baca, terutama tanda koma. Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu. Kamu bisa lihat apa kesalahannya dengan membandingkan cerpenmu ketika dikirim dengan yang sudah diposting di blog ini. Sudah saya perbaiki penempatan tanda bacanya.

Kemudian, dalam penggunaan huruf besar masih banyak kesalahan. Nama negara : Israil dan nam orang : Dini, harus huruf besar. Kesalahan pengetikan juga saya temukan di naskahmu. Pukul ditulis Pulu. Sedikit ditulis sedikt.

Kalau kamu ingin mengirimkan karyamu ini ke majalah, sebaiknya periksa lagi dengan cermat sehingga tidak ada kesalahan dalam pengetikan dan penggunaan tanda baca serta huruf besar.

Dari sisi alur cerita, sama sekali tidak ada ‘greget’ nya. Tidak ada konflik yang membuat pembaca penasaran. Terlalu banyak menceritakan perasaan si tokoh utama (WISNU). Padahal jumlah halaman cerpen sudah mencapai 6 halaman. Mungkin bisa lebih dipersingkat agar bisa menambahinya dengan konflik. Perlu diketahui, jumlah halaman cerpen yang biasanya diminta oleh redaksi majalah antara 5 – 8 halaman. Tapi, dari sisi penggunaan bahasa sudah lumayan bagus.


Tuk,,tuk,,tuk,,jarum penunjuk waktu di depan kelas rasanya amat lamban berputar. Padahal sudah ku pantengin sejak tadi,tapi tetap saja, tak ada perubahan. Kembali ku gelisah, rasanya badan ini sudah panas dan enggan untuk duduk di kursi kayu yang tampak baru ini. Kuperhatikan sekeliling kelas, mencari teman yang senasib-sepenanggungan, percuma, tak kudapati apa-apa. Sunyi. Tak terdengar suara sedikitpun, bahkan dengkuran Oji yang saban hari menggelegar di kelas pun, kini tak terdengar walau barang sekejap. Semuanya tampak memperhatikan dia. Seorang lelaki paruh baya, berbaju biru layaknya pegawai negeri, berperawakan sedang dan mempunyai beberapa helai rambut di kepalanya. Dengan suara lantang yang membahana layaknya singa afrika, dan karisma yang luar biasa layaknya Adolf Hitler, pada siang hari terik itu, ia telah berhasil menghipnotis teman-temanku dengan notasi-notasi fisikanya dan beberapa “keajaiban-keajaiban” alam dan dunia yang berasal dari fisika.

“ Kalian tahu kenapa negara Israel bisa maju seperti sekarang,,? “ Ia bertanya dengan logat bataknya yang begitu kental.

“Tau pak !” jawab seorang anak yang duduk di kursi paling depan.Dia Roni, ketua kelas.
“Iya, Roni. Apa jawabannya ?” tanya bapak itu semangat.
“TAKDIR, Pak !” Jawab Roni, dengan “culunnya”.

Tak pelak jawaban “mbanyol” dari Roni tadi mengundang gelak tawa dari seluruh “penghuni” kelas yang sedari tadi diam bak kuburan.

“Roni, terimakasih untuk jawabannya. Nanti bapak tunggu di kantor sehabis pulang ya.” Dengan wajah merah padam, bak api olimpiade, bapak paruh baya itu berkata.

“Oke anak-anak, kita lupakan “banyolan” roni yang barusan.Tahukah kalian bahwa sebagian besar presiden Israel adalah seorang fisikawan, jadi wajar apabila negara tersebut bisa berkembang seperti sekarang. Nah Roni, sebelum kamu meninggalkan kelas, coba kamu buka bukumu dan kerjakan soal no 13.” Kata bapak paruh baya itu.

“Tapi Pak, ”sergah Roni.
“Sudah jangan banyak “cing-cong” . Ayo maju! SEKARANG !” Bentaknya, masih dengan logat bataknya yang khas.

Tak pelak hal itu membuat suasana kelas menjadi tambah semrawut dan biang keladinya lagi-lagi Roni, sang Ketua Kelas. Tapi, riuh rendah suara tawa siang itu, belum juga dapat menarik perhatianku, yang masih lesu dan tak bersemangat mengikuti pelajaran hari ini.

Pria paruh baya di depan kelas tadi adalah Pak Amir. Nama lengkapnya, Amirudin Pandjaitan. Seorang guru senior yang mengajar Fisika di sekolah kami. Beliau ditakuti dan juga disegani oleh murid-murid, namun tidak demikian halnya denganku. Aku mengaggap dia adalah seorang Ilmuwan besar peraih Nobel Fisika tahun 1963 yang “terdampar dan nyasar” menjadi guru di sekolah ini. Aku begitu mengaguminya.Namun,t idak hari ini. Lima helai rambut yang menutupi kepala Pak Amir bukan lagi menjadi sumber inspirasi ku.

Kini pandanganku beralih. Kira-kira empat puluh lima derajat dari tempatku berdiam, tepat di belakang seorang wanita berperawakan besar yang apabila ia tertawa, maka terdiamlah seluruh kelas, persis di samping seorang “akhwat” berkerudung ungu yang suka menundukkan kepala ketika berbincang dengan lelaki, duduklah seorang wanita berperawakan sedang, dengan tinggi kira-kira 165 cm, rambut tergerai tak nampak begitu panjang, dengan kemilau cahaya matahari menimpa rambutnya seolah-olah ia sedang berjemur di pantai, serta rona kemerah-merahan di kedua belah pipinya, ditambah dua bola mata sayu yang bersinar dan tak lupa sebaris gigi indah tersusun rapi berbalut senyum khas Indonesia. Aihhh...ia nampak seperti Zakiah Nurmala dalam film Sang Pemimpi.

“Kupandangi ia. Tampak begitu menawan. Tak kupandangi dia, tak kuat ku menahan godaan.
Mungkin itulah kata-kata yang tepat menggambarkan perasaan ku. Aihh, nikmat benar rasanya memandang wajahnya yang rupawan, walaupun aku tak yakin ia pernah memandangi wajahku yang tak kalah rupawan ini(menurut Ibuku begitu..hehehe).

“Andini, coba kamu kerjakan soal nomor 13 yang tadi Roni kerjakan itu. Payah kamu Roni,soal seperti itu saja kamu tidak bisa, gimana bisa lulus UAN? Ya sudah, ayo Andini …. coba diselesaikan soalnya.” Intonasi suara Pak Amir nampak turun drastis begitu menyebutkan nama

“Andini” dan naik seketika ketika menyebutkan nama “Roni”.

Dengan segera, bidadari itu bangkit dari kursinya dan berjalan perlahan menuju papan tulis. Lamat-lamat kupandangi dirinya itu. Andini namanya. Andini DwiHapsari. nama lengkapnya. Derap-derap langkah kakinya ketika menginjakkan bumi bak tuts piano yang dimainkan oleh Ludwig Van Beethoven ketika ia merangkai baris-baris nada menjadi Simphoni No.9 yang melegenda itu. Dengan cepat diselesaikannya soal nomor 13 yang tadi terbengkalai oleh Roni.

Tentunya pujian mengalir deras kepada Andini dan Roni, si anak “culun” yang sok tahu harus pasrah akan nasib tragis yang akan diterimanya setelah bel sekolah berbunyi.

KRIIIIIIIIIINGGGGGGG! Bel telah berbunyi, waktu menandakan pukul 14.30 dan saatnya untuk pulang. Saatnya bebas dan menikmati secangkir kopi ditambah beberapa singkong goreng buatan mama memang yang paling yahud. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk menyapa Andini,untuk yang pertama kalinya dalam hidupku. Seluruh tubuhku merasa tegang, jantungku berdegup dengan kencang, ketika aku menyusun rencana untuk menyapanya,mengucapkan kata “Hai” untuk yang pertama kalinya. Terbersit tiga Grand Skenario untuk menyapa Andini.

Skenario satu, dengan tampang yang cool, bibir yang sedikit dimajukan, dada di busungkan, dan derap langkah yang pasti, aku berjalan mengikuti Andini keluar kelas dan mengikutinya sampai ia menengok kebelakang dan menoleh kearahku, dengan seketika aku berkata : “Hai, Dini!” Sambil tak lupa melempar bibir busukku dan menggantikannya dengan sejumput senyuman manis. Dan, pastinya ia akan membalas sapaanku : “Hai Wisnu!”

Skenario Kedua. Aku berjalan bak orang buta yang tak tau arah, lalu dengan sengaja aku menubruknya ketika ia berjalan keluar kelas. Dengan sigap aku menangkap tubuhnya yang nyaris limbung dan mata kami saling bertatapan dan dengan pedenya aku berkata : “ Hai Dini.” Hahaaha …..skenario yang sempurna.

Skenario Ketiga. Aku keluarkan seluruh isi tasku, mulai dari buku fisika yang berat sampai kertas ulangan yang lebih layak disebut kertas gorengan. Lalu,isi tas tersebut kubawa di depan tubuhku dan ketika aku melihat Dini keluar kelas, dengan sengaja aku menubruk halus badannya. Pastinya buku-bukuku dan Andini akan tumpah dan berserakan. Pada saat itulah ketika aku berusaha mencari bukuku, dengan sengaja aku menyentuh tangan Dini dan berkata dengan sangat lembut, “ Hai Dini, kamu gak papa?”

Wihhii,,skenario ini sangat elegan dan sempurna.Tak Sabar aku melakukannya.

KRIINGGGG! Bel sekolah terus berdering dan membuyarkan lamunan skenario jeniusku. Bergegas, aku bersiap untuk melakukan skenario ketiga. Seluruh buku aku keluarkan dari tas dan dengan jantung yang mau copot, kuberanikan diri bangkit dari tempat dudukku. Namun ketika kutengok ia di tempat duduknya, ia sudah tak nampak. Ternyata ia sudah pergi duluan ke luar kelas.

Panik! Tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kutinggalkan buku yang telah kugendong di atas meja dan dengan segera aku berlari keluar kelas dan mencarinya. Sayang seribu sayang, tak kudapati batang hidungnya sedikitpun . Sambil menghela napas panjang tanda kepasrahan terdalam kepada Ilahi, aku membalikkan badan untuk mengambil tas dikelas. Saat aku membalikkan badan, dari belakang terdengar suara lembut.

“Hai, Wisnu..”

Disertai sebuah SENYUMAN MENAWAN KHAS INDONESIA

Artikel Bersangkutan

0 comments:

 
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang toleran dan penuh sikap tenggang rasa. Namun, kini penilaian tersebut tidak dapat diamini begitu saja, karena semakin besarnya keragu-raguan dalam hal ini. Kenyataan yang ada menunjukkan, hak-hak kaum minoritas tidak dipertahankan pemerintah, bahkan hingga terjadi proses salah paham yang sangat jauh.
free counters

Blog Archive

Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas. Salam Kenal Dari Miztalie Buat Shobat Semua.
The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di DadakuTopOfBlogs Internet Users Handbook, 2012, 2nd Ed. Avoid the scams while doing business online

Kolom blog tutorial Back Link PickMe Back Link review http://miztalie-poke.blogspot.com on alexa.comblog-indonesia.com

You need install flash player to listen us, click here to download
My Popularity (by popuri.us)

friends

Meta Tag Vs miztalie Poke | Template Ireng Manis © 2010 Free Template Ajah. Distribution by Automotive Cars. Supported by google and Mozila